10


❄❄❄

Sudah hampir dua bulan Nala menjalani kehidupannya dan ia pun seolah lupa akan Aska dan statusnya. Ia tak ingin mengingat pria itu yang dengan berperilaku seenaknya sendiri. Jika Aska bisa mengabaikan dirinya juga statusnya maka Nala pun bisa bahkan sangat bisa karena ia sudah terbiasa dilupakan.

Hari-harinya masih sama seperti biasa, bekerja dan berkumpul dengan kawan-kawannya sesekali baik itu teman satu kost, kawan kerja ataupun sahabatnya. Tak pernah terbersit sedikitpun dalam benaknya tentang Aska, dan keberuntungan rupanya masih berpihak padanya. Setelah sempat terlambat datang bulan beberapa hari akhirnya tamu bulanannya datang membuatnya mendesah lega. Ia tidak hamil, artinya ia mudah menjalani aktifitasnya.

Bukan ia merasa terbebani hanya saja jika ia hamil sekarang, bagaimana nasib anaknya kelak? Ia tak ingin darah dagingnya mengalami hal sama seperti dirinya meskipun ia akan menyayangi sepenuh hati anak itu namun seiring berjalannya waktu buah hatinya akan bertanya mengapa ayahnya tak mencintai dirinya.

"La, udah siap?" Sava melongok kan kepalanya ke dalam lewat celah pintu yang terbuka.

"Udah," jawabnya lalu menyambar tas kecilnya dan kunci motor. Ia mengunci pintu kamarnya kemudian memakai sepatu sneakers warna navy.

Rencananya sore ini mereka mau nonton di salah satu mall bareng-bareng, kebetulan mereka bersamaan libur kerjanya jadi secara dadakan mereka merencanakan acara tersebut. Seperti biasa Leta berboncengan dengannya, Sava sama Yesi sedangkan Elga bareng Ayu. Mereka berangkat lebih awal agar tidak kehabisan tiket bioskop atau antrean panjang.

"Lu gemukan ya, La. Hamil?" tanya Leta saat mulai menghidupkan mesin motor Nala dan menunggunya naik di belakang.

"Nggak, tapi emang nafsu makan gue naik."

Perempuan di depannya itu menoleh padanya. "Lu yakin?" Alis sebelah Leta terangkat tinggi.

Nala mengangguk cepat dan yakin jika dirinya tidak hamil. Jelas yakin baru kemarin ia bersih bulanan. Leta tak ingin bertanya lebih lanjut karena itu bukan urusannya, meskipun karibnya hamil toh ada suaminya ya walaupun ia sangsi Aska bisa menjadi pendamping baik bagi Nala.

❄❄❄

Jam tayang film yang ingin mereka tonton masih sekitar satu jam lagi sebab itu mereka memutuskan jalan-jalan mengelilingi mall tersebut dan akhirnya mereka memutuskan makan dulu di foodcourt. Duduk mengitari meja dengan menu pilihan masing-masing. Bagi Nala ini moment yang sulit didapat mengingat jam kerja mereka berbeda.

Mereka bercerita mulai dari hal kecil sampai kekasih masing-masing, mulai dari soal yang serius sampai kelucuan yang mereka punya. Bersama mereka membuat Nala sedikit terhibur, bersama mereka ia menemukan sebuah keluarga yang tak ia dapatkan di rumah.

"Coba lihat di belakang kalian cowok itu sepertinya melihat kearah kita," bisik Yesi yang duduk di kursi seberang Nala.

"Ge-er! Perasaan lu aja kali," sahut Sava yang hafal betul bagaimana Yesi, sohibnya itu tidak bisa melihat pria bening sedikit radar ge-er nya langsung bekerja.

Kekehan terdengar dari bibir teman lainnya yang juga tak kaget melihat perilaku Yesi.

"Gue serius, coba kalian lihat dia menatap kita. Kalau ia memperhatikan teman kencannya nggak mungkin kan dia seintens itu melihat kita."

"Yakin bener lu, Yes. Emang yang mana sih?" timpal Elga yang dari tadi sibuk memperhatikan layar ponselnya.

"Kemeja polos merah hati persis di meja belakang kita."

Karena Yesi begitu ngotot, mereka memutuskan melirik pria itu namun satu persatu tidak serentak dimulai dari Sava, Elga, Ayu, Leta baru dirinya. Karena dia dan Leta duduk memunggungi pria yang temannya maksud, ia terpaksa menoleh ke belakang dan...

Secepat kilat Nala berbalik menghadap Sava dan Yesi bahkan meminta mereka agar cepat menghabiskan makanan dengan alasan sebentar lagi film yang akan mereka tonton segera diputar. Kaki Leta menendang pelan kaki Nala membuatnya memalingkan wajahnya pada Leta. Perempuan itu mengode Nala dengan dua alisnya seolah bertanya 'kenapa?'.

"Yuk, buruan. Bentar lagi main filmnya," ajak Nala pada teman-temannya. Beruntung tak ada yang protes jadi ia tidak perlu memutar otaknya untuk memberi alasan.

Mereka beranjak bersama-sama meninggalkan meja dan melewati meja yang pria itu. Nala merasakan keringat dingin mulai membanjiri kulitnya, mengapa dia muncul dihadapannya? Apalagi yang ia mau?
Dia memang sengaja meminta waktu tiga bulan untuk dirinya sendiri dengan harapan pria itu lupa padanya seperti selama ini tetapi hal itu tampak hanya pikiran konyolnya saja, mana mungkin seekor singa melepaskan buruannya, sama layaknya Aska yang tak akan membiarkan dirinya lepas.

Pintu masuk sudah dibuka, Nala pamit ke toilet yang berada di lorong samping. Nala menyandarkan punggungnya di tembok toilet begitu berada dalam toilet wanita untuk meredakan kegelisahannya. Ia benar-benar gelisah jika Aska sampai mendatanginya, ia belum siap dengan itu. Ia ingin melupakan suaminya. Dan, untuk apa pria itu ke kota ini?

Pintu toilet diketuk dari luar karena tadi ia kunci. Ia butuh waktu sendiri dan tak ingin diganggu barang sejenak saja. Ketukan itu semakin tidak sabaran membuat Nala buru-buru memutar kuncinya. Baru saja ia membuka pintunya tangannya ditarik kuat. Cengkraman itu kuat hingga ia tak bisa mengurainya.

Dengan langkah terseok-seok Nala mengikuti pria itu. Wajahnya memerah malu karena menjadi pusat perhatian pengunjung mall. Dirinya seperti anak kecil yang tengah dimarahi ayahnya hingga menyeretnya.

"Kak!" ucapnya agar melepaskan tangannya dari cekalan Aska.

Telinga Aska sepertinya tuli tak mendengar suaranya. Saat di eskalator mereka berdiri berdekatan namun genggaman itu tidak lepas. Aska membawanya ke lantai tiga kemudian berbelok lalu masuk ke lift naik ke lantai atas yang merupakan hotel. Ya, di mall tersebut tersedia juga hotel.

❄❄❄

Sampai di depan pintu masuk hotel mereka disambut senyum dari penjaga pintu dan resepsionis. Entah senyum itu untuknya atau untuk Aska, yang jelas resepsionis perempuan itu melempar senyum untuk kakaknya. Hanya lirikan mata sinis yang Aska berikan pada wanita itu lalu melanjutkan langkahnya naik lift ke lantai delapan.

Aska membooking kamar dengan view pemandangan kota malam hari. Ini kali kedua mereka dalam satu kamar dan ia tak bisa membayangkan jika Aska kembali mengurungnya. Suaminya menyentak kuat hingga dirinya terjerembab di sofa warna kream yang empuk. Segera Nala membenarkan duduknya dan mendapati Aska duduk di meja depannya seraya pandangan kemarahan.

"Ad--ada apa, Kak?" tanyanya takut-takut. Bagaimana tak takut jika tatapan Aska bagai pedang tajam yang siap membunuhnya.

"Mulai berani, heh?" sindir pria itu padanya dan Nala tak mengerti maksud dari Aska. "Ingin ayahmu tidur di kolong jembatan?"

Ia jelas menggeleng cepat namun ia tak paham sindiran Aska. "Jangan. Dan, apa--apa maksud, Kak Aska?" cicitnya pelan dan rendah kepala tertunduk tak mampu membalas tatapan Aska.

Bersama jempol dan telunjuknya ia mengangkat dagu Nala agar melihatnya, muka itu mulai memucat mendengar ancamannya. Lucu bukan istrinya ini. "Aku mengirim pesan untuk menemui ku tapi kamu malah mengindahkan pesan itu, baru dua bulan dan sudah mulai berani bertingkah. Siapa yang mengajarimu, heh? Pernah berpikir aku bisa menghancurkan ayahmu dalam sekejap?"

"Aku nggak tahu kalau Kakak mengirim pesan, aku---aku belum buka hp sama sekali," bantahnya meskipun dengan suara gemetar dan gugup dan memang ia tak berbohong.

"Baiklah aku percaya." Aska melepaskan jepitan jarinya di dagu Nala. "Ingat! Mulai sekarag jangan pernah mengabaikan pesanku kalau ingin keluargamu baik-baik saja. Dimana dan kapan saja kamu harus membalasnya atau...."

Perempuan itu menelan ludahnya dengan susah payah dan ketakutan dengan ucapan Aska. "Tapi Kak, saat kerja aku---"

"Itu urusanmu dan aku nggak mau tahu," sergah laki-laki itu cepat.

Kenapa suaminya ini suka sekali mempersulitnya? Jika ia dipecat bagaimana?

Pria itu menikmati pergolakan batin yang terjadi pada Nala, dan ia tak peduli selama keinginannya dituruti dia akan menjamin kehidupan Gunawan. Istria terlihat gampang sekali dimanipulasi dan itu bukanlah hal yang bagus dan diharapkan Aska.

"Kak, tolong mengerti. Aku nggak mung--"

Pria itu mengangkat tangannya di depan wajah Nala tanda ia tak ingin mendengar apapun dari istrinya, hal tersebut membuat wanita ingin menangis saja. Bukan tak diperbolehkan membawa ponsel saat bekerja namun jika keadaan sedang ramai kemungkinan ia tak membalas pesan atau mengangkat telepon dari pria itu.

Aska berlalu dari hadapan Nala kemudian membuka kemeja yang ia kenakan dan melemparnya begitu saja. Nala memalingkan wajah dari pemandangan yang membuatnya malu setengah mati, meskipun mereka pernah menghabiskan waktu bersama tetap saja hal itu membuatnya jengah.

Suaminya mulai mendekat dan ia sadar betul itu, bulu kuduknya meremang saat pria itu mulai mengendus cekungan lehernya dan mulai mengecupi bahu dan ia mengerti arti dari kecupan itu. Ia hanya pasrah tanpa bisa menolak. Bukankah seorang wanita yang menolak keinginan suaminya untuk menyambung raga  akan mendapat laknat dan dikutuk oleh malaikat? Dan, ia tak ingin itu.

❄❄❄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top