cerita warung kopi

Sebuah cerita selalu mempunyai awal. Jika permulaannya sudah salah, akhir seperti apa yang akan diterima?

•°•

Seharusnya di jam sekarang, para remaja dengan kemeja putih pendek serta celana abu-abu panjang tengah terkurung di balik bangunan kotak, dengan papan tulis besar di depan ruangan. Mendengar materi membosankan yang selalu berhasil mengundang kantuk sambil sibuk mempertahankan fokus.

Namun, keempat pemuda dengan seragam yang sudah tidak terbentuk itu memilih kabur dari kelas menjenuhkan dan menongkrong di warung kopi belakang sekolah. Mereka sih menyebutnya, markas melarikan diri dari si Botak.

Seolah tidak sadar tengah melakukan dosa karena membolos kelas, keempatnya malah sibuk saling berebut pisang goreng yang hanya tersisa satu potong.

"Punya gue, anjing! Lo udah makan lima biji tadi!" maki salah satu yang paling mungil, sudah gatal ingin menyabet temannya yang berhasil mendapat pisang goreng terakhir. Randi namanya. Si kecil cabe rawit.

"Kita boleh temen. Tapi urusan pisang goreng Mbak Idun, kita musuhan dulu," kekeh pemuda dengan badan paling kurus yang berhasil mendapatkan pisang goreng. Dengan lagak menyebalkan, pemuda bernama Nanta itu menggigit pisang goreng dalam gigitan besar, lantas sengaja mengeluarkan suara kunyahan nyaring-nyaring.

Dua pemuda lain yang sudah memilih menyerah dari perang sejak awal hanya menatap kedua temannya dengan bosan. Sudah biasa dengan ritual rebutan pisang goreng setiap kali nongkrong di sini.

"Capek banget gue liat kelakuan lo berdua," komentar Heksa, laki-laki dengan badan sedikit lebih besar dari ketiga temannya, juga suara sedikit melengking yang terbilang unik untuk ukuran laki-laki. Dia berdiri sambil menatap ketiga temannya bergantian. "Gue mau jajan es potong ke depan. Nitip gak?"

"Beli ceban aja buat bareng. Pake duit Juan."

Kalimat Nanta sukses membuat pemuda terakhir yang sedari tadi hanya menjadi penyimak jadi mendelik sebal. "Gue gak ada bilang mau es potong."

"Itung-itung sedekah buat Randi, Ju, kaum duafa." Kali ini Heksa yang menimpali.

"Gue diem ya, bangsat!" Dan Heksa sudah tertawa puas. Pokoknya dia bakal super bahagia kalau berhasil membuat Randi naik darah. Soalnya marahnya Randi tuh lucu. Apalagi kalau sudah memelotot di balik kacamata minusnya. Jiwa jahil Heksa tidak terbendung lagi.

"Apes banget punya temen mental miskin," gerutu Juan, meski tetap mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dari dompet. "Kembaliannya balikin."

"Iye, anjir! Gue bukan Nanta yang suka ngutilin duit kembalian."

Yang namanya dibawa-dibawa tidak sempat melempar protes karena Heksa sudah kabur duluan.

Sepeninggal Heksa, ketiganya kembali menikmati pesanan masing-masing. Nanta dengan kopi hitam dan pisang goreng kemenangan, Randi dengan tempe goreng, dan Juan hanya memilih air mineral.

"Yang kemarin gimana, Ju? Jadiin kan?" tanya Nanta, memulai obrolan.

"Kemarin apaan? Gue gak tahu," respons Randi setelah menandaskan potongan terakhir tempe gorengnya.

"Memori lo jelek banget, Ran. Si Nadi, yang kemarin!"

"Lo yang gak jelas, Sat! Cuma bilang kemarin-kemarin, gimana gue bisa ngeh?"

"Makanya yang peka jadi orang. Gitu doang gak paham," Nanta balas mengomel.

Sedangkan yang seharusnya menjadi narasumber obrolan malah sibuk memandangi air mineralnya, tidak berniat ikut nyemplung pada obrolan kedua temannya.

"Jadi gimana? Lo ambil?" tanya Randi setelah selesai berdebat dengan Nanta.

Juan masih diam. Tangannya tetap sibuk bermain di tutup botol di depannya, sengaja menggantung jawaban di udara. Dia bergumam panjang, sambil sesekali menatap kedua temannya.

"Gak usah sok mikir lo, biji! Tinggal jawab ya apa enggak? Duit gue dipertaruhkan ini."

Omelan Nanta berhasil mengundang Juan tertawa kecil. "Sabar. Lagi gue pepetin anaknya."

Randi menggantungkan tahu isinya di udara mendengar jawaban Juan. "Anjir, udah? Gece juga lo."

"Cakep banget temen gue. Inget ya, tiga bulan gak pake baper," peringat Nanta sebelum menyeruput kopi hitamnya.

"Gampang. Enam bulan juga gue jadiin," balas Juan jemawa. "Cewek mana sih yang nolak gue."

Randi mencibir terang-terangan. "Bacot lo sadboy! Kemarin aja putus nangis-nangis ke Nanta lo."

"Udah enggak, anjir! Lagi goblok gue kemarin makanya galau."

"Iye, gobloknya hampir satu semester," sindir Nanta. "Muka boleh badboy, tapi menye banget ketemu cewek. Malu-maluin lo."

Kalau sudah menjadi bulan-bulanan seperti ini, Juan memilih diam. Selain menghabiskan tenaga meladeni mereka, dia cukup tahu diri tidak akan berhasil melawan duo julid Nanta dan Randi.

"Lo pepetin gimana anaknya? Doi kan susah dideketin." Nanta kembali memulai topik yang membuat dia penasaran.

Rahasia umum memang bahwa Nadisha Putri Naratama adalah salah satu primadona SMA PeKa—Petra Kanigara—dan cukup sulit untuk bisa dekat dengan perempuan itu. Beberapa siswa memilih mundur teratur dan memuja seorang Nadi dari jauh, karena merasa tidak akan mungkin mendapat perhatian si bintang sekolah. Sementara siswa lain malah merasa tertantang untuk bisa memenangkan si primadona yang tidak pernah terlihat tergoda dengan laki-laki mana pun.

Juan salah satunya. Dimulai dari tantangan Nanta untuk memacari Nadi selama tiga bulan tanpa melibatkan perasaan, Juan jadi termotivasi untuk mengejar perempuan itu.

"Oke deal. Traktir sebulan penuh kalau gue berhasil." Begitulah awal permainan mereka dimulai.

Juan tersenyum jemawa. Kedua tangannya menangkup mengelilingi botol air mineralnya. "Let's see," katanya penuh percaya diri.

Teman-teman Juan tidak tahu bahwa Juan sudah pada babak terakhir untuk mendapatkan seorang Nadi. Karena sedari awal, Juan tidak memulai langkahnya dari garis start.

"Anjing lo, Heksa, ngagetin aja!" umpat Randi tiba-tiba. Pemuda itu bahkan tersentak ke belakang saat mendadak Heksa membanting satu kantung plastik di hadapannya.

Namun, ekspresi keras di wajah Heksa segera melunturkan emosi Randi dan berganti dengan tatapan bingung. Seperti paham Heksa tengah menahan emosi, ketiga orang yang sebelumnya asyik saling mencaci mendadak diam, menunggu Heksa membuka suara.

"Coba ngomong lagi depan gue!" perintah Heksa yang tidak bisa dipahami oleh ketiga temannya. "Ngomong lagi yang barusan kalian bahas."

"Si Juan yang jadi sadboy?" timpal Nanta dengan nada bercanda. Namun, tidak ada seulas senyum pun mampir di bibir Heksa. Malah kekehan sinis membalas kalimat Nanta.

"Gue pikir kalian udah pinter, ternyata tambah goblok!" maki Heksa yang sekali lagi, tidak dapat ditangkap konteksnya oleh tiga orang lain yang ada di sana.

"Hah?"

Tidak ada kosa kata lain yang bisa mereka keluarkan selain tanda tanya yang mendadak muncul tak kasat mata di kepala masing-masing. Padahal, tadi Heksa tidak kenapa-kenapa. Jangankan emosi, tendensi mood buruk saja tidak ada. Lantas, kenapa sekarang mendadak marah-marah?

"Gue tau kita brengsek. Asli, dibanding anak-anak lain, gue akuin kita masuk golongan 'rusak'. Tapi jadiin cewek taruhan? Ada otak lo main-main sama orang?"

Tatapan Heksa menyalang, menatap ketiga temannya tanpa ampun. Tangannya sudah bergerak membuka kancing seragam yang mendadak terasa mencekik.

"Lah, apaan? Main-main doang ini," jawab Nanta, berusaha mencairkan suasana. Namun, sepertinya tidak berpengaruh untuk Heksa.

"Bangga lo mainin perasaan orang? Anjing, setan aja minder lihat kelakuan kalian."

Randi yang duduk di sebelah Heksa tersulut. "Ya santai dong, Sat! Buat hiburan kita-kita doang, gak bakal sampe bikin mati."

"Mikir lo ngomong begitu? Mainin perasaan orang bikin mental rusak. Punya otak dipake, bukannya bacot aja lo gedein. Brengsek boleh, tapi nurani jangan dimatiin."

Melihat situasi semakin tidak kondusif, Juan segera berdiri dan menengahi Heksa dan Randi yang terlihat siap adu jotos. Dia melirik Nanta, memberi kode agar menjaga Randi supaya tidak lepas kendali.

"Tahan, guys, santai. Jangan emosi dulu," lerai Juan sambil sedikit mengeret Heksa mundur. "Lo kenapa, Sa? Biasanya asyik kalau diajak bercandaan gini."

Seperti menyiram minyak ke dalam api, Heksa langsung menyentak tangan Juan yang menahan lengannya dengan keras. Kepalanya menoleh kasar, fokus menatap Juan penuh amarah.

"Terus lo mau gue ikut haha-hihi, ketawa-ketiwi lihat kelakuan kalian yang begini? Otak gue gak serusak lo, anjing!"

"Baperan lo, Bangsat! Gak usah alay," caci Randi yang bahunya ditahan Nanta.

Di tempatnya berdiri, Heksa tertawa sinis. "Jangan pake kata baper kalau nyatanya kelakuan kalian emang kelewat batas. Gak pantes!"

"Udah, Sa, udah. Gak akan kenapa-kenapa. Paling banter juga gue yang kena gampar," canda Juan yang langsung dihadiahi decihan Heksa.

"Terserah! Gue gak peduli." Heksa memukul dada Juan dengan keras, menyerahkan uang kembalian. "Kembalian lo. Dan jangan bawa nama gue kalau kalian kenapa-kenapa. Gue udah ingetin dari awal."

Setelah mengatakannya, Heksa segera memutar badan dan menjauh dari Juan, Randi, dan Nanta. Samar masih terdengar umpatan juga caci maki dari bibir Heksa sebelum laki-laki itu menghilang di balik dinding sekolah.

Suasana yang ditinggalkan Heksa mendadak menjadi berat. Ketiganya hanya diam, saling memaki karena temperamen Heksa yang menurut mereka sudah berlebihan.

Ayolah, mereka hanya melakukan permainan wajar anak sekolahan. Hal buruk macam apa memangnya yang akan terjadi selain Juan yang kena omel? Heksa benar-benar tidak asyik hari ini.

Yang gagal mereka sadari, permainan merekalah yang membawa malapetaka yang ke depannya, akan menghantui kehidupan mereka.

rabu, 03 februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top