fana
Perasaan itu fana. Dan kefanaan tak jarang mengundang petaka.
•°•
"Tuh kan bener di sini." Nadi mencibir kecil sambil menutup pelan pintu ruang musik sebelum berjalan masuk.
Tadi, selepas bel istirahat berbunyi, Nadi buru-buru pergi ke kelas Juan. Niatnya sih mau mengajak makan bareng di kantin. Tapi ternyata, orang yang dicari-cari sudah menghilang dari kelas.
Tahu ke mana Juan jika tidak ada di kelas, Nadi bergegas ke kantin untuk membeli dua bungkus roti cokelat dan air mineral. Setelah selesai, dia membelokkan tujuan ke ruang musik. Dan seperti yang diharapkan, Nadi menemukan Juan sudah mengurung diri dengan sebuah gitar di pangkuan. Kali ini, ada bonus Heksa yang menemani.
"Cepet banget sih ilangnya? Tadi aku ke kelas kamu, tapi udah nggak ada."
"Tadi jam kosong, jadi ngungsi ke sini aja." Dari tempatnya duduk, Juan sudah tersenyum manis sambil melambai ke arah Nadi. "Duduk di kursi aja, lantainya kotor."
Sedangkan di sebelah Juan, Heksa sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mau menyapa Nadi. Melirik saja tidak. Masih sibuk dengan berlembar-lembar kertas di hadapannya.
Ruang musik di SMA PeKa tidak besar, tapi cukup nyaman untuk dijadikan sebagai tempat kabur saat jam kosong atau malas ikut pelajaran. Seperangkat alat musik seperti drum, gitar, bas, keyboard elektronik, dan cajon tertata di sudut depan, berseberangan dengan pintu masuk. Dan Juan serta Heksa duduk lesehan di sebelah alat-alat itu tertata.
"Gue nggak tahu ada lo juga, Sa. Kalau tau, gue beliin roti sekalian tadi," sapa Nadi berbasa-basi. Dia mengabaikan ucapan Juan dan ikut duduk lesehan di lantai. "Lo makan jatah gue aja."
Tanpa aba-aba dan keramahan, Heksa mendadak berdiri sambil menepuk-nepuk belakang celananya yang ditempeli debu. "Gak perlu. Gue duluan."
Setelah mengatakannya, Heksa benar-benar langsung pergi tanpa mengatakan sepatah kata yang lain.
Nadi yang melihat gelagat Heksa jadi sedikit tidak nyaman. Entah salah memahami atau tidak, dia merasa Heksa selalu bersikap dingin menjurus kasar setiap kali bertemu dengannya. Masalahnya, Nadi sendiri tidak ingat pernah berbuat salah pada Heksa. Tiba-tiba saja perlakuannya berubah. Padahal sebelumnya, laki-laki itu masih biasa saja, tidak emosian dan judes seperti sekarang.
"Aku ganggu kalian, ya?" tanya Nadi blak-blakan. Betulan tidak enak jika kedatangannya mengganggu kegiatan Juan dan Heksa.
Namun, Juan memberi seulas senyum menenangkan sambil mengelus rambut Nadi lembut. "Nggak. Memang Heksa udah mau pergi tadi."
"Tapi dia judes terus tiap ketemu aku," curhat Nadi. "Dia kenapa, sih? Aku pernah nyinggung dia, ya? Heksa ada cerita ke kamu nggak?"
Bukannya langsung menjawab, Juan malah tertawa geli. "Enggak, ya ampun. Jangan overthinking gitu."
"Ya habisnya dia ngeri banget kalau marah gitu. Biasanya juga slengean ke mana-mana."
"Anaknya memang lagi ada masalah. Maklumin, ya," hibur Juan. Matanya kini melirik ke arah kantung plastik yang dibawa Nadi. "Itu, kamu beli apa? Mendadak laper."
"Tuh kan!" seru Nadi yang perhatiannya berhasil berbelok pada kondisi perut Juan. "Kamu tuh kebiasaan lupa makan kalau udah keasyikan bikin lagu," omel Nadi sambil tangannya mengeluarkan satu bungkus roti cokelat untuk Juan.
"Nggak boleh pegang gitar kalau belum habis!"
Nadi hafal dengan kebiasaan Juan. Daripada disodorkan nasi, Juan lebih memilih roti apa saja. Memang Juan tuh aneh. Paling susah kalau disuruh makan nasi. Makanya, daripada berujung ribut, Nadi memilih membawakan roti saja.
"Btw, weekend ini ada anak kelas yang ulang tahun. Temenin ke pestanya, ya?" tanya Juan dengan tangan sibuk dengan bungkus rotinya.
"Boleh memang aku gangguin acara kalian?"
"Yang ada aku bosen kalau cuma dateng bareng Nanta, Randi, sama Heksa," kilah Juan dengan tatapan paling manis yang pernah Nadi lihat. "Temenin, ya? Kamu kenal juga kan sama Ghea?"
Nadi mengangguk dua kali. "Ketemu di halte deket rumah aja tapi. Tahu kan orang rumah gimana."
Setelahnya, keduanya asyik mengobrol sambil sesekali menertawakan candaan masing-masing. Entah kenapa, Nadi mendapat kenyamanan setiap kali bersama Juan. Bagaimana laki-laki itu mengobrol dengannya. Cara Juan menatap, juga senyum manis yang selalu ditampilkan. Nadi seperti ingin terbang ke langit ketujuh saja saking tidak sanggupnya dengan perlakuan Juan yang meski sederhana, selalu berhasil menyentuh sisi terdalamnya.
Ternyata, Nadi memang tidak salah menaruh hati. Juan adalah seseorang yang bisa mengerti dirinya sejauh ini. Memang terlalu cepat menyimpulkan, mengingat mereka belum lama bersama. Namun, sebelumnya pun mereka sudah kenal cukup lama. Dan selama itu pula, Nadi cukup banyak tahu bagaimana watak Juan.
Meski terdengar naif, Nadi percaya pilihannya tidak salah menjadikan Juan sebagai kekasih pertamanya. Dia yakin itu.
•°•
Nadi pikir, pesta yang akan dia datangi bersama Juan tidak akan jauh berbeda dengan pesta-pesta lain yang dia kerap datangi. Ya pesta ulang tahun biasa, makan-makan sebagai ucapan syukur, dan acara tiup lilin. Tapi sekali lagi, Nadi dengan segala kenaifannya kembali membodohi diri sendiri.
Pesta mewah di sebuah bangunan super megah adalah apa yang terlintas di kepala Nadi saat pertama kali menjejakkan kaki di tempat pesta bersama Juan. Nadi tidak berlebihan saat mengatakan rumah tempat pesta diselenggarakan hari ini memang semegah yang dia katakan.
Maksud Nadi, dia tahu Ghea memang anak orang kaya. Tapi, Nadi tidak menyangka kekayaan salah satu kenalannya berada di level ini. Kalau mencomot tren yang sempat ramai beberapa waktu lalu sih, sudah pasti Ghea masuk golongan crazy rich alias kaya banget. Melihat bangunan rumahnya saja Nadi sudah tidak ingin membayangkan lebih jauh.
Berbagai jenis makanan terhidang di meja. Dari deretan junkfood, daging-dagingan, hingga makanan laut pun ada. Di meja yang lain, berbagai dessert manis dan asam penuh warna menggoda mata Nadi.
"Dandananku udik banget, Ju," bisik Nadi saat sadar penampilannya jauh dari kata layak untuk menghadiri pesta konglomerat seperti ini.
Nadi tidak seudik itu, kok. Dia sudah pernah mencicipi kebanyakan makanan yang terhidang malam ini. Hanya saja, saat mendapati semua makanan tersebut dihidangkan dalam satu waktu tidak bisa tidak membuat Nadi pusing. Imbasnya, jiwa udik Nadi dipaksa menampakkan diri.
"Cantik. Kata siapa udik?" balas Juan sambil tangannya merangkul baju Nadi yang dibalut dress selutut warna merah marun dengan nyaman. "Aku yang maju kalau ada yang bilang gitu. Mau aku bantu ledekin."
"Nyebelin banget, sih!" gerutu Nadi. Sikunya menyodok perut Juan pelan.
"Ya lagian siapa suruh nggak pede gitu?"
Nadi mencebik sambil kepalanya celingukan mencari di mana tokoh utama pesta malam ini. "Ayo ah, temenin cari Ghea. Capek tangan pegang bunga terus."
Juan hanya patuh saja mengikuti langkah Nadi mengelilingi tempat pesta malam ini. Sesekali keduanya menyapa beberapa kenalan dari sekolah yang turut hadir di pesta. Mengobrol sedikit sekaligus memberikan selamat pada Nadi dan Juan.
Lucu. Padahal bukan mereka yang berulang tahun.
•°•
Malam makin larut. Namun, belum ada tanda pesta akan berhenti. Malah, para tamu semakin bersemangat menyambut pergantian hari.
Nadi yang mengaku lelah karena berdiri terlalu lama memilih duduk di salah satu kursi kosong dekat stan desert. Juan sudah menawarkan diri untuk menemani tadi. Bukannya diiyakan, Nadi malah mengusir laki-laki itu.
"Main sama temen-temen kamu sana. Aku duduk sama Areta tuh, di sana," kata Nadi. Mungkin merasa Juan perlu waktu khusus juga dengan teman-temannya.
Juan sih tidak masalah. Mau menemani Nadi atau berkumpul dengan teman-temannya pun sama saja. Dan karena Nadi sudah bilang Juan boleh menikmati waktunya sendiri, dia tidak akan menolak.
Sekarang, Juan sudah asyik bercengkerama dengan teman-temannya, sedangkan Nadi yang kehausan karena gerah dan belum minum sedari tadi memilih asal sebuah gelas berleher tinggi.
Cairan putih bening yang dikira air putih itu dia tenggak dalam sekali teguk. Nadi terlambat untuk menyadari bahwa minuman yang dia ambil mengandung alkohol sampai rasa pahit dan sensasi terbakar memenuhi tenggorokannya.
Sejak awal, Nadi tidak pernah menyentuh yang namanya alkohol barang sekali pun. Dan tidak butuh waktu lama bagi kepala Nadi terasa mengawang dengan kesadaran diterbangkan tinggi. Kepalanya pusing dengan sensasi menyenangkan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Dia tidak sadar tangannya meraih satu gelas lain dan kembali menengguk sekaligus. Satu gelas lagi, dan lagi. Entah sudah berapa gelas yang Nadi habiskan sampai sebuah tangan menghentikan gerakannya mengambil gelas baru dan memapah Nadi meninggalkan tempat pesta.
Setelah itu, Nadi tidak dapat mengingat apa pun.
Yang perlu Nadi ketahui adalah, kelalaiannya hari ini akan mengundang penyesalan berkepanjangan pada sisa hidupnya kelak.
•
•
Minggu, 28 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top