Sekarang Baru Terasa
Kesulitan finansial baru mereka rasakan. Biasanya Ilea dijatah bulanan orang tuanya, kini mau meminta saja sungkan. Sedangkan penghasilan Al sebagai koas tidak seberapa, biasanya Al juga masih dikirimi orang tuanya.
"Gimana ini, Yang?" ucap Ilea ketika mereka kebingungan ingin membeli token listrik, tetapi uang mereka menipis dan Al belum mendapat uang sakunya sebagai koas.
"Di ATM kamu ada uang berapa?" tanya Al ketika mereka di meja makan membahas keperluan rumah tangga.
Siang tadi Al pulang kerja, setelah makan, Ilea mengadu jika sudah waktunya membeli token listrik.
"Habis," jawab Ilea lalu menggigit bibir bawahnya.
"Di rekeningku masih ada sekitar 200 ribu. Kita belikan token listrik 100 ribu, yang 100 ribu buat kita makan sambil aku cari pekerjaan lain."
"Iya, begitu saja."
"Maafin aku, ya? Kamu jadi ikut susah," ucap Al merasa bersalah.
Dia mengelus pipi Ilea sambil menatap kedua mata berbulu lentik tersebut. Dalam matanya terpancar ketulusan dan keikhlasan, Ilea tidak merasa terbebani dengan keadaan mereka saat ini.
"Kok kamu ngomongnya gitu sih? Namanya juga sedang membangun rumah tangga, kita masih harus banyak belajar. Kita harus sabar dan berusaha bersama, ya?" Ilea mengelus pipi Al dan melemparkan senyum terbaiknya. Senyum yang mampu membuat perasaan Al tenang.
"Ya sudah, kita ke ATM sekarang." Al berdiri lantas mereka pergi ke ATM terdekat.
Setelah mengisi token listrik, mereka pulang. Saat di kamar, Al mengulurkan uang 50 ribuan dua lembar kepada Ilea.
"Ini kamu pegang, sementara aku cari pekerjaan, kalau bisa dicukup-cukupin buat makan kita, ya?"
Bukannya menerima semua, Ilea hanya mengambil selembar uang 50 ribu itu.
"Yang 50 ribu buat pegangan kamu. Buat beli bensin atau kebutuhan kamu yang lain. Insya Allah cukup 50 ribu ini buat kita makan."
"Yakin?" tanya Al ragu karena selama ini dia tahu Ilea tidak pernah kekurangan.
Sambil tersenyum menenangkan hati Al, Ilea menjawab. "Harus cukup! Asal kamu antar jemput aku, ya? Hehehehe."
"Iyaaaaa. Asal kamu jangan kesiangan bangunnya. Kalau aku jaga pagi, kamu harus bisa bangun pukul 5."
"Iya-ya. Kamu mandi sana! Bau asem," ledek Ilea menutup hidungnya.
"Enak aja, parfum mahal nih." Al mengampit kepala Ilea.
"Beeeeeb," pekik Ilea sambil memukul-mukul lengan Al.
"Hahahaha." Al tertawa puas lalu masuk ke kamar mandi.
Ketika Al di kamar mandi, Ilea merenung di tempat tidur. Dia memutar otak mencari cara supaya bisa membantu Al menghasilkan uang untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Ilea membuka aplikasi Instagram yang sudah cukup lama dia hiraukan. Dia mencari sesuatu yang bisa diajak bekerja sama. Mencari dan terus mencari, Ilea pun memiliki ide untuk menerima jasa titip makanan dan camilan khas Jogja. Dia mencari produk yang sekiranya cocok untuk dijual lagi, Ilea pasang foto-foto camilan dan makanan khas Jogja di Instagram-nya dan mulai memasarkan.
Setelah mandi dan berpakaian santai, Al mengambil ponselnya. Dia ikut Ilea duduk bersandar di tempat tidur. Al mencari lowongan pekerjaan part time atau kerjaan yang bisa untuk sampingan. Setelah cukup lama mencari, Al menemukan. Dia mencoba mendaftar taksi online, mengisi formulir online dan memenuhi persyaratan-persyaratannya. Seperti orang musuhan, mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing.
"Yang, kok kita jadi sibuk sendiri-sendiri sih?" ucap Al setelah meletakkan ponselnya di nakas.
Mendapat sindiran halus, Ilea langsung meletakkan ponselnya. Dia fokus kepada Al.
"Maaf, aku sedang mencoba bisnis online," ujar Ilea menangkup kedua pipi Al.
"Bisnis online?" Dahi Al mengerut.
"Iya, Beb. Aku buka jasa titip makanan dan camilan khas Jogja. Jadi, aku berpikir gini, kan banyak tuh teman-teman aku yang di luar Jogja, dari luar pulau juga ada. Nah, misal mereka pengin makanan atau camilan khas Jogja daripada mereka bingung, bisa nitip ke aku. Nanti mereka pesannya apa, aku totalkan terus belanjakan dan kirim deh. Gimana?" Ilea menaik-turunkan kedua alisnya.
"Pinter banget sih, istriku," puji Al mencium pelipis Ilea. "Maaf, ya, kamu jadi ikut cari uang."
"Beb, namanya suami-istri itu patner hidup. Namanya partner, harus bisa bekerja sama."
"Iya, Yang. Aku senang sekarang kamu sudah bisa berpikir dewasa. Selama orang tua kita nggak mengirim uang, jangan minta sama mereka, ya? Aku merasa punya utang banyak sama mereka sejak acara pernikahan kita. Sama sekali aku nggak ngeluarin uang untuk acara itu. Sungkan rasanya, Yang. Apalagi kita di sini memakai fasilitas mereka, rumah, mobil. Kayak nggak berguna aku, Yang" Kepala Al merunduk redih.
"Sabar, Beb. Akan ada waktunya kita bisa beli sendiri. Kita jalani yang ada sekarang, ya? Kamu punya rencana apa?"
Sebelum menjawab, Al mengubah posisinya menjadi terlentang. Ilea menyandarkan kepalanya di dada Al dan memeluk perutnya. Al menatap langit-langit kamar, dia mengembuskan napas pelan.
"Setelah selesai koas, mungkin aku mau pinjam uang Ayah buat menyelesaikan semuanya sampai aku jadi dokter. Aku berencana ambil spesialis penyakit dalam. Aku juga sudah konsultasi sama Dokter Irwan, memang lebih baik aku ambil itu. Bagaimana menurut kamu?"
"Kalau itu yang terbaik buat kamu, aku mendukung, Beb." Jari Ilea bermain di dada Al.
Tubuh yang tadinya santai menjadi tegang ketika jari lentik itu menyentuh dua tonjolan kecil di dada Al. Desahan pelan mengejutkan Ilea, jarinya berhenti seketika.
"Sebenarnya aku cape, tapi pengin," ucap Al setengah bangun dan membaringkan tubuh Ilea lalu menindihnya.
"Sebentar lagi azan Magrib, jangan dulu, Beb. Aku malas mandi lagi," ujar Ilea yang terlihat pasrah di bawah Al.
"Menolak keinginan suami dosa loh." Jurus andalan Al yang selalu bisa melumpuhkan Ilea.
"Kamu selalu bisa bikin aku kalah."
Tanpa menunggu serangan dari Al, Ilea menarik tengkuk suaminya dan menyatukan bibir mereka. Dari cumbuan kecil hingga terjadi kegiatan panas di atas ranjang. Peluh membanjiri tubuh mereka di sore itu. Napas berat menguasai kamar, pada akhirnya mereka sama-sama mencapai kepuasan.
***
Fasilitas dari orang tuanya tidak Al sia-siakan. Sejak lamarannya diterima, Al mencari tambahan dengan menarik taksi online. Dia bekerja jika ada pesanan masuk melalui ponselnya. Ada aplikasi khusus untuknya yang bisa diatur sesuka hati. Jika dia sedang tidak tugas di rumah sakit, Al mengaktifkan aplikasinya dan menunggu di rumah. Jika sewaktu-waktu dapat orderan, dia harus mengantar penumpang sesuai tujuan.
Terkadang sampai larut malam Al rela menerima orderan demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan Ilea.
Setelah salat Magrib, Al mengecek ponselnya. Adel beberapa kali menelepon, tetapi tak terjawab.
"Yang, Tante Adel telepon kok kamu nggak angkat sih?" tanya Al saat Ilea di kamar mandi.
"Aku nggak tahu, Beb. Kan aku habis salat sama kamu langsung ke kamar mandi. Nggak ngecek HP, perutku sakit, Beb." Ilea di kamar mandi buang air besar.
"Ya sudah, aku telepon balik, siapa tahu ada yang penting."
"Iya."
Segera Al menelepon Adel, beberapa detik menunggu, akhirnya telepon pun terjawab.
"Assalamualaikum," sahut suara lembut dari seberang.
"Waalaikumsalam. Maaf, Tan, tadi aku lagi salat. Ada apa, Tan?"
"Tante sudah naik taksi, ini menuju rumahmu."
"Hah!" Al terkejut. Tak ada kabar sebelumnya jika Adel akan datang.
"Kenapa sih? Tantenya mau datang kok malah gitu?" omel Adel tak suka.
"Bukan gitu, Tan. Kok nggak bilang mau datang? Kan bisa aku jemput di bandara? Tante juga kapan balik dari Paris? Bunda kok nggak ngasih tahu sih?"
"Kemarin lusa Tante sampai Jakarta. Sengaja Tante larang bundamu ngasih tahu, biar jadi kejutan."
Ceklek
Ilea keluar dari kamar mandi, dia menguping pembicaraan Al dengan Adel.
"Ck, Tante mau ngapain ke sini?"
"Kamu nggak suka Tante datang? Tante punya urusan sama istrimu. Ada beberapa hal yang harus kami bicarakan, mengenai bisnis."
"Suka, Tan. Tapi ...."
"Sudah, ini taksinya sudah masuk di komplek perumahanmu."
Belum juga Al bicara, panggilan diputus Adel.
"Ada apa, Beb?" tanya Ilea bingung melihat wajah Al yang gelisah.
"Tante Adel mau ke sini, katanya mau bicarakan bisnis sama kamu." Al melepas kopiah dan sarungnya.
"Terus?"
"Yaaaa ... nggak apa-apa sih. Cuma malu aja kalau sampai dia nginep sini dan tahu kondisi kita sebenarnya."
"Kenapa malu, Beb? Memang adanya kita begini. Kalau memang nggak ada, masa mau kita ada-adain sih? Repot di kita nantinya."
"Iya sih. Ya sudah, kita turun. Katanya tadi sudah masuk komplek."
Mereka pun turun ke lantai bawah menunggu kedatangan Adel. Beberapa menit menunggu di teras rumah, taksi biru berhenti di depan pagar. Al dan Ilea langsung mendekat. Adel keluar dari taksi menjinjing koper kecilnya, tidak berubah, di mana pun dia selalu berpenampilan kasual. Celana jeans biru, kaus putih kedodoran, dan rambut yang diikal bagian bawahnya tergerai. Al langsung membawakan koper Adel.
"Halo, Tan," sambut Ilea ceria langsung memeluk dan cipika-cipiki dengan Adel.
"Apa kabar kamu?" tanya Adel yang juga tampak bahagia lalu merangkul Ilea.
"Alhamdulillah, baik, Tan."
Mereka masuk ke rumah langsung ke ruang tengah. Sementara Adel dan Al berbincang, Ilea membuatkan minum.
"Tante nginep sini, kan?" tanya Al basa-basi.
"Iyalah, sini ada kamar kosong, kan?"
"Ada, Tan. Emang ada siapa lagi selain kami?"
"Loh, nggak cari PRT kalian?"
"Sementara ini nggak dulu, masih bisa dikerjakan bersama."
Ilea datang membawa minuman dingin bewarna merah, dia menurunkan di meja.
"Diminum, Tan?" ucap Ilea.
"Terima kasih." Adel langsung meminumnya, kebetulan dia haus.
"Tante mau istirahat dulu? Aku antar ke kamar, yuk! Terus nanti kita makan bareng."
"Iya nih, mau mandi dulu, sudah lengket badanku. Kamu di sini saja, kamar tamunya masih yang sama, kan, Al?" tanya Adel beranjak dari duduknya.
"Masih, Tan."
Ini bukanlah kali pertama Adel datang ke rumah itu. Dulu dia pernah menempati rumah itu saat ditugaskan Irwan mengelola bisnis di Jogja. Saat itu Al masih kuliah di Paris. Adel mengangkat kopernya, dia bawa ke kamar tamu yang ada di dekat ruang tengah tersebut.
"Emang kamu masak apa buat makan malam kita?"
"Aku masak oseng kangkung kesukaan kamu sama tempe goreng. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Apa perlu aku beli sesuatu di luar buat Tante? Ayam goreng atau apa gitu?"
"Kamu ada uang?" tanya Ilea bukannya meremehkan, hanya memastikan jika suaminya punya pegangan.
"Ada. Tadi pulang dari rumah sakit aku sekalian narik sebentar. Alhamdulillah sih, ada kalau 100 ribu."
"Ya sudah, tolong belikan ayam goreng saja, buat lengkap-lengkap. Sungkan juga kalau cuma ada tempe goreng."
"Ya sudah, aku keluar dulu sebentar. Kamu siapkan makan malamnya."
"Iya." Mereka beranjak, Al keluar mencari ayam goreng, Ilea ke dapur menyiapkan makan malam.
Setelah segar, rambutnya setengah bahas, Adel keluar kamar langsung mencari Ilea di ruang makan.
"Al ke mana, Ly?" tanya Adel.
"Lagi keluar sebentar, Tan," jawab Ilea meletakkan mangkuk ukuran sedang berisi tumis kangkung di meja makan.
"Wah, mantap nih." Adel melihat menu sederhana di atas meja. "Aku kangen banget sama masakan rumahan seperti ini. Masih punya tempe yang mentah nggak, Ly?" tanyanya setelah melihat tempe goreng di piring.
"Ada, Tan."
"Boleh nggak aku bikin sambal tempe?"
"Hah!" Ilea terkejut, dia pikir Adel tidak selera dengan masakan sederhananya. "Boleh banget, Tan."
Mereka lantas ke dapur dan Adel membuat menunya sendiri.
"Aku kangen banget makan tempe. Di sana tempe mahal banget, lebih mahal dari daging." Adel berucap sambil membuat sambal bawang, sedangkan Ilea menggoreng tempe.
Setelah selesai, tak sabar Adel langsung mencentongkan nasi dan makan menu sederhananya menggunakan tangan. Ilea tersenyum senang melihat lahapnya Adel makan.
"Assalamualaikum," ucap Al datang membawa kantong plastik putih.
"Waalaikumsalam," jawab Ilea.
Al lalu meletakkan plastik itu di meja. Dia melihat Adel makan hanya dengan tempe dan sambal.
"Tan, ini aku belikan ayam goreng," ucap Al sambil membukakan bungkusan kertas cokelat.
"Sudah, kamu sama Ily saja yang makan. Tante cukup begini saja, sudah enak banget."
"Beb, kamu duduk, kita makan," ajak Ilea lalu mencentongkan nasi untuk suaminya.
Al terheran-heran melihat Adel makan lahap. Tak pernah dia melihat tantenya makan seperti itu saat di Paris dulu.
"Tan, kesambet apa?" tanya Al terbengong-bengong melihat Adel.
"Aku lama tidak makan begini, Al. Nikmat yang hakiki itu seperti ini. Nggak perlu mewah, yang penting hati puas. Ayo, makan! Ngapain malah lihat aku makan?"
Al dan Ilea saling memandang dan melempar senyum. Lebih dulu Al yang mengambil ayam goreng bagian paha itu lantas dia bagi dua, bagian bawah dia kasihkan Ilea, dia mendapat bagian atas. Adel yang melihat hal itu tersenyum.
"Ada masanya," ucap Adel.
##############
Bener banget! Nikmat yang hakiki itu, ketika kita makan enak bukan berarti mewah. Ikan asin, sayur lodeh, sambal terasi, mengalahkan bistik. Hahahaha 😄😆.
Terima kasih atas vote dan komentarnya.
Banyuwangi, 19 Mei 2019
Pukul : 00.05 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top