3


❄❄❄

Sebuah taksi berhenti tepat di depan gerbang kayu rumah mewah berarsitektur modern lantai dua yang didominasi warna krem, abu-abu dan coklat susu. Jejeran pohon palem tinggi tampak dari luar tembok pagar yang terbuat dari batu palimanan, juga tanaman hijau lainnya. Nala menatap bangunan besar itu dengan pandangan kerinduan yang mendalam.

Sadar jika dirinya ingin segera bertemu keluarganya ia membayar ongkos taksi kemudian turun dengan tas ransel di punggungnya. Matanya memindai setiap inci bangunan besar di depannya, tidak ada yang berubah hanya tambahan tanaman di setiap balkon lantai dua.

Dengan semangat membara dalam dirinya Nala menekan bel di sisi tembok. Sambutan hangat sudah terbayang dalam benaknya saat pintu gerbang dibuka menampilkan sosok perempuan tua yang menjadi ibu kedua setelah ibunya kandungannya.

"Non Nala..." pekik Mbok Sih saat tahu siapa tamunya. Perempuan yang berumur lebih dari setengah abad itu lari kearahnya lalu memeluknya erat, tangan keriputnya mengelus-elus punggung Nala dengan sayang.

"Mbok...Nala kangen." Nala pun melakukan tindakan yang sama dengan apa yang mbok sih perbuat.

Mereka mengurai pelukan, Mbok Sih memegang dua lengannya meneliti dari atas ke bawah dengan seksama. "Non sih nggak pulang-pulang padahal Mbok kangen pake banget," imbuhnya lalu memeluknya lagi walau sebentar.

Nala tergelak mendengar omongan Mbok Sih yang kekinian itu. "Kan kerja, Mbok, kalau pulang ya nunggu libur."

Dengan mengamit lengan Nala, Mbok Sih membimbing anak majikannya itu masuk lalu menutup pintu gerbang kecil. "Oalah...Mbok lupa, Non. Eh, tapi di sana Non baik-baik aja kan?  Nggak ada yang gangguin to?" Mbok Sih menghentikan langkahnya kemudian menyusuri tubuh Nala dengan mata tuanya memastikan anak yang diasuhnya baik-baik saja.

"Nggak ada, Mbok, semua baik di sana. Ayah sama yang lain mana, Mbok?" tanyanya saat masuk ke dalam rumah mata dan pendengarannya tak menangkap satu sosok keluarganya.

❄❄❄

Nala meletakkan tas ranselnya di lantai dapur, rumahnya masih sepi apa mungkin mereka semua masih tidur? Ah, kenapa ia bisa lupa kebiasaan di rumah ini. Mereka akan turun saat sarapan sudah tersedia di meja makan.

"Kayak nggak tahu aja, Non," jawab Mbok Sih yang sudah disibukkan dengan bahan-bahan makanan.

Nala memutuskan membantu memasak ketimbang pergi ke kamarnya, meskipun ini rumahnya ia tetap menjaga sopan santunnya layaknya tamu. Ia akan naik ke kamarnya saat ayah dan ibunya sudah mengetahui kedatangannya.

Nala menata hidangan di meja beserta peralatan makan lalu kembali ke pantry mengambil air putih Gunawan sang ayah keluar dari kamarnya yang berada di sisi tangan lalu duduk di kursi biasanya. Ketika Nala berbalik matanya menatap punggung yang tak lagi tegap ayahnya karena usia. Ia berjalan ke meja meletakkan pitcher kaca dengan ujung mengecil berisi air putih.

"Ayah," panggilnya pelan dan berdiri di samping Gunawan.

Gunawan menurunkan koran pagi dari wajahnya melipat lalu menatap Nala sebentar sebelum meneguk kopi. "Datang jam berapa?"

"Setengah tujuh, Yah."

Ayahnya hanya mengangguk lalu kembali meneguk kopi hitam itu. Hanya itu yang Gunawan tanyakan dan tak berkata lagi. Nala menghela napas kemudian kembali ke pantry membawa masakan lainnya. Seperti itulah dirinya di rumah, mereka hanya berbicara padanya bila perlu selebihnya ia akan diabaikan.

Mbok Sih lah teman bicaranya karena itu dia lebih suka menghabiskan waktunya di dapur atau di kamarnya menuangkan khayalannya di sebuah aplikasi penulisan. Suatu hiburan baginya saat di kehidupan nyata ia terabaikan namun dalam dunia maya dia begitu dinantikan.

Satu persatu anggota keluarga lainnya berkumpul. Mereka tak ambil pusing dengan kehadirannya bahkan ibunya pun tidak.  Nala meringis kecil saat harapannya hancur melihat mereka tetap seperti itu.

Hidangan di meja makan sudah lengkap, ia pun ikut duduk di kursi samping Dhea kakak perempuannya yang terpaut dua tahun lebih tua darinya.

Meja makan yang tadinya hening kini riuh dengan celoteh dua kakak perempuannya Rima dan Dhea sejak kakak laki-laki pertamanya Aska ikut bergabung sarapan dengan mereka. Keduanya terlihat berusaha mengambil perhatian Aska dengan menawari semua hidangan yang tersedia. Dahinya berkerut menyaksikannya mengapa kakak-kakaknya berperilaku seperti itu dan untuk apa? Aska kan bukan orang sakit yang perlu dilayani.

"La, tolong bakwan jagung di depanmu itu," kata Aska dengan menyodorkan piringnya pada Nala agar diisi dengan lauk yang dimintanya.

Nala sempat tertegun sebelum memindahkan dua bakwan jagung ke dalam piring Aska. Dengkusan terdengar dari dua orang perempuan di sampingnya, mereka memandangi adik bungsunya itu dengan tajam seolah memberinya peringatan agar menjauh dari Aska.

"Ayah setujui pilihanmu? Bagaimana keputusanmu?" Pertanyaan Gunawan membungkam mulut putri-putrinya.

Semua orang yang berkumpul di meja makan menatap mereka bingung dengan arah pembicaraan Gunawan dan Hesti

"Aska terima."

"Bagus." Gunawan melihat ke ujung meja dekat Dhea lalu menghela napas dengan berat, dirinya keberatan tapi ini pilihan Aska. "Nala perpanjang cutimu, dua hari lagi kamu dan Aska menikah."

Ruangan tersebut seketika hening mencerna informasi yang dilontarkan Gunawan terlebih lagi bagi Nala. Menikah? Dengan kakaknya? Apa ayahnya sadar jika hal itu tidak boleh dalam agama maupun hukum. Lagipula kenapa harus dirinya jika kedua kakaknya tampak menginginkan pria itu, pria yang selama ini ia hindari untuk meredam getaran dalam hatinya. Getaran yang tak boleh ia pupuk untuk mencintai saudaranya.

"Rima atau Dhea lebih pantas, kenapa harus dia, Wan?" Pertanyaan Hesti istrinya memecah keheningan di meja makan itu. Ia tak habis pikir mengapa harus Nala jika dan Rima dan Dhea yang lebih cocok.

"Karena dia pilihan, Aska." Kata-kata tegas Gunawan menandakan jika dirinya tak ingin dibantah.

"Rima nggak setuju, Yah, disini yang lebih pantes cuma aku," protes Rima dengan berapi-api, wajahnya merah padam karena emosi.

Begitu juga dengan Dhea, dirinya tak terima jika Nala yang menjadi isteri dari Aska. "Dhea juga nggak setuju!"

"Kalian setuju ataupun tidak pernikahan ini tetap terjadi."

"Kenapa kami harus menikah? Kami bersaudara lagipula dilarang agama dan negara, Yah." Nala benar-benar tidak habis pikir, ayahnya dapat ide konyol darimana.

"Dasar bodoh. Kita nggak ada hubungan darah dengannya," sahut Ivan yang sedari tadi diam menyimak obrolan keluarganya.

"Maksud Kak Ivan?" tanyanya pada kakak laki-laki satunya. Ini benar-benar membingungkan baginya.

"Sudahlah! Kamu sama Aska tetap menikah," sergah Gunawan. Pria itu berdiri meninggalkan meja makan.

"Yah.. Nala tidak mau!" Nala mengejar Gunawan yang akan masuk ke dalam kamarnya dan berdiri di hadapan Gunawan. "Yah, tolong jangan Nala. Lebih pantas Kak Rim atau kak Dhea," mohonnya. Nala mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya.

Gunawan hanya menatap tajam Nala tanpa berkata-kata. Ia berbalik masuk ke dalam kamar lalu keluar lagi meninggalkan Nala yang memandangi dengan pandangan memohon. Aska dan Ivan menyusul ayahnya sedetik kemudian, kini hanya ada dirinya, Rima, Dhea juga Hesti diam di tempat masingmasing.

Tiga perempuan di meja makan itu marah tak terima jika Nala yang harus menjadi istri Aska yang kemungkinan besar mewarisi harta Gunawan. Sedangkan Nala dengan linglung berjalan mendekati tangga kemudian duduk di anak tangga nomor dua dari bawah.

Apa ini? Kenapa semuanya begitu tiba-tiba dan mengejutkan. Lalu apa maksud kata Kak Ivan tadi? Tidak sedarah? Apa Kak Aska bukan anak kandung ayahnya? Ia memijat pelipisnya meredakan pusing di kepalanya yang tiba-tiba menyerang.

Apalagi ini?

❄❄❄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top