Keluarga Kecil
Lima tahun kemudian
Meskipun Ilea sekarang sibuk bekerja di kantor dan Al sibuk di rumah sakit. Namun, Devan Eleno Bandiani tetap tak kekurangan kasih sayang. Bocah berusia sekitar 4 tahun itu, super aktif. Maya dan Vina yang bergantian menjaganya sampai kualahan. Meski begitu, mereka sangat menyayangi Devan, malah terkesan memanjakannya.
"Devan, ayo makan dulu, Nak," ucap Maya berlari-lari mengejar anak kecil yang memiliki badan berisi, kulit putih, wajah tampan perpaduan Al-Ilea, dan selalu ceria.
"Kejar Devan, Oma," ledeknya pada Maya sambil berlari.
"Okay, awas kalau kamu ketangkap. Oma gelitiki," ujar Maya mengejarnya.
Anak itu tetap berlari sambil tertawa bahagia di taman belakang rumah Irwan. Taman yang tadinya hanya sekadar rerumputan hijau dan bunga di pot-pot besar, semenjak Devan pindah ke Jakarta, tempat itu disulap menjadi taman bermain mini. Ada perosotan, ayunan, dan demi menyenangkan cucunya yang hobi berenang, Irwan membuat kolam renang khusus.
"Hayooooo, ketangkap," ucap Maya mendekap tubuh Devan.
"Hahahaha," tawa Devan pecah ketika Maya menggelitiki.
Sejak kelahiran Devan, Maya maupun Vina sangat posesif pada cucu pertama mereka itu. Dulu ketika Devan masih bayi, Vina sampai rela menemani Al dan Ilea di Jogja demi menjaga Devan. Ilea sempat cuti kuliah selama satu semester sejak mau lahiran sampai Devan berusia kurang lebih lima bulan. Selama Ilea dan Al sibuk menyelesaikan pendidikannya, Vina dan Maya bekerja sama menjaga Devan. Mereka sengaja tak mencari baby sitter karena merasa cukup dengan penjagaan saat itu sampai sekarang.
"Kita makan, yuk! Sebentar lagi Mommy sama Daddy pulang," ajak Maya menggendong Devan dan mengajaknya masuk ke rumah.
Asisten rumah tangga Maya sudah menyiapkan makan untuk Devan. Sudah menjadi jadwal rutin, hampir setiap pagi Devan diantar sekolah Al dan Ilea, pulangnya dijemput Vina atau Maya sampai sore baru dijemput lagi. Kerja sama keluarga yang kompak dan Devan pun tetap nyaman tanpa ada rasa kekurangan perhatian.
"Oma, kapan Opa pulang?" tanya Devan polos sambil mengunyah makanannya.
Dia termasuk anak yang penurut, setelah puas bermain, Devan duduk anteng makan sendiri di meja makan. Maya hanya mendampinginya saja. Walaupun Devan dimanja, tetapi mereka bersepakat tetap menerapkan aturan-aturan dan melatih kedisiplinannya.
"Kalau tidak ada kerjaan lain lagi, besok sudah pulang. Memangnya kenapa?"
"Mau minta dibeliin mainan."
"Iya, habis makan kita VC Opa, ya?"
"Asyiiiiiikkkkk." Devan kegirangan, cepat-cepat dia menghabiskan makannya supaya bisa VC Irwan yang saat ini sedang di New York.
Selesai makan, sambil menunggu Al dan Ilea menjemput, Maya video call Irwan untuk Devan.
"Halo cucu Opa," seru Irwan bahagia ketika melihat wajah ganteng cucunya di layar ponsel.
"Opa, tolong beliin Devan mobil-mobilan sama robot," ucap Devan lugu tanpa basa-basi.
"Siap, Bos Kecil. Besok Opa bawakan. Seharian tadi ngapain aja?"
"Di sekolah tadi nyanyi terus diajari berhitung ...."
"Bohong, bohong, bohong," sela Qodir datang langsung menggoda keponakannya itu dan menghempaskan tubuhnya di sofa panjang.
"Uncle, nakal!" Devan cemberut melirik Qodir.
"Ayah, jangan dibeliin mainan, Devan masih ngompol kalau tidur." Tak hentinya Qodir selalu mengusili Devan.
"Nggak!" sahut Devan galak. "Devan udah pinter, nggak ngompol lagi!"sambungnya menatap Qodir seperti orang yang sebal bercampur dendam ala anak kecil.
"Hahahaha." Terdengar suara tawa Irwan di seberang. Maya yang melihat secara langsung wajah Devan pun gemas dan menciumnya.
"Sudah, sudah," lerai Maya, "kamu itu suka banget godain ponakannya. Mending sekarang kamu mandi terus siap-siap salat Magrib."
"Iya, Bun." Tanpa perintah dua kali, Qodir melaksanakannya.
Sekarang Qodir kuliah di salah satu universitas Jakarta mengambil jurusan bisnis. Sengaja dia tidak kuliah di luar negeri supaya bisa sedikit-sedikit membantu pekerjaan Ilea dan Irwan.
Video call itu berakhir setelah Devan puas mengobrol dengan kakeknya. Selang beberapa menit suara mobil berhenti di pelataran. Devan sudah sangat menghafalnya, dia berlari cepat untuk bersembunyi di balik gorden.
"Assalamualaikum," ucap Al dan Ilea saat mereka masuk ke rumah.
"Waalaikumsalam," sahut Maya dari ruang keluarga.
Sampainya di ruang keluarga, Ilea mengedarkan pandangannya. Maya memberi isyarat, melirik gorden tempat Devan bersembunyi.
"Wah, Devan mana, ya?" Ilea pura-pura mencari. "Padahal Mommy punya es krim loh."
Al mengendap-endap mendekati gorden, terdengar kikihan kecil di balik gorden.
"Hayooooo, ketangkap!" seru Al menyibak gordennya.
"Hahahaha," tawa Devan lepas. Lalu Al menggendongnya mengajak Devan duduk di sofa. Devan salah satu obat penghilang lelahnya setelah seharian bekerja.
"Mana es krimnya, Mommy," pinta Devan mengatungkan tangannya.
"Cium Mommy dulu." Ilea duduk di samping Maya, memajukan pipinya supaya dicium Devan.
Devan yang tadinya duduk di pangkuan Al langsung turun dan mencium kedua pipi Ilea. Sebagai hadiah, Ilea memberikannya es krim.
"Qodir ke mana, Bun?" tanya Al yang biasanya melihat Qodir saat menjemput Devan, kali ini tak melihatnya.
"Di kamar, lagi mandi mungkin. Soalnya dia juga baru pulang," jelas Maya sambil memerhatikan cara Devan memakan es krimnya.
Sesekali mereka dibuat tertawa dengan tingkah polos Devan. Beberapa menit setelah duduk, Al mengajak Ilea pulang.
"Ayo pulang! Sudah mau Magrib." Al berdiri lebih dulu lalu menggendong Devan yang sedang asyik makan es krim.
"Bun, makasih sudah jagain Devan, ya?" ucap Ilea tak pernah bosan kata-kata itu terucap ketika menjemput Devan di rumah Maya maupun Vina.
"Iya. Cepet pulang, jangan mampir-mampir. Mamali bocah di luar waktu Magrib." Maya mengantar mereka sampai di teras. "Eh, seragam sama tasnya ...," ucap Maya hampir lupa. "Bi, tolong ambilkan seragam, tas sama sepatu Devan," pekik Maya.
"Iya, Nyah," sahut ART dari dalam.
"Devan tadi nakal nggak, Bun?" tanya Ilea ketika mereka menunggu di teras.
"Biasa. Tadi gurunya pesan, hari Sabtu ada kegiatan di luar kelas kalau bisa orang tua harus mendampingi. Kayaknya mau jalan-jalan gitu kalau nggak salah."
"Oooh, siap, Bun. Kalau hari Sabtu aku bisa, nggak tahu kalau daddy-nya." Ilea melirik Al menanti jawabannya.
"Insya Allah, kalau kegiatannya pagi bisa. Soalnya Sabtu siang sudah ada janji sama pasien, mau TC scan."
"Ya sudah, kalian atur saja waktunya. Ingat Al, jangan terlalu sibuk. Keluarga tetap jadikan prioritas, anak dan istri tetap harus nomor satu." Maya tak pernah jera mengingatkan dan mewanti-wanti Al.
"Iya, Bun," sahut Al patuh.
"Ini, Non." ART itu memberikan perlengkapan sekolah Devan kepada Ilea.
"Terima kasih, Bi," ucap Ilea menerimanya. "Ya sudah, Bun, kami pulang dulu." Ilea mencium kedua pipi Maya. Disusul Al yang juga mencium kedua pipi bundanya.
"Ya Allah ... makan es krim sampai begitu. Oma nggak mau cium ah, belepotan begitu," ujar Maya pada Devan.
Namun, kata itu hanya di bibir saja. Meskipun pipi dan sekitar bibir penuh cokelat, tetap saja Maya mencium gemas Devan.
"Sudah, sana pulang, besok ke sini lagi, ya?" Maya melambaikan tangan mengiringi langkah Al yang menggendong Devan dan Ilea mendekati mobil.
"Iya, Oma," jawab Ilea mewakili Devan karena Devan masih sibuk menghabiskan es krimnya.
Setelah mobil Brio silver itu tak terlihat, Maya masuk ke rumah. Saat di perjalanan pulang, Ilea dan Al berencana mencari makan malam lebih dulu sebelum sampai di rumah.
"Mau makan apa, Mom?" tanya Al yang sekarang mengubah panggilan sayangnya sejak Devan lahir untuk membiasakan putranya memanggil Ilea mommy.
"Kamu pengin apa?" Bukannya menjawab, Ilea malah balik bertanya.
"Aku terserah kamu saja."
"Ya sudah, aku lagi pengin makan nasi goreng seafood."
"Okay, kita ke rumah makan biasanya, ya?"
Meskipun perekonomian keluarga kecil mereka sudah jauh lebih baik, tetapi Al dan Ilea tetap hidup sederhana. Mereka selalu mengingat susahnya ketika awal pernikahan. Al dan Ilea lebih baik menabung untuk masa depan ketimbang hidup foya-foya menuruti gaya dan gengsi.
Setelah mendapatkan apa yang dimau, mereka pulang ke rumah. Sampainya di rumah, Ilea langsung membersihkan badan Devan karena lengket dengan es krim sampai ke baju-bajunya. Sedangkan Al ke kamar langsung membersihkan diri.
Setelah segar dan rapi, mengenakan sarung dan baju koko, Al keluar dari kamar. Dia mencari Ilea di kamar Devan.
"Mom, siap-siap gih!" titah Al supaya Ilea membersihkan diri dan bersiap salat Magrib berjamaah.
"Iya, Dad," sahut Ilea setelah memakaikan celana panjang Devan.
"Ayo, Sayang, kita ke ruang salat. Kita tunggu Mommy di sana," ajak Al menggandeng tangan Devan.
Mereka lebih dulu keluar dari kamar Deva, sedangkan Ilea membereskan baju kotor dan handuk Deva yang berantakan di tempat tidur. Setelahnya, Ilea membersihkan diri. Sembari menunggu waktunya salat Magrib, Al mengajari Deva membaca iqro dan bacaan surat pendek. Pembekalan agama juga penting, tidak sekadar ilmu sosial. Kegiatan mereka sejenak berhenti saat mendengar azan Magrib. Ilea datang ke ruang salat, sudah tampak segar dan wajah berseri lantas dia mengenakan mukenanya.
Di lantai dua rumah mereka dikhususkan untuk ruang keluarga. Selain ada tiga kamar dan ruang salat, juga ada ruang khusus berkumpul sambil menonton televisi maupun bercengkrama. Al membeli rumah minimalis itu setelah satu tahun bekerja di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta. Walaupun masih menyicil utang kepada Irwan karena saat itu Al butuh biaya menyelesaikan kedokterannya, dia bisa menyisihkan sebagian penghasilan untuk membeli rumah yang nyaman bagi keluarga kecilnya. Sedangkan penghasilan Ilea dipakai jika dalam keadaan mendesak saja, sebagai tambahan jika diperlukan, lebihnya ditabung untuk masa depan Devan. Tanggung jawab utama keluarga, tetap Al yang membiayai.
***
Hari Minggu, rutinitas setelah salat subuh, Al dan Ilea mengajarkan kepada Devan agar berolahraga. Mereka lari-lari di taman dekat komplek perumahan. Setelah berolahraga, mereka membersihkan badan lalu sarapan.
"Mommy, aku nggak mau ini," ucap Devan menyingkirkan brokoli di piringnya.
"Kenapa? Biasanya Devan juga makan ini," tanya Ilea mengambil brokoli yang ada di piring Devan.
"Mau yang itu aja," tunjuk Devan pada tumis jagung manis yang dicampur sosis.
Sejak kecil, mereka membiasakan Devan makan sehat. Sayur, buah, susu, daging, air mineral, harus seimbang, makanya badan Devan berisi dan padat, tidak gemuk dan juga tidak kurus.
"Itu punya Daddy, nanti kamu nggak doyan, soalnya cuma pakai garam doang," ujar Ilea, bukannya melarang, daripada tidak dimakan.
"Sudah, kasih saja, Mom. Biar dia ngicipin dulu rasanya," ujar Al tetap tidak berubah, stay cool, dewasa, dan kalem.
"Iya." Ilea mengambilkan satu sendok ke piring Devan, saat memakan suapan pertama tidak ada komplen, berarti Devan menyukainya.
"Habisin, ya?" ujar Al pada Devan sambil menyentuk kepalanya.
"Siap, Dad." Dengan lahap Devan memakan sarapannya.
Senyum tersungging dari bibir Ilea, dia bersyukur Devan anak yang mudah diatur dan patuh kepada orang tua.
"Dad, bagaimana kalau hari ini kita main ke rumah Mama?" usul Ilea setelah mereka selesai makan.
"Boleh, usulan bagus, Mom," sambut Al menyetujui.
"Yeeeeee! Ke rumah Eyang, yeye, yeye, asyik." Devan kegirangan sampai berjingkrak.
"Tapiiiiiii, bantu Mommy cuci piring dulu," ucap Ilea walaupun sebenarnya Devan hanya merusuhi saja, Ilea tetap ingin melibatkannya dalam pekerjaan rumah. Dia ingin mengajarkan Devan mandiri, jika suatu saat jauh dari orang tua, Devan bisa melakukan pekerjaan rumah tanpa merepotkan orang lain.
"Okay, Daddy bantu." Al beranjak dari tempatnya dan langsung mengumpulkan piring yang kotor. Itu salah satu cara agar Devan juga ikut serta.
"Devan juga bantu," ucap Devan walau yang dibawa hanya piring plastik dan gelas plastiknya saja.
Di tempat pencucian piring, mereka bekerja sama. Ilea yang mencuci, Al yang mengelap, sedangkan Devan manjat di kursi pendek dan menyusun piring di rak meskipun masih dibantu Al. Setelah selesai, mereka berangkat ke rumah Ardian.
"Eyaaaaaaaang," teriak Devan ketika masuk ke rumah Ardian.
Vina dan Ardian yang tadinya sedang bersantai di depan televisi langsung berdiri menyambut Devan.
"Haaaaai, pipi bakpao," ujar Vina menangkap Devan yang berlari ke arahnya.
Saking gemasnya, Vina mencium pipi Devan sampai kempot. Al dan Ilea menyalami Ardian lalu duduk. Mereka bercengkrama siang itu sambil bercanda dengan Devan.
"Kapan nambah anak? Sudah cukup usia Devan dikasih adik," tanya Vina mengerling Ilea dan Al.
"Insya Allah, doakan saja, Ma," sahut Ilea menoleh Al yang ternyata juga memandangnya, mereka saling melempar senyum terbaik.
Jodoh rahasia Tuhan, bagaimanapun kita berusaha lari dan menjauhi jodoh kita, pastilah Tuhan memiliki jalan untuk menyatukan.
The End
#########
Setelah cerita ini selesai, saya akan mempublikasikan cerita terbaru Faros & Cia. Semoga kalian suka dan menghibur. Aamiin. Selamat menunaikan ibadah puasa, teman-teman.
Banyuwangi, 22 Mei 2019
Pukul : 07:18
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top