1
Proyek coba-coba wkwkw....tadinya sih mau lanjutin Seno kan ya... eh ini anak lewat gitu di kepala jadi ya ditulis aja mumpung dia mampir 😂😂....
Masih tetep dengan genre yang mellow-mellow dan serius...bukan gak mau keluar dari zona aman sih 😥😥 tapi belum ada keberanian mencoba genre yang lucu-lucu....tapi Batikk mulai belajar bikin yang lucu-lucu biar gak garing kek peyek kayak kata NovaMaretha yang enak lagi kalo dicampur sama nasi pecel 😂😂...
Astaga apalah ini udah cuzz baca aja...suka tinggalin jejak ya wkwkwk...
😘😘😘
❄❄❄
Saat jam weker di bawah bantalnya berbunyi dengan nyaring dan menunjukkan pukul enam pagi artinya Nala harus dan bersiap-siap untuk pergi ke tempat kerjanya. Tidak mau repot-repot merapikan sprei kasur lantainya, ia segera menyambar handuk di gantungan sisi lemari pakaian lalu keluar kamar antre kamar mandi.
Ya, tinggal di kosan bersama orang lain membuat Nala harus pandai-pandai mengatur waktu jika tak ingin terlambat dan mendapatkan teguran dari manager-nya apalagi kalau masuk pagi seperti ini. Beruntung ratu lelet tidak ikut antri kamar mandi bisa dipastikan dirinya akan terlambat bila kedahuluan si lelet itu.
Tak berapa lama kamar mandi terbuka Yesi keluar dari sana kemudian dirinya masuk. Tidak ada ritual mandi spesial yang harus ia lakukan sampai harus berlama-lama di kamar mandi. Nala berlari kecil ke kamar berukuran 3x4 dengan tarif 400 ribu perbulan. Kamar sederhana bercat dinding putih bersih dengan isi kasur lantai busa berukuran satu orang, lemari, dan meja kecil. Harga sewa yang dia bayarkan belum termasuk televisi, radio, penanak nasi otomatis, dan laptop. Jika membawa itu semua maka Nala bisa kena tarif hingy 500-550rb tergantung kebijakan pemilik kos.
Nala mematut diri di depan cermin memperhatikan jika ada yang kurang. Seragam kerja dan make up tipis menyempurnakan penampilannya, tak lupa Sling bag hitam yang selalu menemani dirinya kemanapun. Jam weker sudah menunjukkan hampir pukul tujuh dan Nala bersiap berangkat setelah mengunci pintu kamarnya. Saat Nala mengeluarkan motornya Leta menyapanya.
"Kok lu masuk pagi, La, kan shift lu bareng gue." Leta melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar di pintu kamarnya.
Nala mengangguk. "Gantiin Elga, dia mau antar ibunya ke rumah sakit," jawabnya. Tangannya sibuk menarik-narik sarung tangan agar pas di jari-jarinya. "Gue cabut dulu, ya. Assalamualaikum."
"Hati-hati, La."
❄❄❄
Ruang rapat dengan kapasitas 40 orang itu terlihat hening, tak ada satupun anggota rapat yang berani mengeluarkan suara. Bos besarnya murka karena kebocoran produk baru yang akan di luncurkan perusahaan itu bulan depan, dan jika sudah seperti ini para dewan direksi hanya bisa saling lirik dan menduga-duga.
"Bagaimana bisa bocor jika tidak ada campur tangan orang dalam. Sekarang katakan siapa yang menangani urusan proyek apartemen di daerah itu!"
"Pras."
Gunawan menoleh pada putranya yang duduk tidak jauh dari kursinya. Meskipun Aska anaknya namun hubungan keduanya jika di kantor tetaplah atas dan bawah tapi sebentar lagi tampuk kepemimpinan akan berpindah tangan pada Aska. "Yang lain boleh keluar kecuali kamu, Pras."
Tidak terkecuali Aska pun ikut beranjak pergi dari ruang itu menyisakan Gunawan dan Pras. Sebetulnya ia juga penasaran bagaimana desain yang akan dipakai bocor ke perusahaan lain sedangkan gambar tersebut baru tiga hari lalu dikirim pada mereka. Aska berjalan keruangan, betapa kaget dirinya mendapati adiknya Dhea menunggu dirinya dengan memakai baju kurang bahan memperlihatkan belahan dadanya.
Menghela napas panjang melihat keberadaan Dhea yang menurutnya tak tahu malu, apa perempuan itu tidak memikirkan wibawa ayahnya sebagai pimpinan perusahaan ini dengan mengumbar kemolekan tubuhnya untuk di nikmati para pekerja perusahaan. Aska mengabaikan senyum manis yang Dhea berikan padanya, ia terus melewatinya dan duduk di kursinya.
"Ada apa, Dhe?" tanya Aska tanpa basa-basi dan tak sedikitpun menatap perempuan itu. Baginya Dhea sama saja dengan perempuan yang tiap malam ia kencani, hanya bedanya Dhea dari kalangan terhormat.
"Aku mau ngajak Kak Aska makan siang bareng."
Matanya melirik sekejap kemudian kembali memperhatikan layar laptopnya. "Sorry, Kakak nggak bisa, lain kali saja," tolaknya tanpa mau tahu perubahan raut wajah Dhea.
Dhea tersenyum kecut mendengar penolakan Aska. Apa mungkin pria di hadapannya ini seorang gay tak ada reaksi sama sekali juga tak ada rasa tertarik sedikit pun padanya padahal dirinya sengaja memakai pakaian minim seperti ini. "Kalau gitu kita makan di sini saja, bagaimana?"
"Terserah kamu."
Dhea menekan sambungan interkom yang terhubung di meja sekretaris Aska dan memintanya agar memesan makan siang untuk mereka. Aska tak menganggap keberadaan Dhea di ruangannya, ia terus fokus menyelesaikan pekerjaannya. Menulikan telinganya dari gerutuan adiknya itu, kemarahannya karena tak di gubris sampai akhirnya wanita tersebut memutuskan untuk pulang, erangan kelegaan lolos dari bibirnya dan ia bisa merilekskan tubuh dan pikirannya.
❄❄❄
Tepat pukul setengah empat sore jam kerja Nala selesai. Ia meluruskan punggung lelahnya, meregangkan otot-otot tubuhnya. Seharian ini ia tidak sempat istirahat tepat waktu, tempatnya bekerja sedang ramai dengan pelanggan, mulai dari mempersiapkan dan menghias ruangan untuk acara ulang tahun, menjadi MC sampai kembali membersihkan ruangan tersebut lalu membantu di dapur sampai jam istirahat.
Huft!
Meskipun begitu dirinya menyukai pekerjaannya itu apalagi jika berhubungan dengan anak kecil. Nala bisa melihat impian masa kecilnya yang tak pernah terwujud, bukan karena ia orangtuanya miskin hanya saja orangtuanya tak terlalu suka berurusan dengannya dan mengabaikan dirinya.
Entah apa salahnya sampai-sampai orangtuanya tak menyukai dirinya bahkan saat dirinya memutuskan untuk mengambil kuliah di kota ini pun mereka tak menghalangi seperti kakak-kakaknya. Sampai sekarang bisa dihitung dengan jari orangtuanya menanyakan kabar padanya. Andai bisa memilih mungkin ia tak ingin dilahirkan dalam keluarga tersebut.
Plak!
"Ngelamun aja, kenapa?" Leta meletakkan tasnya di loker samping lokernya.
"Nggak apa-apa, cuma lelah saja," jawabnya dengan tersenyum untuk menutupi kesedihannya.
Leta berdecak sebal mendengar jawaban Nala. "Lu kira kita kenal berapa lama, La. Kangen sama orangtua lu?"
Nala tersenyum kecut lalu mengangguk kecil. "Iya, Ta."
"Telepon dong."
Gadis itu menggeleng cepat. "Nggak, palingan juga bibik yang jawab."
Leta menghentikan gerakan menyisir rambut lalu menghadap Nala. "Gue heran, La, lu kan anaknya tapi kok ortu lu kayak gitu. Emang lu pernah bikin salah apa sih? Kok gue rasa lu di buang sama mereka. Bayangin aja mulai lu kuliah sampai sekarang gue cuma beberapa kali liat bokap nyokap lu. Nggak ada khawatir-khawatirnya sama lu."
Bahunya terangkat bersamaan dengan embusan napasnya sebelum dia berkata, "Kok lu, Ta, gue aja yang anaknya juga nggak tahu salah gue apa. Kadang gue mikir apa jangan-jangan gue bukan anak mereka ya? Beda banget tahu perlakuan mereka sama gue nggak kayak ke Kakak-kakak gue."
Rasa iba melihat sahabatnya berkata demikian dengan mata berkaca-kaca menahan butiran bening agar tak menetes membuat Leta memeluk Nala. "Lu masih punya gue, orangtua gue, juga temen-temen yang lain. Orangtua lu lebih banyak dari Kakak-kakak lu, jangan pernah ngerasa lu sendirian gue bakal terus di samping lu."
Hanya anggukkan kecil kepala Nala mengiyakan ucapan sahabatnya. Inilah alasan mengapa dirinya tak ingin pulang dan mencari pekerjaan di kotanya karena ia tak ingin kehilangan sahabat-sahabatnya yang senantiasa bersamanya.
❄❄❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top