Sampai di Sini

Mobil berhenti di halte tempat pertama mereka bertemu. Sejenak tak ada pembicaraan di antara mereka. Berulang kali, Al menarik napasnya berat, seperti ada beban yang ingin dia lepas dari dadanya.

"Turun yuk!" ajak Al sukses membuat Ilea mengernyit.

"Kenapa?" tanya Ilea menoleh Al dengan tatapan bingung.

"Kita butuh bicara," ucap Al lantas melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil.

Ilea pun menurut, dia mengikutinya turun. Setelah mereka duduk di halte dan beberapa menit saling diam, Al lebih dulu membuka suaranya.

"Untuk sementara waktu, kita jangan saling menghubungi. Kita butuh waktu untuk saling merelakan dan menyembuhkan luka di hati. Jika nanti hatiku sudah membaik, aku akan menghubungi kamu." Al berucap sambil menahan perih di hati. Jika boleh jujur, sebenarnya dia tak mau seperti ini.

Bergeming! Ilea hanya bisa tertegun tanpa bisa membantah. Hatinya sudah telanjur hancur saat mendengar ucapan Al. Lunglai, lemas, seperti tak ada tenaga. Matanya memanas, lama-lama perlahan air matanya menggenangi pelupuknya, tak tahan, dia menangis mengeluarkan sesak di dadanya. Ilea menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.

"Kak Al," lirih Ilea mulai terdengar isakannya.

Sebenarnya Al tak tega, tetapi dia punya harga diri. Al tak mau Ilea tesur meremehkan sikapnya yang diam seolah tak tahu apa yang dilakukannya.

"Jangan bertanya apa alasanku seperti ini, pasti suatu hari kamu menyadarinya, kenapa aku sampai begini." Al mengusap-usap punggung Ilea supaya tangis gadis itu tak semakin keras.

Berat ingin membantah dan mengelak, karena Ilea menyadari kesalahannya. Lebih memilih pergi menemui Ali tanpa peduli perasaan Al. Sakit! Sebagai lelaki Al merasa tak dihargai.

"Kak Al, aku minta maaf. Ak---"

"Aku tidak menyalahkan kamu, sejak awal, kan aku sudah bilang. Kalau sudah nggak nyaman sama aku, pergilah! Karena kenyamanan nggak bisa dipaksakan."

Tangis Ilea semakin keras, ingin meminta agar Al tak melakukannya, tetapi dia tak sanggup berbicara. Hanya tangis yang menyesakkan dada. Al membawa Ilea ke dalam pelukannya, hatinya sama-sama sakit dan hancur. Jika ini terus dilanjutkan, Al takut suatu saat malah akan tak nyaman menjalani hubungan bersama Ilea.

"Maafkan aku, ya? Kamu harus belajar dari masalah ini, jangan pernah kamu mengulanginya di masa depan," pesan Al sambil menahan air matanya.

"Kak Al, maaf." Ilea hanya bisa menangis dalam dekapan Al. Memang berat, tetapi Al harus melakukan ini demi harga dirinya dan juga kebahagiaan Ilea, pikirnya.

Di tempat itu awal mereka bertemu, malam ini juga Al mengakhiri hubungan mereka. Tega? Mungkin kalian pikir Al tega pada Ilea, padahal dalam hati sebenarnya Al tak tega dan tak menginginkan ini terjadi. Daripada semakin dia melanjutkan hubungan ini, tetapi pikiran Ilea dipenuhi Ali, lebih baik Al mengakhirinya, bukan?

***

Wajah kusut, tak bersemangat, menjadi lebih pendiam, itulah Al sekarang. Maya mengelus lengan Al yang ada di atas meja saat keluarga mereka makan malam di rumah.

"Al, are you okay, Baby?" tanya Maya lembut.

Irwan dan Qodir menatap Al penuh tanya.

"Aku nggak apa-apa, Bun." Al masih tetap berusaha menutupi masalahnya.

"Kalau ada masalah dan mengganggu pikiranmu, ceritakan. Jangan jadikan itu beban yang akan menghambat hidupmu. Ayo, ceritakan pada kami," desak Irwan diangguki Maya yang menyetujui ucapan suaminya.

Sebelum bercerita, Al menarik napasnya dalam. Dia berharap air matanya tak jatuh di depan orang tua dan adiknya.

"Aku memutuskan hubungan sama Ilea," ucap Al mengejutkan semua.

"Hah! Mak-mak-sud, kamu apa, Al?" tanya Maya gagap tak yakin.

"Bun, aku mau fokus kuliah dan menyelesaikan semua sampai mendapatkan kerja yang layak. Aku juga pengin Ilea fokus sekolah, apalagi sebentar lagi dia ujian. Dia perlu waktu memikirkan pelajarannya, aku cuma pengin dia fokus, nggak terbebani memikirkan tentang aku." Al menutupi masalah yang sebenarnya terjadi.

"Hah!" Maya menghempaskan napasnya kasar, dia juga menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Seketika kepalanya pusing, tak habis pikir dengan keputusan Al.

"Kamu yakin dengan keputusanmu itu, Al?" tanya Irwan yang sebenarnya ragu mendapat jawaban dari Al.

"Iya, Yah. Aku sudah pikirkan itu," sahut Al menahan sesak di dadanya.

"Bunda nggak tahu apa yang kamu pikirkan, Al. Kan bisa kamu sama Ilea nggak harus putus? Kalian masih bisa saling mendukung, bukan malah ..."

"Buuuun ...." Al memotong ucapan Maya. Dia sebenarnya tahu Maya bakalan tak terima dengan keputusannya itu. Namun, Al sudah telanjur mengambil keputusan.

Irwan berdiri mendekati Maya dan menenangkan istrinya dengan memeluk serta mengusap-usap bahunya.

"Bun, jangan memaksa Al. Dia dan Ilea jauh lebih tahu hal apa yang seharusnya diputuskan bersama. Kita doakan yang terbaik saja, ya?" ujar Irwan halus menasihati Maya supaya hati istrinya tenang.

Sedangkan Qodir hanya diam menyimak tanpa berani ikut campur.

***

Di rumah Ardian, suasana di ruang makan sepi tak ada obrolan saat makan malam. Biasanya Ilea ceriwis dan banyak bercerita tentang hal yang dilakukannya hari ini, tetapi kali ini, dia diam. Makan tak selera, dia sulit menelan makanannya, jika mengingat kata-kata Al, air matanya luluh sendiri. Sangat sakit!

Ardian dan Vina saling memandang, mereka bertatapan penuh tanda tanya. Setelah selesai makan, Vina merapikan meja makan. Kali ini Ardian yang akan mengurus Ilea.

"Ly, bagaimana persiapan ujianmu?" tanya Ardian basa-basi.

"Biasa, Pa," jawab Ilea lesu tak memandang wajah Ardian.

"Mau menemani Papa ngopi di luar?" tawar Ardian.

Sebenarnya Ilea ingin langsung ke kamar menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut dan menangis sepuasnya meluapkan sesak yang menyiksa itu.

"Iya," jawab Ilea lesu.

Ardian merangkul Ilea yang lemas berjalan ke samping rumah. Mereka duduk di ayunan menghadap kolam renang yang bagian atap ruang terbuka. Awalnya mereka saling diam, Ilea sibuk memikirkan Al.

"Ada apa? Kayaknya kok nggak semangat gitu?" tanya Ardian mulai obrolannya.

"Pa, aku sama Kak Al putus," ujar Ilea terdengar sangat sedih.

"Alasannya?" tanya Ardian terkejut, tetapi dia berusaha bersikap tenang.

Tak menjawab, Ilea justru menangis sesenggukan. Ardian lalu menarik kepala putrinya agar meluapkan kesedihan di dada bidangnya.

"Ssssssssttt, cup, cup, cup. Papa nggak akan tanya lagi alasan kalian berpisah. Apa pun itu, jadikan ini pelajaran berharga buat kamu. Setahu Papa, selama ini Al baik. Mungkin kalian memang butuh waktu untuk jalan sendiri-sendiri. Sudah, memang awalnya menyakitkan, tapi nanti kalau sudah terbiasa, semua akan kembali seperti semula. Sudah, ya? Ada Mama sama Papa di sini yang selalu mendukung kamu." Ardian memeluk Ilea yang menangis sesenggukan.

Dari ambang pintu, Vina mendengar obrolan mereka. Terasa sakit mendengar curhatan putrinya, ini kali pertama Ilea jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan seorang pria. Sekalinya jatuh cinta, Ilea mendapatkan sosok pria yang sangat baik menurut Vina, tetapi ternyata jalan Tuhan berbeda, kisah cinta putrinya kandas di tengah jalan.

Bergegas Vina berlari ke kamarnya, mencari ponsel lalu menelepon Maya. Beberapa menit menunggu akhirnya panggilan pun terjawab.

"Assalamualaikum." Sahutan suara dari seberang.

"Waalaikumsalam. May," ucap Vina bibirnya terasa berat saat ingin bersuara.

"Vin, anak-anak kita sudah mengakhiri hubungannya," ujar Maya terdengar isakannya.

Tak kuasa menahan sesak di dada, Vina pun akhirnya ikut menangis.

"Iya, May. Aku juga barusan denger obrolan Ily sama papanya. May, biarpun hubungan anak kita sudah berakhir, jangan akhiri juga silahturahmi keluarga kita, ya?" Vina berucap sambil menyeka air matanya. Dia merasa sangat sedih dengan keputusan Al dan Ilea itu.

"Iya, Vin. Masa depan tidak ada yang tahu. Anak-anak kita masih muda, wajar kalau pikiran kadang labil. Tidak menutup kemungkinan, kan, untuk mereka berjodoh?" Dari kata-kata Maya, Vina menangkap harapan besar yang masih tersimpan di hati Maya. Namun, harapan itu saat ini tinggallah harapan karena kenyataannya lebih pahit.

"Iya, May. Ya sudah, lebih baik kita besok bertemu biar leluasa ngobrolnya, bagaimana?"

"Oke, besok kita ketemu di tempat biasa, ya? Pas makan siang saja."

"Baiklah. Selamat malam, May."

"Malam juga, Vin. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Panggilan mereka berakhir, ketika Vina meletakkan ponselnya di nakas pintu kamar terbuka, Ardian masuk sambil menghela napas berat.

"Kenapa, Pa?" tanya Vina.

Ardian duduk di samping Vina, dia menatap istrinya lama.

"Kamu habis menangis? Kenapa?" Bukannya menjawab pertanyaan Vina, Ardian malah mempertahankan sisa air mata Vina yang masih tertinggal di ujung mata.

Segera Vina menghapusnya dengan punggung tangan.

"Nggak apa-apa. Tadi habis teleponan sama Maya."

"Bicara masalah Al sama Ily?" tanya Ardian memegang bahu Vina dan mengelusnya lembut.

Sambil menahan tangisannya, Vina menganggukkan kepala. Helaan napas Ardian berembus dalam dan panjang.

"Itu keputusan mereka, Ma. Kita nggak bisa memaksakan, mungkin Al sama Ily butuh waktu untuk saling merenungkan sesuatu atau bisa jadi mereka bosan menjalani hubungan ini. Wajar, kan, kalau suatu hubungan apalagi masih pacaran ada saat-saat tertentu jenuh dan mereka butuh waktu untuk me-refresh kembali semua yang terjadi selama bersama. Sudahlah, kita lakukan yang menjadi tugas kita saja, ya? Mendukung dan membangkitkan semangat Ily biar kembali seperti dulu." Ardian menarik pelan istrinya agar bersandar di dadanya. Dia mendekap dan mengelus rambut Vina lembut, lantas dicium pucuk kepalanya.

***

Belum waktunya Al kembali ke Paris, tetapi pagi ini dia memutuskan untuk kembali. Setelah sarapan, Maya, Irwan, dan Qodir mengantar Al ke bandara.

"Yakin kamu nggak mau lebih lama di sini?" tanya Maya saat menemani Al menunggu waktu boarding.

"Iya, Bun. Jadwalku pulang untuk Ily, tapi ya sudahlah! Aku mungkin akan lebih tenang dan bisa menata rencana lagi di sana. Sambil menghabiskan sisa waktu liburan di Paris," jawab Al berusaha tersenyum walau hatinya hancur.

"Kamu hati-hati di sana, ya? Kalau butuh apa-apa yang paling dekat Tante Adel, kamu minta bantuan dia."

"Iya, Bun. Tenang saja, biasanya Bunda nggak begini. Kenapa kesannya khawatir banget sih sekarang?"

"Maaf, Bunda cuma mencemaskan ..."

"Buuuun, aku tuh nggak apa-apa. Bunda tenang saja, aku akan baik-baik saja."

Irwan dan Qodir yang duduk di depan mereka sedari tadi hanya menyimak percakapan Maya dan Al.

"Tapi ...." Irwan melus lengan Maya supaya tak menimpali ucap Al lagi. "Ya sudah kalau begitu, nanti kalau Qodir libur panjang kami ke Paris," ujar Maya memahami kode suaminya.

"Iya, Bun. Sudah waktunya aku berangkat." Al berdiri diikuti Maya, Irwan, dan Qodir.

Sebelum pergi, Al memeluk mereka satu per satu. Bagi Al, dia butuh waktu untuk merelakan Ilea. Dia akan belajar tanpa Ilea, berusaha tak lagi memedulikan dan ikut campur dalam urusan pribadinya. Tekad Al sudah bulat, ini keputusannya. Melupakan kenangan tak akan mungkin bisa, tetapi setidaknya Al harus belajar membiasakan diri tanpa Ilea, bukan?

#########

Nah, kan! Kejadian juga. Nikmati prosesnya.

Terima kasih atas vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top