Mundur untuk Bahagiamu
Tersedu-sedu, Ilea menangis dalam pelukan Al. Dia menceritakan keadaan yang sebenarnya. Hari ini Al menjemput Ilea ke kampus. Ilea sudah tak tahan lagi dengan sikap Rehan yang terkesan memaksanya.
Flashback
Saat itu masa orientasi siswa telah selesai, Ilea sedang buru-buru ke parkiran. Namun, saat melewati salah satu kelas di kampus, Ilea mendengar percakapan beberapa pria.
"Kalau kamu bisa menaklukkan hati cewek emas itu, aku kasih motor mahalku yang jadi impian lamamu itu!" ucap seorang pria mengenakan jaket hitam.
"Wah, taruhannya gede nih! Seriusan kamu, Yog?" tanya Rehan kepada temannya.
"Seriusan! Wah, mantap." Rehan tersenyum girang, dia sudah lama menginginkan motor Ninja modifikasi milik Yoga.
"Iya, serius. Aku kesel banget lihat cewek blagu itu. Sok cantik, sok nggak butuh orang lain. Sampai Ily jadi pacarmu, motor itu aku kasih hari itu juga." Yoga sangat sebal kepada Ilea karena pernah dipermalukan di depan umum.
Bagaimana tidak? Ilea menolak saat Yoga menembaknya di depan calon mahasiswa yang mengikuti masa orientasi. Mungkin jika orang lain bakalan takut dengan seniornya dan menerima cinta karena terpaksa. Tidak untuk Ilea, dia kukuh pada pendiriannya, tidak suka, ya ... ditolak, bukankah itu hal yang benar?
"Okay, deal ini ya? Sebagai buktinya, kita bikin surat perjanjian," usul Rehan.
Dari sela pintu yang tertutup tidak rapat, Ilea mengintip. Rehan dan Yoga menulis sesuatu di atas kertas dan mereka menandatangani.
Flashback off
"Sejak itu aku menghindar dari Rehan, Kak. Tapi dia terus ngejar-ngejar aku." Ilea bercerita sambil menangis dalam dekapan Al.
Saat ini Al menemani Ilea di kosan. Dia mendengarkan keluh kesah gadis itu. Setahu pemilik kos, Al adalah kakak Ilea, saat Ilea sakit pun Al yang merawat dan menemaninya semalaman.
"Ya sudah, kamu harus hati-hati sama orang itu. Mulai besok aku antar jemput kamu, ya?"
Ilea mendongakkan kepala menatap Al yang menunduk juga menatapnya. "Tapi, bagaimana Kak Alyssa?"
"Kenapa Alyssa? Dia nggak apa-apa."
"Kalau Kak Al antar jemput aku ke kampus, siapa yang antar jemput Kak Alyssa kerja?"
"Kan dia bisa bawa mobil sendiri. Sudahlah, yang penting keselamatan kamu. Nurut saja," bujuk Al mengelus kepala Ilea.
Rasanya nyaman, sudah lama Ilea tak melendot di dada bidang Al seperti itu.
"Azan Magrib, wudu sana! Kita salat berjamaah, habis itu aku pulang." Al menegakkan tubuh Ilea yang masih nyaman melendotinya.
Lebih dulu Al beranjak dari sofa lalu ke luar kamar mengambil wudu. Sedangkan Ilea wudu di kamar mandi yang ada di kamarnya. Setelah salat berjamaah, Al menjadi imam Ilea, lalu dia pamit pulang. Ilea mengantar Al sampai di depan gerbang.
"Kangkung, hati-hati, ya? Habis Isak aku ke rumah kamu." Ilea melambaikan tangan mengiringi Al masuk ke mobil.
Sebelum menjalankan mobilnya, Al melambaikan tangan.
Sampainya di depan rumah saat Al ingin memasukkan mobil, Alyssa sudah menunggunya di depan gerbang. Al turun, menyapanya lalu membuka gerbang dan Alyssa menyingkir. Setelah mobil terparkir di samping teras rumah minimalis itu, Alyssa berdiri di belakang mobil menunggu Al keluar.
"Sudah lama?" tanya Al menghampiri Alyssa.
Tak ada jawaban dari Alyssa, malah dia bertanya, "Dari mana?"
"Tadi jemput Ily di kampusnya terus antar ke kos," jawab Al jujur sambil menunduk memainkan kunci mobilnya.
Sudah beberapa tahun, Al berusaha menjaga perasaannya untuk Alyssa. Namun, beberapa bulan belakangan karena sering mendengar curahan hati Ilea, Al seperti ada perasaan tak tega. Dia simpati kepada Ilea, saat Ilea membutuhkannya, Al berusaha selalu ada.
Tinggal di indekos jauh dari orang tua, membuat Al khawatir pada Ilea. Apalagi Al sudah tahu betul bagaimana sifat dan sikap Ilea. Sejak mereka putus sampai sekarang, Al berpacaran dengan Alyssa, jujur, ada sedikit hatinya masih tertinggal di sana.
"Kamu sedikit-sedikit Ily! Apa-apa Ily! Yang pacar kamu tuh aku apa dia sih!" Malam ini di depan rumah kontrakan Al, mereka ribut besar.
Tangan Al berusaha menggapai lengan Alyssa, tetapi Alyssa menampiknya.
"Jangan ribut di sini, ayo kita masuk," ajak Al dengan suara lembut dan wajah tenang.
"Aku nggak peduli sama orang lain! Aku cuma tanya sama kamu, apa kamu masih mencintainya?" Mata Alyssa melebar menatap Al tajam.
Dadanya penuh dan sesak, tiga tahun lebih bersama Al, dia pikir kekasihnya bisa melupakan mantan pacarnya itu, kenyataannya dia masih terlihat sangat peduli bahkan perhatian Al berlebihan pada Ilea.
Tertegun, diam, dan otaknya berjalan lambat. Bibir Al sangat kelu ketika ingin menjawab pertanyaan Alyssa. Apa benar dia seperti yang Alyssa tuduhkan?
Mata Alyssa berkaca-kaca, air mata siap turun dari pelupuknya. Bibirnya bergetar sambil berucap, "Jika kamu masih mencintainya, jujur saja! Aku nggak apa-apa meskipun hati ini sakit, Al. Aku paham, dia wanita yang lebih dulu memikat hatimu. Aku cuma hadir di saat hatimu hancur, bodohnya, aku terlalu terbawa perasaan setiap apa pun yang kamu lakukan kepadaku."
Lagi-lagi Al terdiam, dia menatap kedua mata Alyssa yang sudah merah dan bahas. Wajahnya pun tampak sangat sedih dan kecewa.
"Lys ..."
"Al, aku nggak pengin dicintai setengah hati. Aku merasa setengah hatimu masih miliknya." Alyssa memotong ucapan Al.
"Lys, berikan aku waktu untuk berbicara," ucap Al.
Alyssa menarik napasnya panjang, dia embuskan pelan untuk mengurasi sesak di dada. Tangan Al terangkat dan menghapus air mata Alyssa yang membasahi pipi mulusnya.
"Maaf, aku sendiri bingung mengartikan perasanku. Di sisi lain, aku pengin selalu melindunginya, tapi aku juga nggak mau membuatmu kecewa dan terluka. Aku berusaha bersikap baik, mungkin saja aku yang terlalu ..."
"Kamu masih mencintainya, Al." Lagi-lagi Alyssa memotong ucapan Al.
"Nggak," elak Al menggelengkan kepala. Dalam batinnya seperti menolak ucapannya sendiri.
"Al." Alyssa menangkup kedua pipi Al, mata mereka beradu, tersirat kesedihan mendalam di sorot mata Alyssa. Di mata Al jelas terlihat kebingungan dan kebimbangan. "Jangan menyangkal kata hatimu, bibirmu berucap 'nggak' tapi tanyakan hatimu, apa sama dengan kata bibirmu?"
Napas Al tertarik panjang dan mengembuskan pelan, dia memejamkan mata mencari jawabannya.
Benar yang kamu katakan, Lys, tapi aku takut menyakiti hatimu, batin Al.
Seperti seolah-olah tahu apa yang Al ucapkan dalam hati, Alyssa menyahut, "Jangan takut kamu menyakiti hatiku, Al. Lebih mengkhawatirkan apabila kita meneruskan hubungan ini dan hatimu masih tertinggal bersamanya. Kamu mengenalku, aku bukan wanita lemah dan aku kuat! Sakit hati dalam percintaan itu wajar, memang sudah risikonya saat kita bermain hati dan berakibat hati terluka."
Mata Al terbelalak, apa maksud Alyssa? Lebih mengkhawatirkan apabila meneruskan hubungan ini?
"Apa maksud ucapanmu?" tanya Al ingin memperjelas ucapan Alyssa.
Sebelum menjawab, Alyssa menarik napasnya dalam dan memejamkan mata. Setelah perasannya membaik, dia membuka mata menatap mata sendu Al. Alyssa menggapai tangan Al dan menggenggamnya.
"Terima kasih waktu tiga tahun bersamaku. Selama kita bersama, kamu menjadi sosok kekasih yang sangat baik. Entah, suatu saat apakah aku bisa mendapatkan pria sebaik kamu. Kamu orang baik, Al, aku nggak menyesal melepaskanmu karena kamu berhak bahagia. Malah aku merasa menjadi wanita beruntung yang pernah memilikimu dan mendapatkan perhatian lebih darimu. Terima kasih, kita akhiri hubungan ini sampai di sini."
"Lys ...." Al ingin membantah, tetapi lima jari lentik Alyssa menahan di bibirnya. Meski dadanya sakit, Alyssa berusaha tersenyum walaupun air mata kesedihan tak dapat dibohongi, ia terus saja mengalir meski Alyssa sudah menahannya.
"Al, jangan lagi membohongi hatimu," ucap Alyssa.
Al menarik napasnya dalam, dia memalingkan wajahnya dan menyisir rambut dengan kelima jarinya. Al juga membahasi bibirnya yang terasa kering dengan lidah.
"Maafin aku, Lys. Aku merasa sangat bersalah sudah menyakiti hatimu. Nggak ada niatanku bikin hatimu sakit," ucap Al menyesal.
"Ini yang aku suka darimu, Al. Kamu selalu menjaga perasaan wanita, kalau mereka salah mengartikan, bisa-bisa hati mereka sendiri yang terluka. Pantas saja Ilea selalu merasa nyaman dan aman bersamamu." Ada perasaan sedikit iri dalam hati Alyssa karena Ilea-lah wanita yang beruntung mendapatkan cinta tulus dokter tampan dan penuh kasih sayang itu.
Faktanya meskipun Al lama berpisah dengan Ilea dan sempat berpacaran dengannya, ternyata dia tidak bisa melupakan gadis itu.
"Boleh aku memelukmu? Mungkin aku bisa sedikit mengurangi sesak di dadamu." Al meminta izin sambil merentangkan kedua tangan.
Dengan senyum lebar, tetapi getir, Alyssa mengangguk lantas berhamburan ke pelukan Al. Sangat erat Alyssa memeluk Al, sepeti dia memanfaatkan kesempatan terakhirnya untuk bisa memeluknya. Meski hati terasa ngilu, dia berusaha kuat. Ini adalah keputusannya, pasti dia bisa melewati hari-hari selanjutnya tanpa lagi ada Al di sisinya.
"Terima kasih, kamu malah yang memahamiku." Al mengelus rambut sebahu Alyssa.
"Karena waktunya aku yang memahamimu. Sudah cukup selama kita bersama, kamu yang memahamiku."
Blam!
Suara pintu mobil tertutup, Al dan Alyssa terkejut dan sama-sama melepas pelukan lalu menoleh ke sumber suara. Sempat terlihat samar seseorang yang duduk di jok belakang taksi itu.
"Ily?" gumam Al sangat mengenalinya.
"Kejar Al!" perintah Alyssa.
"Kamu?" tanya Al ragu dan bingung, antara ingin mengejar taksi yang Ilea naiki dan tak tega meninggalkan Alyssa sendiri.
"Jangan pikirkan aku, aku kan cewek kuat." Alyssa berusaha tersenyum dan menampakkan wajah yang seolah-olah berkata, 'Aku akan baik-baik saja.' walaupun dalam hatinya remuk.
"Maaf, ya, aku tinggal." Al mengusap lengan Alyssa lalu masuk ke mobilnya dan mengejar taksi tadi.
Tak lain dan tak bukan, pasti taksi itu ke arah indekos Ilea. Al sengaja mengambil jalan pintas supaya sampai lebih dulu di indekosnya. Benar saja, saat dia sampai di depan gerbang hitam setengah badan, taksi yang Ilea naiki berhenti. Setelah Ilea turun, barulah Al turun dari mobil sedan hitam mengkilap.
"Ily," panggil Al menahan lengan Ilea yang ingin membuka pintu gerbang.
Ilea terkejut, dia menoleh, wajahnya bahas, mata sembap, dan hidung merah. Dia habis menangis!
"Kak Al?" suara Ilea terdengar parau.
"Kamu kenapa menangis?" tanya Al menghapus sisa air mata Ilea.
"Nggak kok, ini tadi ..."
"Jangan bohong," potong Al cepat.
Meskipun berusaha menyembunyikan, tetap saja sangatlah jelas jika dia habis menangis.
"Dari mana kamu?" tanya Al sengaja ingin mengetahui kejujuran Ilea.
Ilea menunduk memainkan kausnya dan menjawab, "Tadi aku ... mmm ... aku ...."
"Aku ...?" Al menyahut agar Ilea cepat menjawab. "Ke rumahku?" lanjut Al mengejutkan Ilea dan langsung menatap pria tampan yang sudah menjadi dokter dan berstatus mantan pacarnya itu.
"I-i-iya," jawab Ilea gaguk.
"Kenapa nggak jadi?"
"Aku takut ganggu Kak Al sama Kak Alyssa."
"Justru caramu menutup pintu taksi yang menggangu kami," ujar Al menyentil pelan kening Ilea.
Bibir Ilea mengerucut, dia mengusap-usap keningnya bekas sentilan Al.
"Maaf," ucap Ilea.
"Sudah makan, belum?" tanya Al perhatian.
Ilea menggeleng, "Belum."
"Kenapa? Jangan bilang kamu sengaja nggak makan biar sakit terus aku jagain kamu lagi, ya?" Al mengerlingkan matanya menggoda Ilea.
Yang digoda malah senyum-senyum tak jelas. "Nggak kok!" elaknya.
"Terus kenapa belum makan?" desak Al.
"Tadinya aku pengin ngajakin Kak Al makan di oseng mercon, tapi malah ..."
"Lihat aku pelukan sama Alyssa di depan rumah dan kamu ngambek. Iya, kan?" lanjut Al dengan nada bicara setengah menggoda.
"Iiiih, nggak kok! Ngapain aku ngambek? Ya ... aku takut ganggu aja! Makanya aku langsung pulang, nggak jadi ngajak."
"Terus kalau aku sudah di sini, kamu tetep nggak jadi ngajakin?"
"Mmm ...." Ilea tak langsung menjawab, dia celingak-celinguk, Al malah ikut celingukan.
"Cari siapa?" tanya Al.
"Kak Alyssa mana? Nggak ikut?" tanya Ilea.
"Dia nggak ikut. Ayo, kita makan oseng mercon!" Al menarik tangan Ilea.
Melihat tangan Al menarik pergelangan tangannya, teringat masa lalu saat mereka masih berpacaran. Ilea sangat merindukan momen itu, dia sadar sudah pernah mengecewakan Al, tetapi jika boleh memutar waktu, Ilea tak ingin melakukan kesalahan terbodohnya itu!
Sampainya di warung pinggir jalan yang banyak pelanggan lesehan di trotoar, mereka turun. Ini salah satu tempat oseng mercon terkenal di Jogja, pelopor pertama dan setiap hari selalu ramai.
"Dokter Al!" pekik seorang wanita saat Al turun dari mobil.
Senyum ramah Al menyapa wanita itu, Ilea melirik tak suka. Mereka berjabat tangan dan berbasa-basi.
"Mau makan di sini juga, Dok?" tanya wanita itu terlihat bahagia saat dekat dengan Al dan Ilea tak suka melihatnya.
"Iya," jawab Al seperlunya.
"Kak Al," panggil Ilea memberi kode jika dia sudah menunggu.
"Iya." Al memahami, lalu berucap pada wanita tadi, "Maaf, saya mau makan dulu."
"Oh, iya, Dok. Silakan," balas wanita itu terlihat sempringah.
Lantas Al mendekati Ilea yang sudah berdiri di dekat rombong, siap memesan.
"Siapa?" tanya Ilea tanpa menatap wajah Al.
"Pasienku."
"Masa?" tanya Ilea seperti tak percaya.
"Iya. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Cantik!" ucap Ilea lalu memesan, "Pak, pesan oseng merconnya dua sama nasinya juga dua."
Setelah mendapatkan jawaban dari penjual, Ilea memutar tubuhnya mencari tempat duduk lesehan yang kosong.
"Nggak ada tempat duduk!" Bibir Ilea cemberut karena tempat penuh.
"Dibungkus saja. Aku ajak ke suatu tempat," sahut Al. Ilea menolehnya, seperti sedang berpikir, tetapi Al langsung menganggukkan kepala meyakinkan Ilea.
"Ya sudah deh, aku bilang dulu," ucap Ilea lantas berkata pada penjualannya untuk membungkus pesanannya tadi.
Setelah mendapatkan pesanannya, Al mengajak Ilea ke tempat yang dia mau. Lokasinya sedikit jauh dari keramaian dan sepertinya tempat itu tinggi dari tempat tinggal mereka. Terlihat lampu-lampu pemukiman dan lampu jalan dari tempat mereka sekarang. Nyenyat, tetapi tak seram dan menakutkan justru terlihat indah.
"Di mana kita, Kak Al?" tanya Ilea sebelum turun dari mobil.
Al tanpa menjawab melepas sabuk pengamannya lalu ke luar mobil. Ilea bingung, lalu dia mengikutinya. Angin semilir menerpa mereka, dingin, tetapi sejuk.
"Indah," gumam Ilea saat melihat hamparan lampu kelap-kelip di bawah sana.
Senyum mengembang di bibir Al. "Mana makannya?" tanya Al.
"Oh, iya. Sebentar aku ambil." Ilea bergegas mengambil makanannya di mobil.
Sengaja Al tak mematikan mesin mobilnya, dia juga tak mematikan lampu yang menyorot ke depan.
"Ini!" Ilea memamerkan plastik hitam berisi makanan mereka. "Kita duduk di mana?" tanya Ilea dengan wajah polos yang menggemaskan.
Tanpa menjawab Al melepas hemnya, menyisakan kaus putih polos lalu membentangkan di tanah.
"Silakan duduk," ucap Al membuat Ilea terkesima. Selalu saja Al bersikap manis tanpa dia minta. "Malah bengong, ayo duduk!" Al menarik pelan tangan Ilea supaya duduk di atas hemnya.
Hatinya terenyuh, Ilea menatap Al lekat. Ya, Allah, aku telah menyia-nyiakan pria sebaik dia. Andai ...
"Heh! Malah ngelamun! Kapan kita makannya?" Al memotong ucapan dalam hati Ilea.
"Hehehehe, iya." Ilea lekas membuka bungkusan nasinya terlebih dulu diberikan pada Al.
"Jangan banyak-banyak makan oseng merconnya, awas sampai perutmu sakit terus malam-malam ngerengek. Aku nggak akan ke kosanmu," ancam Al, padahal jika itu sampai terjadi tak mungkin sampai hati dia melakukannya. Bisa-bisa secepat kilat dia datang ke kosan Ilea.
"Iya-iya, Kak Al."
Akhirnya mereka pun menyantap makanan super pedas itu dengan pencahayaan lampu mobil, lesehan di tanah beralasakan hemnya Al, di bawah indahnya langit malam penuh bintang, berlagu suara jangkrik yang diiringi canda tawa mereka. Romantis!
#############
Jodoh pasti bertemu .... Asyeeeeek. Uhui, bentar lagi selesai ini ceritanya. Ganti cerita baru. Hehehehe 😂. Nantikan kisah Faros & Cia ya, teman-teman?
Jangan lupa, juga mampir ke cerita kolaborasiku sama dianapuspitasari24. My Baby Sitter Cute.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top