Tak Perlu Kamu Pergi

"Nggak perlu lo pergi dari gue, Li. Cukup pelan-pelan hilangin perasaan lo itu dan gue cuma minta satu hal sama lo, tetaplah jadi Ali yang gue kenal. Jangan berubah karena hal ini."

Itulah yang Ilea ucapkan pada Ali saat mereka di taman sekolahan. Sejak itu, hubungan mereka kembali berjalan seperti biasa, dekat tanpa status yang jelas. Ilea menikmati kebersamaan mereka, selama Ali tak mengganggu hubungannya dengan Al, bagi Ilea dia bukanlah ancaman.

"Hai, Ly. Pinjem buku PR bahasa Inggris lo dong," ucap Ali saat baru saja datang.

"Loh, emang lo nggak ngerjain PR, Li?" tanya Ilea sambil mengeluarkan buku PR-nya dari tas.

Ali menyengir lantas berucap, "Gue lupa ngerjain PR, malamnya ketiduran."

"Kebiasaan lo, Li!" tukas Ilea sambil memberikan bukunya pada Ali.

Setelah mendapatkan buku dari Ilea, Ali duduk di bangkunya lantas dia menyalin jawaban PR bahasa Inggris Ilea di buku PR-nya sebelum bel masuk bunyi.

Sementara Ali mencatat PR, Ulfha mendekati Ilea. Dia bertanya, "Ly, lo nanti pulang sekolah ada acara nggak?"

Ilea pun menjawab, "Nggak ada, Fha. Kenapa?"

"Temenin gue, mau nggak?"

"Ke mana?"

"Cari kado buat pacar gue."

"Oke deh, tapi gue izin dulu, ya, sama Mama."

"Sip, beres!" Setelah itu Ulfha kembali duduk di bangkunya.

Selepas Ulfha pergi, Ali mendekatkan kursinya pada Ilea.

"Ly, lo kan udah janji sama gue, nanti pulang sekolah, lo mau ngajakin gue ke tempat yang mau lo tunjukin waktu itu." Ali sedikit berbisik.

Ilea menepuk jidatnya. "Ah, iya, gue lupa, Li."

Mata Ali melirik, bibirnya mencebik, lalu berkata, "Ya sudah, besok Minggu aja kita perginya. Itupun kalau lo mau."

"Mmm ...." Ilea tampak berpikir.

"Gimana?" tanya Ali menatapnya berharap Ilea mau.

"Iya deh, Minggu aja kita perginya."

Bibir merah Ali tersenyum lebar, wajarlah dia senang, karena hari Minggu nanti dia bakalan jalan dengan gadis yang jelas dan terang disukainya.

***

Minggu pun tiba, pagi-pagi Ilea sudah rapi dan wangi. Dia turun ke ruang makan, bergabung bersama orang tuanya di sana untuk sarapan.

"Jadi pergi sama Ali?" tanya Vina.

"Iya, jadi, Ma. Kami ada tugas kelompok. Karena mau ngerjain di luar, Ali jemput ke sini, sekalian kami jalan." Ilea sedikit berbohong supaya diizinkan keluar bersama Ali.

"Al tahu?" tanya Ardian mengintimidasi.

"Kenapa bawa-bawa Kak Al?" Ilea mengurungkan niatnya saat ingin mengambil lauk.

"Ya, biar nggak uring-uringan lagi. Jauh sama pacar itu sensitif, bawaannya curiga," imbuh Ardian.

Sejenak Ilea berpikir, benar kata papanya.

"Iya deh, nanti aku telepon Kak Al."

Ardian dan Vina saling memandang, mereka tak ingin melihat putrinya galau dan uring-uringan jika ada masalah dengan Al. Memang susah menjaga hubungan jarak jauh, jika tidak saling terbuka dan lancar berkomunikasi dua arah, mudah salah paham.

Selesai sarapan, Ilea menunggu Ali di teras rumah sambil mengirim chat kepada Al. Diperkirakan Ilea, jika di Jakarta pagi, di Paris masih tengah malam. Ilea pikir Al sudah tidur, ternyata dia membalas pesannya.

Pergi sama siapa?

Balas Al setelah Ilea mengirimkannya pesan meminta izin keluar bersama teman untuk belajar kelompok.

Jangan marah kalau aku kasih tahu. Ini tugas dari sekolah.

Ilea tak langsung menjawab pertanyaan Al tadi.

Iya, Love. Nggak marah kalau kamu jujur. Emangnya mau pergi sama siapa sih?

Sama Ali.

Hati Ilea berdebar-debar, takut jika Al akan marah. Bayangan wajah keras Al terbesit di pikirannya. Dengan perasaan was-was Ilea menunggu balasan Al. Tak ada jawaban, Ilea pun meneleponnya.

"Apa, Love?" Terdengar sahutan dari seberang, suara Al serak seperti orang yang sedang sakit batuk.

"Beb, kamu sakit?" Ilea langsung cemas mendengar suara Al tak seperti biasa.

"Sedikit, biasa ... perubahan cuaca, ya, begini. Cuma batuk sama flu, besok juga sembuh."

"Tapi, kamu sudah minum obat, kan?"

"Obatku di Jakarta, gimana mau ..."

"Beb ...." Ilea mengingatkan jika dia serius bertanya dan tidak sedang bercanda.

"Hehehehe, iya-iya. Kamu jangan khawatir, aku sudah minum obat kok."

"Kenapa belum tidur? Sudah tahu sakit, nanti kalau makin parah gimana?"

"Masih ngerjain tugas, Love."

"Nggak bisa ditunda besok saja?"

"Nggak bisa, kamu pengin aku cepat pulang, ya ... aku harus cepat menyelesaikan semuanya sebelum libur musim dingin."

"Beb, maaf, ya?" Ilea tersentuh dengan perlakuan Al yang selalu berusaha pulang tepat waktu untuknya.

"Kenapa minta maaf?" tanya Al bingung.

"Karena aku, kamu ..."

Tin!

Belum juga Ilea menyelesaikan ucapannya, Ali menyalakan klakson tanda kehadirannya.

"Siapa?" tanya Al.

"Ali." Ilea menjawab dengan perasaan sedikit takut jika Al akan marah.

"Oh. Ya sudah kalau mau berangkat. Hati-hati," pesan Al tak terduga oleh Ilea.

"Kamu nggak marah, Beb?" tanya Ilea melirik Ali yang sudah menunggunya duduk di atas motor.

"Kenapa marah? Kan kamu mau kerja kelompok, berarti perginya nggak cuma berdua, kan?"

Debaran jantung Ilea berpacu cepat, aliran darahnya seperti ingin berhenti, suaranya tercetak di tenggorokan.

"I-iya, Beb," jawab Ilea sedikit gagap karena kali ini dia berbohong pada Al.

"Jangan lupa pakai jaket, kalau dia naik motor, siap-siap mantel jaga-jaga kalau hujan, dan jangan lupa pakai helm." Masih sempat-sempatnya Al perhatian, padahal dia sadar dengan siapa pacarnya pergi.

Perasaan bersalah merayap memenuhi rongga dada Ilea, dia berdosa sudah membohongi Al, terutama orang tuanya.

"Iya, Beb. Sudah kok."

"Ya sudah, sana berangkat. Jangan malam-malam pulangnya, ya?"

"Iya."

"Miss you, Love."

"Miss you too, Beb."

Panggilan pun berakhir, lantas Ilea mendekat pada Ali yang masih sabar menunggu di atas kuda besinya.

"Telepon Kak Al, ya?" tanya Ali dengan wajah masam.

"Iya, gue bilang mau kerja kelompok sama lo." Ilea menjawab sambil memasukkan ponselnya di tas selempangnya.

"Terus, dia jawab apa?" Ali memakaikan helm untuk Ilea.

"Bilang, 'iya'."

"Dia percaya gitu?"

"Percaya." Setelah menjawab, Ilea lalu naik ke boncengan motor Ali.

"Gue nggak tahu tempatnya, lo kasih tahu gue ya, jalannya?"

"Iya bawel! Ayo, ah! Panas nih!" ujar Ilea lalu Ali mengarahkan tangan Ilea supaya memeluk perutnya.

Tubuh Ilea sedikit menungging karena boncengan motor Ali lebih tinggi dari depannya. Meski Ilea merasakan jantungnya berdebar-debar layaknya orang yang dekat dengan pria yang disukai, tetapi dia menahan perasaannya. Meski saat ini raga bersama Ali, pikiran dan hatinya tetap untuk Al.

***

Sampainya di suatu tempat, Ali memarkirkan motornya. Tempat itu dikelilingi pohon pinus, seperti tempat wisata, tetapi sepi dan cuma terlihat beberapa orang saja.

"Ayo!" Setelah Ilea turun, dia langsung mengajak Ali.

"Tempat apa ini? Lo nggak bakalan jahatin gue di sini, kan, Ly?" ucap Ali setelah melepas helmnya.

Pukulan kecil mendarat di lengan Ali. "Enak aja lo kalau ngomong! Ini tuh tempat wisata, cuma memang sepi. Di sana ada danau." Ilea menunjuk ke sebuah perairan yang  di tepiannya terdapat rumput  hijau memanjakan mata dan sekitar ditumbuhi pohon rindang. "Banyak objek bagus buat melampiaskan hobi fotografi lo!" tambahnya.

"Ngapain jauh-jauh ngajakin gue ke sini? Gue sudah dapat objek bagus tanpa harus pergi jauh," ucap Ali sambil melangkah mengikuti Ilea.

"Maksud gue, biar lo bisa memfoto objek alam juga, Li. Nggak melulu kota, mobil, motor, orang dan yang cuma bisa didapat di sekeliling kita sehari-hari."

"Lo juga alam buat gue, Ly." Ucapan Ali sukses menghentikan langkah kaki Ilea lantas gadis itu menolehnya yang berjalan di belakang sedari tadi.

Ilea mengangkat alis sebelah kanannya. "Maksudnya?"

"Lo objek alami yang gue dapatkan dan fokus gue cuma ke lo." Senyum manis di bibir Ali mengoyak hati Ilea, debaran di dadanya semakin berpacu cepat.

Gawat kalau Ali terus-terusan begini, bisa-bisa gue beneran terpenjara sama perasaan dia. Gue nggak mau terjebak dalam perasaan ini ya, Allah. Ilea membatin sambil terus menatap mata lentik Ali.

Cekrek!

Ali memfoto Ilea saat dia melamun menatapnya penuh arti.

"Ck, hapus! Jelek amat pas gue melongo." Ilea menampik pelan lengan Ali.

"Biarpun melongo, tetep cantik alami kok," jawab Ali lagi-lagi memfotonya. Sampai Ilea malu dan menutup wajah.

"Sudah, Li. Jangan gue terus yang jadi objeknya." Ilea menghalangi lensa kamera Ali supaya dia berhenti memfotonya.

"Iya-iya." Ali pun mengarahkan kameranya ke alam yang hijau dengan kecantikan alam yang masih terjaga.

Mereka menghabiskan waktu bersama di tempat itu. Bercanda, mengobrol banyak hal, saling berbagi pengalaman, dan Ali tak patah semangat mendesak perasaan Ilea sampai dia merasa terpojokkan.

Sore harinya setelah puas, mereka pulang. Saat di tengah jalan, Ilea mengeluh lapar. Akhirnya mereka mampir di salah satu warung nasi goreng dan mi goreng pinggir jalan. Ali memarkirkan motornya mepet trotoar, lalu mereka memesan nasi goreng dan es teh duduk lesehan di pinggir jalan berbaur dengan pembeli lainnya. Bukan musik klasik seperti dinner romantis di restoran, ini sekadar musik sederhana dengan alat seadanya yang dinyanyikan pengamen jalanan. Meskipun begitu, suasana ramai dan asyik, Ilea pun tak hentinya ikut bernyanyi seperti menikmati lagu yang pengamen itu dendangkan, sebagai imbalan karena sudah menghibur, para pembeli memberikannya uang tak terkecuali Ilea dan Ali.

"Asyik, ya, Li, tempatnya?" Ilea menyapu pandangannya.

Jalanan yang padat tak menghalangi kenikmatan mereka yang makan di tempat terbuka beratapkan langsung dengan langit malam ini yang mendukung.

"Iya, untung nggak hujan," jawab Ali.

"Huum, langit tahu kalau hari ini kita mau have fun."

"Langit saja merestui kita bahagia, tidak menutup kemungkinan Tuhan pun juga."

"Apaan sih, Li!" Ilea memukul kecil lengan Ali sambil senyum-senyum tersipu malu. "Lo selalu ngehubung-hubungin."

"Hahahahaha, biarin! Sengaja biar lo baper."

"Hidiiiih, gue nggak gitu, ya?" elak Ilea walaupun sebenarnya memang dia terkadang terbawa perasaan setiap Ali bicara.

Lagu Almost is Never Enough milik Arina Grande feat Nathan Sykes bersuara dari ponsel Ilea, tanda panggilan masuk. Segera dia melihat, nama 'Baby' tertera di layar datarnya.

Sebelum mengangkat, Ilea lebih dulu menatap Ali.

"Kak Al?" tanya Ali.

Ilea mengangguk. "Iya, gue angkat dulu, ya? Bentar."

Lantas Ilea beranjak dan sedikit menjauh dari tempat mereka duduk, Ali terus mengawasinya.

"Halo, Beb," sahut Ilea setelah menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

"Di mana?" suara Al seperti mengintimidasi.

"Di pinggir jalan, kami sedang makan nasi goreng," jawab Ilea was-was takut Al akan memarahinya.

"Aku kan sudah pesan tadi, jangan malam-malam pulangnya. Kenapa belum pulang?"

"Iya, tadi sudah mau pulang, cuma perut kami lapar. Jadi, kami memutuskan mampir makan dulu habis itu pulang kok."

"Oh, ya sudah. Jangan mampir-mampir lagi, langsung pulang nanti, sudah malam."

"Iya, Beb."

Al mematikan panggilannya, Ilea sedikit bernapas lega karena Al tidak mengomel panjang kali ini. Dia pun kembali ke tempat duduknya, ternyata nasi goreng dan es teh pesannya sudah datang. Tak perlu menunggu lama, mereka pun lantas menyantap bersama.

Apakah selalu akan berbohong? Sekali berbohong akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan yang sudah berlalu.

#########

Hai, aku kangeeeeeeen. Akhirnya bisa melanjutkan cerita ini. Terima kasih bagi yang masih sabar menunggu.

Terima kasih juga untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top