27

Batikk mau ingatkan saja. Yang ikutan PO JA dan WFl yang sudah dapat rekapan segera di mohon melakukan pembayaran dan yang belum masih bisa ikut. Batas transfer dan PO tanggal 29. Agar awal bulan bisa dikirim ke rumah masing-masing.😊😊. Makasih

❄❄❄

Satu pesan dari Gara masuk ke WhatsApp milik Eru. Hanya satu foto, tetapi cukup untuk pria itu membelalakkan matanya. Nala. Tanpa berlama-lama Eru langsung menelepon Gara.

"Hallo, Ga. Ketemu dimana dia?"

"Semarang. Nggak sengaja pas beli oleh-oleh buat Kin. Sebenarnya aku juga nggak tahu, Ru, dia nyenggol aku baru tahu. Dia sepertinya nggak mengenaliku, buktinya dia nggak kaget melihatku."

"Udah bilang Aska?"

Gara menggeleng padahal Eru tak melihatnya, itu hanya gerakan refleks saja. "Belum. Aku pikir biar dulu sampai mana usaha Aska, sampai mana dia butuh Nala dalam hidupnya. Satu hal lagi, dia mengubah namanya jadi Rani."

"Wah, pantas. Orang yang dia sewa kesulitan dan jadi lamban kerjanya."

Gara mengangguk setuju dengan pendapat Eru. "Tapi aku nggak tega lihat Aska kayak gitu, udah kayak tengkorak jalan. Menurutmu apa aku harus bilang sama dia?"

"Jangan. Jangan bilang dulu, biar aku yang urus. Kamu cukup tutup mulutmu, Ga."

Helaan napas lolos dari bibir. "Oke, tapi jangan keterlaluan."

"Beres. Oh ya, Ga. Kamu belum katakan bertemu dimana?"

"Toko Kembang Emas jalan Pangandaran, Semarang."

"Sip. Aku tutup dulu teleponnya. Awas jangan sampai bocor ke dia."

"Iya."

Sambung telepon itupun terputus, Gara mendesah panjang. Kenapa tadi ia bicarakan pada Eru? Kalau laki-laki tersebut sudah ikut campur bisa panjang urusannya. Eru paling pintar menjahili sahabat-sahabatnya termasuk dirinya.

Ditempat lain dalam sebuah apartemen nomor 801 lantai sepuluh, pria yang berat badannya berkurang itu menatap kosong panorama kota Jakarta di malam hari dari balkon kamarnya. Seindah apapun, segemerlap lampu-lampu cantik tak dapat menghiburnya dari kenyataan pahit yang dia rasakan. Wanita yang ia cintai bukan hari ini saja tetapi beberapa tahun lalu meninggalkan dirinya karena keegoisannya. Mungkin jika dirinya berada di posisi Nala, ia akan melakukan tindakan yang sama. Mungkin bisa lebih nekat dari perempuan tersebut.

Satu lembar strip pil KB dalam genggamannya mengingatkan dia akan kata-kata menyakitkan untuk Nala. Bagaimana bisa dirinya berucap seperti itu seolah istrinya barang yang akan ia simpan selama berguna dan akan membuangnya jika sudah tak layak pakai.

Selama berguna dan nggak melibatkan cinta dalam pernikahan aku akan memikirkannya.

Pria macam apa dirinya yang tak mempunyai hati hingga mampu mengores luka di hati Nala. Egois dan sakit hati karena penolakan istri dulu membutakan dirinya padahal jelas jika Nala mengatakan jika ia mencintai Aska. Mungkin saja saat itu perempuan tersebut menolaknya karena alasan tertentu dan seharusnya ia bertanya apa motif Nala tak menerima cintanya.

Kini terasa kekosongan yang menghinggapi dirinya. Gelap tanpa sinar. Ia buta di tengah terangnya cahaya, terpuruk dalam kubangan penyesalan dalam. Air itu akhirnya meluruh tanpa ingin ia halau, mengucur hanya mau memastikan dirinya masih hidup dan mempunyai rasa bukan hanya mayat yang menjalani harinya walaupun dirinya serasa mati.

❄❄❄

Akhir-akhir ini Nala sering merasakan pening di kepalanya, bukan sakit yang hebat namun cukup mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Untungnya bukan musim liburan jadi toko tak begitu rame. Tapi pagi ini terasa berbeda ia tak bisa lagi menahannya ditambah badannya meriang, ia menggigil hampir semalaman. Jika seperti ini rencananya untuk jalan-jalan bersama Teguh dan Risty terpaksa di batalkan. Sudah beberapa hari ini ia ingin ke Lawang Sewu dan kebetulan hari ini mereka baru bisa mengantar selain itu pas hari liburnya.

Risty mengernyit heran melihat kawannya itu tetap di posisi semula. Tumben Nala masih bergelut dalam selimut padahal biasanya sudah di dapur. Ia mendekati perempuan yang tengah terpejam tersebut, terlihat keringat dingin mengucur di wajah Nala. Risty menempelkan punggung tangan dan tahu penyebab kenapa temannya masih berada di kasur. Tanpa banyak bicara Risty menghubungi Budhe Endah yang berprofesi sebagai dokter di rumah sakit umum.

"Telepon siapa, Ris?" Tanya Ajeng dari arah dapur.

"Budhe Endah, Bu. Rani sakit," jawab Risty lalu duduk di kursi ruang tamu sembari menunggu budhenya datang.

Ajeng ikut bergabung dengan Risty duduk di sebelahnya. "Ris, ibu kok merasa Rani menyembunyikan sesuatu ya. Maksud Ibu, Rani kayak lagi menghindari sesuatu, selama di sini nggak pernah sekalipun Ibu lihat dia menelepon atau menerima telepon dari keluarganya. Kan aneh, Ris, masa keluarganya nggak kangen," tutur Ajeng yang dibenarkan Risty.

Memang selama hampir tiga bulan disini tak sedikitpun Nala bercerita tentang keluarganya dan perempuan itu lebih banyak diam. Sering ia memergoki temannya itu melamun dengan pandangan kosong, entah apa yang dipikirnya. Terkadang ia melihat Nala menangis dalam diamnya, Risty jadi berpikir seberat apakah kehidupan yang wanita tersebut jalani.

Ingin rasanya ia bertanya dan berharap Nala mau berbagi beban hidupnya namun wanita tersebut seperti masih belum siap, Risty tak pernah ingin memaksanya mungkin suatu hari nanti Nala akan mengatakan sendiri. "Ris, sendiri merasa gitu, Bu, tapi aku nggak mau maksa dia untuk cerita. Mungkin dia belum siap, Bu."

"Ibu pernah lihat dia nangis di teras belakang. Ibu tanya tapi jawabnya dia kelilipan. Masa iya kelilipan sampai tersedu-sedu gitu biarpun dia berusaha nggak bersuara," cerita Ajen pada anak perempuannya.

Risty menoleh pada ibunya. "Kapan?"

"Seminggu yang lalu mungkin, Ibu, lupa."

"Aku juga sering, Bu, tapi---"

"Assalamualaikum," ucap wanita berhijab abu-abu dengan kacamata bertengger di hidungnya.

"Waalaikum salam, Budhe," jawab Risty. Ia berdiri lalu mencium tangan Endah. "Masuk, Budhe. Duduk dulu, Ris, buatin minum," pinta Risty.

"Nggak usah, Nduk. Budhe lagi kesusu tapi tak selakne mrene dhisik." Endah menolak tawaran Risty. "Yang sakit siapa?" Tanya Endah.

"Teman Ris, Budhe," sahutnya.

"Mana?"

Risty menggandeng Endah ke kamarnya. Nala masih tetap di posisinya tak berubah. Nala sebenarnya sudah bangun hanya saja pusing di kepalanya membuat dirinya enggan untuk membuka matanya di tambah badannya yang lagi tak bersahabat. Endah memeriksa Nala dengan seksama lalu keluar dan duduk kembali di kursinya diikuti Risty.

"Piye, Mbak Yu (gimana, Mbak)?" Tanya Ajeng.

"Coba sesuk gawanen bocah kui nok dokter kandungan, Jeng( coba besok bawa anak itu ke dokter kandungan)" jawab Endah.

"Maksud, Budhe, teman Ris hamil?"

"Dugaan, Budhe, saja Ris. Bisa jadi demam ini gejala kehamilannya," ujar Endah sembari mengeluarkan obat untuk Nala. "Makanya bawa ke dokter kandungan untuk lebih jelasnya. Budhe sarankan ke dokter Sasi saja, Ris."

Hamil? Nala hamil? Risty menganga tak percaya. Apa ini alasan Nala pergi dari keluarganya? Astaga. Untuk kali ini ia akan memaksa Nala bercerita agar spekulasi buruk tentangnya hilang.

"Ini obat buat demamnya. Nanti kalau sudah baikan jangan lupa bawa ke dokter. Budhe pamit dulu." Endah keluarga rumah diantar Ajeng, Risty termangu ditempatnya. Kaget. Tentu saja itu yang ia rasakan saat ini mengetahui keadaan temannya.

"Ris?"

"Nanti, Bu. Yang penting Rani makan biar bisa minum obatnya."

Ajeng menurut saja. Risty ke dapur mengambil makanan untuk Nala tak lupa air putih. Ia membangunkan Nala agar makan dan minum obat. Perempuan itu tersenyum pada Risty yang sudah baik membawakan makanan untuknya. Meskipun perutnya sedikit mual, Nala memaksa terus nasi dan lauk itu untuk masuk. Beruntung makanan yang diambil kawannya tersebut tak banyak hingga ia tak terlalu kenyang.

Sesudah itu ia minum obat yang Risty berikan. Ketika ia bertanya obat apa, perempuan itu bilang obat demam biasa dari Budhenya yang berprofesi sebagai dokter. Nala menggumamkan maaf karena merepotkan dia dan ibunya. Risty mengangguk kecil lalu menyuruhnya untuk tidur. Melihat Nala memejamkan mata membuat Risty bertanya-tanya. Ada apa dengan Nala sebenarnya?

❄❄❄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top