Saat Dekat, Cinta Semakin Besar
Berdiri di tempat pertama mereka bertemu, Al dan Ilea saling berhadapan, mata Al berkaca-kaca, sedang milik Ilea sudah merembes membanjiri pipinya. Sakit, benar-benar sangat sakit dan terluka hati Al.
"Kurangku apa sama kamu? Kamu minta aku setia, aku sudah lakukan. Tapi, apa yang kamu lakukan?" Suara Al bergetar menyayat perasaan Ilea.
"Aku bisa jelasin ...." Ilea ingin menggapai tangan Al, tetapi dengan cepat Al menampiknya.
"Sekarang, di tepat ini awal kita bertemu dan kali ini aku yang mengakhiri hubungan kita, di sini juga!"
"Beb ...!"
Napas Ilea memburu, dia membuka matanya lebar, ini adalah mimpi buruk baginya. Ilea menatap jam di dinding menunjukan pukul 06.00 WIB, dia bangun kesiangan, Ilea tak kebagian waktu salat Subuh. Bergegas dia ke kamar mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Rambut tanpa disisir, Ilea buru-buru turun ke lantai bawah.
"Ilya!" panggil Vina melengking, "Papa sudah berangkat tadi pagi, ada pertemuan penting pagi ini dengan rekan bisnisnya. Mama yang antar kamu ke sekolah," ujar Vina saat melihat Ilea menuruni tangga.
"Iya, Ma. Ayo, langsung berangkat saja," pinta Ilea menyisir rambutnya sembari berjalan ke luar rumah.
Melihat tingkah laku Ilea, Vina menggelengkan kepala. Dia memang sengaja tidak membiasakan diri membangunkan Ilea. Vina ingin Ilea sadar dengan tanggung jawabnya sebagai pelajar dan juga mendisiplinkan putri semata wayangnya itu.
Setelah mengambil tas dan kunci mobil di kamar, Vina lantas ke garasi mengeluarkan mobilnya. Sedangkan Ilea sudah menunggu di teras.
"Ayo!" Vina membukakan pintu mobil dari dalam. Segera Ilea masuk, mobil ke luar dari pelataran rumah.
"Ma, pulang sekolah aku mau langsung ke toko buku."
"Sama siapa?"
"Ulfha."
"Yakin?" Vina melirik seperti tak percaya pada Ilea.
"Iya, Ma."
"Boleh Mama tanya sesuatu sama kamu?"
"Boleh, tanya apa?"
"Ali itu siapa kamu?"
Deg!
Seperkian detik jantung Ilea seperti berhenti berdetak, dia mengambil napas panjang.
"Nggak usah dijawab, tapi Mama cuma berpesan sama kamu, Ly. Kamu sudah punya janji dan berkomitmen sama Al, alangkah baiknya jika kamu harus jaga jarak dengan teman lelakimu. Menjaga perasaan orang yang sudah mencintai kamu itu perlu, apalagi dia sekarang sedang berjuang untuk kamu. Bayangkan jika suatu hari kamu dan Al berpisah karena penghianatan, apa kamu tidak menyesal?" Kata-kata Vina seperti mengoyak ulu hati Ilea.
Bibir tipis nan merah itu kelu tak mampu menjawab apa pun. Membantah saja Ilea tak mampu. Mimpinya semalam sangat jelas dan Ilea tidak mau itu sampai terjadi.
Dreeeet dreeeet greeeet
Ponsel Ilea bergetar, dengan cepat dia melihat layar datarnya. Tertulis nama Baby Al di layar itu.
"Halo, Beb." Ilea menjawab telepon Al.
"Love, sudah berangkat sekolah?" tanya dia dari seberang.
"Iya, ini diantar Mama. Kamu sudah mau berangkat, ya?" tanya Ilea tak sabar menanti kedatangan sang kekasih.
"Belum, besok pagi. Di sini masih tengah malam, Love."
"Hehehehe, lupa. Kita kan, beda waktu. Nggak sabar kamu sampai sini."
"Aku cuma tiga hari di Indonesia, setelah urusanku selesai, aku mau ajak kamu jalan-jalan. Aku kangen, pengin ke pantai."
"Mauuuuuu, aku tunggu kamu."
"Iya, mungkin besok pagi baru sampai Indonesia."
"Iya, safe flight, ya, Beb. Aku menunggumu."
"Makasih, Love. Ya sudah, aku mau tidur dulu. Kamu sekolahnya yang bener."
"Iya, good night, Beb."
"Good morning, Love. Muah, I love you."
"Love you too."
Sudah biasa Vina mendengar percakapan putrinya dengan Al, sudah tak heran lagi baginya.
"Ehem! Ciyeeeee," goda Vina setelah Ilea memasukkan ponselnya di tas.
"Mama, jangan begitu." Ilea senyum malu-malu karena digoda Vina.
"Hahahaha, begini ternyata pacaran ABG zaman sekarang." Vina terus meledek Ilea sampai tak terasa mobilnya terparkir di depan gerbang sekolahan Ilea.
"Aku masuk dulu, ya, Ma." Ilea menyalami dan mencium punggung tangan Vina.
"Iya, belajar yang bener biar cepet nikah, eh ...." Vina mengerling sambil menutup mulutnya, tak bosan dia menggoda Ilea.
"Ah, Mamaaaaa, selalu bully aku." Ilea merengek seperti anak kecil, Vina gemas lalu mencium pipi putrinya.
"Maaf, bercanda, Sayang. Ya sudah, masuk sana, keburu bel loh."
"Iya, Ma. Assalamualaikum." Ilea membuka pintu mobil.
"Waalaikumsalam." Vina menjawab sembari tersenyum lebar melambaikan tangan pada Ilea.
Di koridor kelas, Ali sudah menunggu kedatangan Ilea. Hatinya campur aduk tak keruan. Jika egois, Ali ingin sekali membawa Ilea pergi jauh yang tak memungkinkannya bertemu Al. Namun, apa daya, dia tidak berhak melakukannya.
"Kok baru sampai?" tanya Ali setelah Ilea di depannya.
"Gue bangunnya kesiangan," jawab Ilea, "masuk yuk!" Ilea berjalan lebih dulu masuk ke kelas.
Sudah lumayan banyak orang di kelas, mungkin hampir semua sudah ada walaupun belum terdengar suara bel masuk. Ilea duduk di kursinya, Ali pun ikut duduk dan menggeser kursinya agak mendekat pada Ilea.
"Jadi pulang dia?" tanya Ali dengan wajah memelas.
"Huum," jawab Ilea sengaja menyibukkan diri mengeluarkan bukunya.
"Terus gimana gue kalau lo sama dia?"
Mata Ilea melirik Ali, yang dilirik memamerkan wajah mengiba dengan tatapan memelas.
"Jangan pandang gue gitulah, Li." Ilea sedikit menampar pipi Ali supaya dia memalingkan pandangannya.
Dengan sigap Ali memegang tangan Ilea yang tadi dia gunakan untuk menyentuh pipinya.
"Jangan tinggalin gue, Ly. Anggap saja gue cowok bodoh yang nggak bisa suka sama cewek lain dan mau dijadiin yang kedua. Gue sadar bodoh dan begok, tapi cuma lo yang gue suka, Ly. Andai saja gue bisa memilih, gue nggak mau seperti ini, gue maunya suka sama cewek yang singgle."
Ilea menarik tangannya dari Ali. "Li, maaf, kayaknya kita nggak bisa lanjutin ini. Lo bakalan tersakiti terus, gue nggak mau jadi cewek egois dan jahat karena ...."
"Gue yang mau, Ly. Lo nggak perlu mikirin perasaan gue, gue bisa kok jagain perasaan gue sendiri."
"Bukan itu masalahnya, Li. Jujur, sampai saat ini gue belum bisa ninggalin Kak Al. Gue nggak tahu kenapa begini, padahal gue belum selesai sama Kak Al, tapi perasaan gue ke lo juga ada. Gue sendiri juga bingung, Li."
"Lo nggak usah bingung, kalau lo lagi sama dia, gue nggak apa-apa, gue akan berusaha nggak cemburu. Naif sih kalau gue nggak cemburu lihat postingan lo selalu bahas dia, dia, dia, dan kalian. Ada rasa iri, kapan gue bisa jadi bagian dalam postingan lo. Tapi, kembali lagi, gue sadar diri, kita masih rahasia."
"Maafin gue, mungkin gue akan selalu menyakiti hati lo."
"Nggak apa-apa, jika suatu hari pada akhir kita akan bahagia."
Teeeeeet teeeeet teeeeet
Suara bel bunyi, tanda masuk jam pelajaran pertama. Ali tersenyum sangat manis lalu mengacak rambut Ilea pelan.
"Sekarang yang kita pikirkan belajar dulu, urusan kita, biarkan berjalan seperti air mengalir," ujar Ali lalu mendorong kursinya ke samping, sedikit menjauh dari kursi Ilea.
Senyum tipis merekah di bibir Ilea, entahlah, sekarang hatinya seperti terbebani. Dia tidak menginginkan posisi seperti ini, tetapi sudah telanjur terjadi. Ilea juga tidak mau munafik jika hatinya sudah terbagi dua, untuk Al dan untuk Ali.
***
Tak sabar hati Al ingin segera bertemu Ilea. Setelah menempuh penerbangan sekitar 21 jam termasuk transit di dua negara, kini akhirnya Al menginjakkan kaki di bandara internasional Soekarno-Hatta. Tak banyak barang yang dibawa, hanya ransel kecil berisi laptop dan buku catatan. Pakaian, Al hanya membawa satu setel karena di rumah sudah pasti ada.
"Alhamdulillah," ucap syukur Al saat dia masuk ke ruang kedatangan.
Jam di dinding kedatangan bandara menunjukan pukul 07.00 WIB, berarti Al tidak bisa langsung menghubungi Ilea karena pasti dia sudah mengikuti jam pelajaran. Dia akan menahannya sampai nanti sudah waktunya pulang sekolah, Al ingin memberikannya sedikit kejutan.
"Al!" pekik seorang wanita yang usianya sekitar 45 tahun, masih terlihat muda, cantik, rambut lurus nan panjang dipotong segi.
"Bunda." Al melebarkan langkanya lalu berhamburan ke pelukan Maya.
"Bunda kangen, Al," ucap Maya mencium pipi Al setelah melepas pelukan mereka.
"Al juga kangen, Bun." Al membalas mencium kening Maya. Sangat terasa begitu besar cinta Al pada sang bunda.
"Kamu sendiri? Tante Adel nggak ikut?" tanya Maya menyadari jika putranya datang sendiri.
"Iya, Bun. Tante masih banyak kerjaan, toh aku juga cuma tiga hari di sini. Ada tugas dari kampus ikut seminar internasional di salah satu rumah sakit terbaik sini. Bunda sama Ayah?" tanya Al merangkul Maya mengajaknya berjalan.
"Ayah di kantor, lagi banyak kerjaan. Langsung pulang aja, ya? Bunda sudah masakin tumis lidah sapi kesukaan kamu."
"Wah, mantap! Oke."
Sampainya di mobil, Al duduk di kursi kemudi sedangkan Maya duduk di sampingnya. Al sosok pria yang suka memanjakan wanita, terutama yang dia sayangi.
"Kamu mau nemui Ilya dulu?" tanya Maya setelah mobil lepas dari bandara.
"Nanti saja deh, Bun, aku jemput dia sekolah. Aku cape, mau tidur dulu. Toh juga dia pasti sudah mengikuti jam pelajaran."
"Oh, iya. Ya sudah deh, kita langsung ke rumah."
Ban mobil melaju ke rumah model Eropa bercat putih berpadu emas membuatnya terkesan mewah dan elegan. Wajar saja, ayah Al adalah seorang pengusaha jam tangan terkenal, usahanya pun tak hanya satu bidang. Setelah mobil terparkir di garasi, mereka turun. Berjejer mobil-mobil mewah sampai yang biasa mereka gunakan sehari-hari.
"Kamu mandi dulu, Bunda siapin makan buat kamu," titah Maya saat mereka masuk ke rumah.
"Iya, Bun."
Mereka berpisah di ruang tengah, Maya langsung ke dapur, Al naik ke lantai dua menuju kamarnya. Namun, saat dia sampai di depan pintu kamar bercat putih, kakinya berhenti melangkah. Al mengintip kamar yang pintunya sedikit terbuka. Ada seorang lelaki yang duduk serius di depan laptop. Mengendap-endap Al masuk lalu mengagetkannya.
"Wayoooo!"
"Astogfirullohhaladzim, ya Allah!" pekik lelaki itu mengelus dadanya. Al terbahak-bahak melihat wajah adiknya yang pucat karena terkejut oleh ulahnya.
"Kak Aaaaaal!" pekik Qodir adik satu-satunya yang masih kelas delapan SMP.
"Maaf," ucap Al masih dalam keadaan tertawa.
"Untung jantungku nggak copot, kalau copot tanggung jawab kamu," omel Qodir menunjuk-nunjuk Al.
"Iya, Kakak kan, sudah minta maaf." Al mengacak rambut adiknya sayang.
"Kakak kok pulang? Sudah kangen, ya, sama Kak Ily? Ciyeeeee," ledek Qodir mengerling.
"Sok tahu kamu! Masih kecil juga!" Al memberikan buah tangan yang dia bawa dari Paris untuk adiknya.
"Apa ini?" tanya Qodir penasaran menerima bingkisan kotak bewarna hitam.
"Buka saja," jawab Al.
Ternyata berisi parfum limited edition yang hanya keluar di Paris.
"Terima kasih, Kak," ucap Qodir bahagia memeluk Al.
"Iya, sama-sama. Aku cape, mau mandi dulu terus makan."
Saat Al ingin keluar dari kamar Qodir, dia menyadari sesuatu. "Heh, kok kamu nggak sekolah? Bolos, ya?" tuduhnya.
"Aku sakit, Kak. Dari kemarin meriang." Nada suara Qodir dibuat sok manja.
"Sakit kok main gun wing, aku bilangin Bunda loh," ancam Al.
"Jangan, aku bosen terus-terusan tidur."
"Sudah berobat belum?"
"Sudah."
"Ya sudah, tiduran. Awas nge-game." Al menunjuk Qodir dan wajah dibuat sok galak.
"Iya." Qodir menurut, lalu dia berbaring di tempat tidur.
Al tersenyum, adik semata wayangnya itu memang penurut dan tidak pernah membantah perintah Al maupun orang tuanya. Meskipun dia satu-satunya yang dimanjakan mereka di istana itu.
Setelah menutup pintu kamar adiknya, Al membuka pintu kamar yang berhadapan dengan kamar Qodir. Nuansa hitam merah mendominasi ruangan itu. Terlihat luas dan berbagai perlengkapan ada di sana. Dari tempat tidur yang super luas, seperangkat komputer, home theater 32 inch TV matching, DVD, PS2, satu set sofa di pojok ruangan, dan bufet panjang berisi buku-buku. Al sangat merindukan kamarnya, dia meletakkan tas di kursi meja belajar dan sebentar berbaring sebelum mandi.
***
Berdiri di samping mobil sedan bewarna hitam mengkilap yang sudah dimodifikasi dan bagian atap terbuka, Al menunggu Ilea keluar dari sekolah. Hampir satu jam Al menunggunya, mulai terlihat beberapa murid silih berganti keluar. Mata Al saksama memerhatikan satu per satu orang yang keluar. Senyumnya mengembang saat melihat Ilea berjalan beriringan dengan dua teman perempuannya.
"Love!" panggil Al melambaikan tangan.
Dari jarak kurang lebih tiga meter, terlihat jelas wajah terkejut Ilea bercampur bahagia.
"Baby!" pekik Ilea tak lagi memedulikan banyak orang di sekitarnya. Bergegas dia lari dan berhamburan ke pelukan Al. Tangis kerinduan pecah dalam dekapan Al, sedikit Al mengangkat tubuh mungil itu.
"I miss you so much, Love," ucap Al mencium pucuk kepala Ilea.
"I miss you too, Beb." Ilea mengeratkan pelukannya.
Dari gerbang, mata Ali memanas melihat adegan itu. Tangannya mengepal keras mencengkeram handlebar/setang erat. Napasnya tersengal-sengal seperti habis berlari kilometer. Dadanya dipenuhi rasa cemburu, Ali lalu memakai helmnya dan menarik gas motor dengan kecepatan tinggi. Dia tidak mau terlalu lama melihat pandangan yang akan menghancurkan hatinya sendiri.
Seseorang memutuskan menjauh bukan karena dia membencinya. Namun, dia sedang melindungi dirinya dari luka.
###############
Sabar, ya, Li. Aku ikut prihatin.😥
Terima kasih atas vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top