13

Curcol ya:

Kan lagi ngetik part ini, gak tahu kenapa kok mewek ya. Asli beneran eike mewek😭😭...dasar akunya juga mewekan. Kok kerasa sedih ya (menurut eike ya, gak tau juga sih kalian wkwkk)

Cuzz lah happy reading post cepet karena gak nyangka target vote terpenuhi.

❄❄❄

Mata yang menyipit menatap sekeliling kamar kost yang ia perkirakan tak lebih besar dari kamar mandinya di rumah, berisi kasur lantai, lemari kecil berukuran sedang dan meja kecil pendek. Tak ada kamar mandi dalam artinya Nala harus berbagi dengan lainnya. Ruangan dengan jendela tak begitu besar dan atap langit-langit tidak begitu tinggi itu menjadi tempat berlindung istrinya selama kurang lebih 5 tahun. Aska mendesah pelan membayangkan keadaan Nala yang harus hidup sekadarnya sedangkan dirinya juga lainnya hidup berkecukupan atau bisa dikatakan berlebihan.

Ia rebahkan tubuhnya di kasur lantai tipis dengan lengan menutupi matanya, ia mengingat keributan yang terjadi saat dirinya membututi Nala masuk dalam kawasan kost khusus putri sampai-sampai induk semangnya turun tangan, beruntung buku nikah yang selalu Nala bawa meyakinkan Bu Nanie hingga wanita berusia empat puluh lebih tersebut mengizinkannya masuk ke kamarnya Nala.

Nala sendiri memperhatikan Aska mulai terlelap di kasur, pasti dingin dan tidak nyaman tapi apa boleh buat hanya itu yang tersedia. Ia sudah menyuruhnya pulang ke hotel tapi seperti biasa Aska tak mendengarkan dirinya. Jika begitu ia harus apa? Ya sudah terima resiko jika badannya sakit semua. Nala menggantung tas di paku belakang, membersihkan wajahnya dari sapuan make up lalu mengambil baju serta dalaman di lemari juga menyambar handuk yang ia sampirkan di pintu lemari.

"Mau kemana?" tanya Aska saat mendengar suara pintu dibuka.

"Mandi. Kakak mau mandi juga? Aku panaskan air biar nggak kedinginan nanti," tawar Nala pada suaminya.

Masih dengan posisi tidur telentang dan menutup matanya Aska menjawab, "Boleh, badanku lengket semua karena tangisan seseorang."

Nala tersipu malu, mukanya memerah. Ia tahu siapa yang Aska maksud tapi ia tak menyangka suaminya arogannya bisa berkata lembut juga. "Maaf," ucapnya lirih dan kepalanya tertunduk.

"Hemm."

Meskipun terdengar seperti sindiran tak urung Nala tersenyum juga mengetahui kakaknya masih memiliki hati dan bukan seorang iblis. Ia keluar dari kamar tak lupa menutup pintunya lalu mengambil cerek dan mengisinya dengan air pam dan merebusnya. Nala masuk ke kamar mandi dengan cepat ia menyelesaikan mandinya, tepat ia keluar dengan badan segar dan sudah memakai baju bersih, air dalam cerek mendidih. Nala berhati-hati menuang air panas itu dalam ember yang ukurannya lumayan.

Ia membangunkan Aska dengan pelan, tak sulit ternyata membangunkan suaminya hanya dua kali panggil pria itu bangun. Ia mendahului Aska menunjukkan letak kamar mandi dan peralatan mandi miliknya. Setelah pria itu masuk dalam kamar mandi, ia menjerang air lagi untuk membuat minum. Kopi susu panas dan teh hangat sudah jadi, Nala mengambil handphone lalu membuka aplikasi go-food memesan makanan untuk mereka.

"La, jadi kamu udah nikah dan nggak cerita sama kita-kita?" tanya Sava dengan wajah kecewa yamg sudah berada didekatnya tanpa ia sadari begitu juga Yesi, Elga, Ayu di sebelah Sava.

Huft. Ini yang ia takuti waktu Aska memaksa ikut ke tempat kostnya. Pertanyaan yang harus ia jawab padahal ia belum ingin membaginya dengan siapapun kecuali Leta. Bukan ia tak menganggap dan tak percaya sama teman-teman lainnya hanya saja  ia ingin memastikan benar kemana arah pernikahan ini.

"Bukan nggak mau cerita atau mau menyembunyikan pernikahan ini, Va. Tapi aku rasa belum saatnya aja. Dan, pernikahan ini nggak sama kayak kisah-kisah dalam novel romantis yang kalian baca dimana dua tokohnya yang saling jatuh cinta lalu menikah," terang Nala berusaha memberitahu alasannya mengapa ia menyimpan statusnya. "Pernikahan ini salah dan aku nggak tahu kemana arahnya, karena itu aku nggak mau cerita sama kalian. Pernikahan yang diatur secara sepihak oleh ayah dan aku nggak bisa menolaknya karena alasan tertentu," lanjutnya lagi. Rautnya menunjukkan kepasrahan pada keputusan ayahnya. Lagipula jika dengan perkawinan ini ayahnya selamat dari kebangkrutan maka ia rela.

"Kenapa kamu pasrah aja, La? Apa kamu nggak ingin hidup sesuai mau-mu?"

"Aku ingin, Va, tapi aku nggak bisa."

"Bukannya pria itu yang di mall?" celetuk Yesi. Ia ingat pria itu yang menatap terus kearah meja mereka dan sekarang ia tahu siapa tujuan pria tersebut.

Anggukan kecil dari Nala sudah menjawabnya tapi tetap saja rasa ingin tahu bergelayut dalam benak teman-temannya.

"Tapi kenapa kamu pura-pura nggak kenal?" Kali ini Elga membuka mulutnya untuk menanyakan keingintahuannya.

Nala menghela napas kemudian bersandar ke tembok dengan dua tangannya menyilang di belakang. "Bukan pura-pura nggak kenal tapi aku baru tahu waktu itu, dan terlalu kaget lihat dia," bantahnya dan memang ia kaget melihat Aska ada di kota ini dan secara kebetulan mereka bertemu di mall itu.

"Dia gimana sama kamu? Baik kan? Terus perasaan kamu ke suamimu, gimana?" tanya Ayu, perempuan itu biasanya hanya sebagai pendengar kali ini ikut bertanya. Ia merasa iba pada Nala karena jalan hidupnya yang bisa dikatakan tak bahagia.

Nala terdiam. Apa yang akan ia jawab jika membahas soal perasaan? Cinta atau hanya jalani saja? Seperti apapun perasaannya tak akun berpengaruh pada keadaan ini. "Nggak penting gimana perasaanku, Yu. Nggak bakal mengubah apa-apa. Jalani aja kayak gimana nantinya."

"Kalau gitu kamu harus pulang?"

Dengan ragu-ragu dan memejamkan matanya Nala mengangguk pelan. "Iya, dalam waktu dekat," ucapnya lirih. Berat sebenarnya ia meninggalkan tempat ini yang sudah menjadi rumahnya selama kurang lebih 5 tahun ini. Tapi apa boleh buat? Jika suaminya berkehendak seperti itu.

Melihat rupa Nala yang sarat kesedihan membuat Sava tiba-tiba memeluknya erat, berharap dapat memberi kekuatan pada sahabatnya itu. "Kami bakal kehilanganmu, La. Aku harap Tuhan mengirimkan suamimu untuk membuatmu tersenyum. Berjanjilah kamu akan bahagia, La. Sudah cukup kamu menderita dan kuharap kali ini kamu menemukan kebahagiaan mu. Kamu harus bahagia," ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis.

Mendengar hal itu air mata Nala meluruh tapi tak urung kepalanya menggangguk juga. Itu harapan Nala namun entah kapan terwujud atau sampai ia mati dirinya tak akan menemukan kebahagiaan itu. "Makasih, Va... makasih," balasnya juga dengan suara tertahan. Nala pun membalas pelukan Sava sama eratnya.

Melihat hal itu Elga, Ayu, Yesi pun memeluk Nala dan Sava. Mereka menangis bersama seolah ikut merasakan apa yang Nala rasakan. Mereka sudah seperti keluarga, dari mereka Nala menemukan sebuah keluarga, sebuah kasih sayang. Dan, saat ia harus kembali ke Jakarta tak terbayangkan bagaimana dirinya akan bertahan bersama orang-orang yang berbeda jauh dengan sahabat-sahabatnya.

"Apapun yang terjadi kamu harus kuat, La," pesan Yesi yang lebih dulu mengurai pelukannya disusul Elga, Ayu lalu Sava.

"Jangan ragu menghubungi kami jika kamu mengalami kesulitan," sambung Elga dengan hidung merah karena menangis.

"Kamu akan selalu menerima mu kembali," sahut Ayu.

Mereka menggenggam tangan satu sama lainnya, berharap besar menyalurkan kekuatan untuk Nala agar tegar menjalani kehidupan barunya.

"Makasih, kalian baik banget. Kalian bukan hanya sahabat tapi sudah jadi keluargaku," ucapnya dengan tulus.

Mereka sama-sama tersenyum mengiyakan ucapan Nala.

"Ekhem."

Suara deheman di belakang Nala membuat kelima perempuan itu kaget. Dengan segera mereka menarik tangannya masing-masing kemudian pamit pada Nala. Perempuan itu sendiri cepat-cepat mengusap air mata di wajahnya sebelum berbalik menghadap suaminya.

Aska berdiri di depan pintu kamar mandi bersendekap menatap lurus pada Nala. Mata dan hidung merah istrinya tak luput dari pindaian bola matanya. Kegugupan perempuan itu pun tertangkap retinanya. Tanpa banyak kata Aska berjalan ke kamar Nala kemudian diikuti istrinya.

Saat di dalam kamar Nala tampak kebingungan melihat Aska sudah rapi dan menelepon taksi online untuk menjemputnya. Mengapa memesan taksi padahal tadi ngotot ingin tinggal di sini? Apa dirinya berbuat salah dan Aska marah? Tapi apa yang ia lakukan hingga membuat pria itu terlihat marah?

"Kak.."

"Aku akan ke hotel dan besok aku kembali ke Jakarta kamu nggak perlu mengantarku. Bulan depan aku akan menjemputmu karena itu bersiaplah," kata Aska tegas tanpa ingin dibantah. Pria itu mengeluarkan dompetnya lalu menarik sebuah kartu yang Nala tebak sebuah kartu ATM. "Ini pakailah." Aska menarik tangan Nala meletakkan kartu itu di telapak tangan istrinya.

"Tapi..."

"Kewajiban ku."

Setelah berkata seperti itu Aska keluar dari kamar Nala. Dirasanya Nala mengekori dirinya dari belakang ia tetap melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Nala mengantar Aska sampai gerbang depan, baru ia berbalik setelah mobil yang pria itu naiki menghilang. Dalam pikirannya bertanya kenapa dengan suaminya?

❄❄❄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top