30
❄❄❄
Tepat pukul lima sore mobil SUV hitam milik Gara terparkir cantik di depan toko. Arumi dan Rey turun dari mobil lalu duduk di kursi teras yang tersedia menunggu Nala. Perempuan itu sedang mengganti pakaiannya dengan baju yang nyaman karena kehamilannya membuat dia gampang kegerahan. Ia keluar melalui pintu samping dan berjalan menghampiri mereka.
"Mbak," panggilnya.
Arumi menoleh padanya kemudian berdiri sedangkan Rey langsung menghambur padanya dan tanpa sengaja kepala bocah kecil sampai mengenai perutnya memicu rasa tak nyaman.
"Aduh," ucapnya refleks memegangi perutnya melepas rangkulan Rey lalu duduk. Bocah kecil itu terlihat ketakutan dan ingin menangis.
Gerakan spontanitas Nala tak luput dari mata Arumi. Baju longgar yang dipakai perempuan itu untuk menutupi perutnya mencetak mengikuti bentuk tubuh Nala. Kala itu Arumi menyadari tonjolan perut Nala dan mulai panik. "Ya ampun, La. Kamu nggak apa-apa?" Tanya Arumi ketakutan. "Kita ke dokter ya, La," sambungnya lagi yang kini duduk di sebelah Nala.
Dia tak menjawab perkataan Arumi. Ia mengusap-usap perutnya untuk menenangkan bayi dalam perutnya, mengatur napasnya agar lebih rileks. Tangannya ia goyang-goyang untuk menolak ajakan Arumi kemudian melambai pada Rey dengan ragu-ragu anak laki-laki itu mendekat padanya.
Setelah reda rasa tak nyaman itu barulah Nala bisa menjawab, "Nggak usah, Mbak, kaget aja tadi," tolaknya. Tangganya mengusap puncak kepala Rey dengan sayang. "Jangan takut, Tante nggak apa-apa. Dedeknya tadi kaget kena kepala Kak Rey," hiburnya pada Rey untuk mengurai ketakutan anak tersebut.
Jadi tebakan Arumi tadi tak salah perempuan itu hamil. "Udah berapa bulan, La?"
Kepala dengan rambut dikepang itu menoleh kearah Arumi. "Masuk lima bulan, Mbak."
"Wah,,,selamat, La. Apa sua—" ucapan Arumi terpotong oleh pertanyaan putranya.
"Ya, Sayang. Tadi Rey tanya apa?" Nala mendekatkan kepalanya pada Rey.
"Dedeknya nggak apa-apa kan, Tante?"
Dengan senyuman ia menjawab, "Nggak apa-apa, Kak Rey, dedeknya kuat sama kayak Rey."
"Beneran nggak mau ke dokter? Aku takut kenapa-napa, La," ujar Arumi menawari Nala sekali lagi. Perempuan itu menggelengkan kepala. "Ya, sudah. Kita pulang sekarang yang lain sudah menunggu kita."
Ketiga orang itu meninggalkan toko oleh-oleh tersebut. Sebelum menuju rumah Gara, mereka mampir ke mini market membeli camilan untuk teman ngobrol mereka.
❄❄❄
Dilain tempat, Aska sedang melampiaskannya kemarahannya dengan melayangkan tinjunya di samsak yang tergantung di balkon apartemen. Satu jam lebih ia terus-menerus menghantam benda berisi pasir hingga tubuhnya lelah. Letih di badannya tak sebanding dengan penat dalam pikirannya. Sampai detik ini ia masih belum menerima kabar terbaru dari orang sewaannya. Ia frustasi serasa ingin membunuh orang-orang itu.
Darahnya mendidih saat pesan-pesan sialan itu terus masuk dalam ponselnya dengan gambar yang ia benci. Dan, sampai sekarang ia tak berhasil melacak nomor-nomor tersebut. Gila. Mungkin sebentar lagi ia akan menjadi penghuni rumah sakit jiwa karena tak bisa mengalihkan nalarnya dari perempuan itu. Ia mengerang keras kala smartphone miliknya berdering dan selalu diwaktu yang tidak tepat.
"Hallo."
"Hai, Bro. Masih hidup, kan?"
Aska tak akan menanggapi ucapan sarkasme Eru.
"Apa mau mu?!"
Kekehan keras terdengar dari seberang saluran.
"Masih sama. Membujukmu ke sini dan menawarimu wanita yang ingin aku kenalkan padamu."
Ia letih dan sedang tak ingin meladeni si gila itu.
"Ru. Berapa kali aku bilang, aku nggak bisa dan nggak mau. Kamu tahu kan proyek kita mulai berjalan dan soal perempuan itu aku nggak minat. Aku cuma ingin istriku dan kalian menang."
Tak ada kemarahan dalam intonasi kata-kata Aska.
"Wow, mobil baru. Aku kira kamu lupa. Tapi, As, aku sarankan untuk kemari. Kalau nggak, kamu rugi besar."
Aska menghela napasnya.
"Makasih, Ru. Aku memang brengsek tapi sejak Nala pergi aku sadar aku ingin berubah. Aku ingin menjadi pribadi yang lebih baik saat aku bertemu dengannya nanti."
Helaan napas menyerah terdengar.
"Baiklah. Aku nggak akan paksa lagi tapi jangan menyesal jika aku membiarkan perempuan itu pergi."
"Thanks."
"Kamu tahu, As. Otakmu benar-benar kacau hingga menjadi bodoh sampai tak mengerti semua ucapanku. Aku tutup."
Pria itu memandang layar ponsel di tangannya. Ia tak mengerti maksud Eru. Tak berapa lama sebuah pesan masuk dengan segera ia membuka berharap dari orang sewaannya. Sebuah video. Rasa ingin tahunya tidak dapat ia tahan lalu diklik video itu.
"Shit!!" Teriaknya keras. Jadi maksud Eru...
Segera ia menghubungi nomor ponsel Eru.
"Yakin dilepas?"
Tawa keras Eru memenuhi telinga.
"Tahan dia, Ru. Aku akan cari penerbangan saat ini."
"Nggak janji. Kamu sendiri yang bilang untuk membiarkan dia pergi so..."
Tut Tut Tut
"Sialan!"
❄❄❄
Dengan mulut menggerutu Gara berangkat menjemput Aska di bandara internasional Achmad Yani. Bagaimana tidak semalaman Aska menerornya untuk tidak terlambat menjemputnya. Sial. Eru yang mengerjai Aska dia kena getahnya. Sekarang lihat saja senyum bahagia mengembang di bibir Aska, sudah orang gila saja.
"Dasar orang gila."
Pria di samping Gara menoleh. "Siapa?" Tanya Aska dengan senyuman.
Gara mengangkat alisnya sebelah mendengar pertanyaan Aska. Apa temannya itu benar-benar gila? Sampai tak menyadari bahwa dirinya yang ia maksud.
"Kamu waras kan, As?"
"Waras lah. Kenapa, sih? Ada belek di mataku atau air liur?"
"Kayak orang gila dari tadi senyum terus," jawab Gara langsung.
"Oohh. Bukan kamu aja seperti yang mikir aku orang gila. Tadi orang-orang di pesawat melihatku dengan pandangan aneh. Nggak masalah yang terpenting aku segera bertemu Nala."
"Aku harap kamu nggak nyakitin dia lagi, As, apalagi setelah kamu tahu keadaannya nanti," ucap Gara sembari fokus membawa mobilnya pada jalur yang benar. Beruntung jalanan tak terlalu ramai.
Kening laki-laki itu berkerut dan mengubah posisi duduknya menyamping menghadap Gara. "Apa maksudmu, Ga? Nala baik-baik saja, kan? Apa dia terluka? Atau dia sekarang sakit? Dia kenapa, Ga?" Cerca Aska beruntun.
Dengan pandangan fokus ke depan Gara menjawab pertanyaan Aska, "Nggak sakit hanya saja dia perlu perhatian lebih, As."
Kepanikan melanda Aska. Apa yang sebenarnya ingin Gara katakan? Mengapa tak bicara dengan jelas? Tak tahukah Gara saat ini ia takut terjadi sesuatu pada Nala. "Please, Ga. Katakan padaku dia kenapa?" Pinta Aska tapi Gara tak menyahut.
"Kita sampai. Mungkin orang-orang masih tidur," tutur Gara mengabaikan pertanyaan Aska. Ia menutup pintu mobilnya lalu berjalan mendahului Aska masuk ke dalam rumah. Sesudah menutup pintu mobil, ia berlari menjajari langkah Gara.
"Ga!" Panggilnya.
"Kamar paling ujung kanan." Gara menunjuk deretan kamar di lantai dua. "Kunci serepnya di dekat vas bunga." Setelah berujar seperti itu Gara menuju kamarnya di lantai dasar.
Tanpa diperintah dua kali Aska lari menaiki tangga dengan jarak dua anak tangga sekaligus. Ia mencoba membuka pintu kamar yang ditunjuk Gara dan dewi keberuntungan berpihak padanya, pintu itu tak terkunci. Dengan langkah pelan tak menimbulkan suara, Aska menghampiri Nala di ranjang seusai meletakkan tas ransel yang di bawanya.
Ia duduk di pinggiran ranjang menatap lekat wajah damai Nala. Istrinya yang hilang kini berada tepat di depannya. Tangannya terulur menyelipkan anak-anak rambut yang menutupi wajahnya. Mengusap lembut pipi Nala yang tampak lebih chubby. Ini nyata. Istrinya. Serasa mimpi baginya, mimpi yang menghantui tidurnya. Kerinduan yang ia rasakan membuncah dengan cepat. Andai Nala tak tidur ingin rasanya ia memeluknya erat. Dengan perlahan ia menyingkap selimut warna aqua motif bunga-bunga itu lalu ia merebahkan tubuhnya di samping Nala. Diubahnya posisi tidur perempuan tersebut membelakangi dirinya lalu ia melingkarkan tangannya ke dibawah dada. Tanpa sengaja tangan menyentuh permukaan perut Nala.
Ia tak jadi memejamkan matanya kemudian bangkit membuka lebih banyak selimut yang menutupi tubuh Nala. Pandangannya tertuju pada perut istrinya yang membuncit. Aska Memberanikan diri untuk memastikan penglihatannya, Aska membuka baju tidur Nala dan tampaklah sesuatu yang baru saja mengganggu pikirannya. Hamil. Nala hamil. Ya Tuhan, ia tak menyangka akan mendapat kejutan seperti itu. Kini bukan ia yang mengejutkan Nala justru wanita tersebut berhasil membuatnya tak dapat berkata-kata.
Terimakasih Tuhan.
❄❄❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top