Cerburu Pada Orang Tak Tepat
"Kak Ali!" Gadis cantik bersurai panjang itu berlari mengejar ketua OSIS-nya.
Karena merasa namanya dipanggil, Ali pun berhenti berjalan di koridor kelas dan menoleh. Gadis itu sudah sampai di depan Ali, dengan senyum merekah, dia menyodorkan sebuah map berwarna merah.
"Apa ini?" tanya Ali mengerutkan dahi sambil menerima map itu.
"Ini undangan acara OSIS yang perlu Kakak tandatangani, nanti kalau sudah ... akan aku fotokopi."
"Oh, oke." Ali mencari pulpen, dia menyentuh saku di dadanya, tak ada, lalu menyentuh saku di celana, juga tak ada. Gadis itu peka, lantas memberikan Ali pulpen.
Sebelum menerima, Ali tersenyum sangat manis padanya, senyuman itulah yang tak sadar telah mengguncang hati Ghia.
Sebagai sekretaris OSIS, Ghia sering bertemu bahkan berbincang dengan Ali. Dari kebiasaan itu, ada ketertarikan hati Ghia padanya. Tapi, sebagai adik kelas, Ghia tak berani terlalu memperlihatkan perasaannya. Dia hanya bisa menyukai Ali dalam diam.
"Oke, sudah. Ada lagi?" tanya Ali menutup mapnya dan mengembalikan pulpen itu pada Ghia.
"Sudah, Kak. Ini dulu," jawab Ghia tersenyum manis. Saat dekat dengan Ali, jantungnya berdebar-debar cepat.
"Ehem!" Suara berdehem seseorang dari belakang Ali mengusik mereka.
Lantas mereka menoleh, Ilea bersedekap memerhatikan Ali dan Ghia yang berdiri saling berhadapan.
"Hei, baru sampai?" tanya Ali langsung menyambut Ilea dan mengelus kepalanya. Ternyata dia baru sampai di sekolah dan langsung mencari Ali.
Tangan Ali disingkirkan Ilea dari kepalanya, mata gadis itu melirik Ghia sinis sampai nyali Ghia ciut dan kepalanya merunduk. Ali yang menyadari tatapan tak bersahabat Ilea lantas merangkulnya dan mengajak pergi dari tempat itu.
"Ke kelas yuk!" ajak Ali, "Ghia, makasih, ya? Kalau sudah difotokopi minta bantuan seksi humas biar disebarkan ke siswa." Ali berpesan sebelum pergi dari hadapan Ghia.
Ghia menjawab pelan, "Iya, Kak." Mengiringi langkah Ali yang berjalan sambil merangkul bahu Ilea.
Rasanya hati Ghia sakit melihat Ali bersikap manis pada teman satu kelasnya itu.
"Kak Ali, kenapa Kakak bisa seperti itu sama Kak Ilya, sedangkan sama aku nggak?" gumam Ghia menatap nanar punggung Ali dan Ilea yang berjalan ke kelas sambil bercanda.
Karena tak tahan melihat sikap mereka, Ghia pun berpaling dan pergi ke kelasnya membawa luka di hati. Perih dan panas hati Ghia saat ini, ada rasa iri kepada Ilea yang menyarang di hatinya.
"Lo ngapain pagi-pagi sama dia?" tanya Ilea dengan logat terkesan cemburu melihat Ali bersama cewek lain.
"Kenapa? Cemburu?" Ali mengerling, menaik-turunkan kedua alisnya yang tebal untuk menggoda Ilea.
"Nggak!" elak Ilea memalingkan wajahnya.
Ali tersenyum, dia tahu dari sikap Ilea, pastilah gadis itu cemburu pada Ghia.
"Ghia cantik nggak?" Ali semakin ingin memancing rasa kesal Ilea.
Dengan cepat Ilea melepas tangan Ali yang merangkulnya. Dia menatap Ali tak suka, tetapi yang ditatap bersikap sok tenang dan tak acuh.
"Lo suka sama dia?"
"Emang kelihatan begitu, ya?"
"Ck, dasar!" Tanpa menggubris pertanyaan Ali, Ilea melangkahkan kaki lebar dan cepat-cepat masuk ke kelas.
Senyum Ali melebar, Ilea terpancing. Ali semakin yakin, jika Ilea juga menyukainya. Bergegas Ali menyusul Ilea yang sudah duduk di bangkunya. Ali dengan santai duduk di kursinya yang ada samping Ilea. Dia melirik Ilea, wajahnya kusam dan bibirnya cemberut. Ali merobek kertas kosong dibukunya, dia menulis sesuatu untuk Ilea. Setelah itu, dia letakkan di meja Ilea tanpa berucap apa pun. Ilea menerima kertas putih bergaris yang dilipat Ali sekali, sesaat dia menoleh Ali yang menyibukkan diri mempersiapkan buku pelajaran pertama. Lantas Ilea membukanya, seketika perasaan kesal Ilea musnah setelah membaca tulisan di kertas tersebut.
Dear, cuma lo yang gue suka.😉
Dari
Teman rasa pacar.
Senyum merekah di bibir merah Ilea, lalu dia menyimpan kertas itu di tengah-tengah buku pelajarannya. Mood-nya kembali naik, usaha Ali berhasil mengembalikan suasana hatinya supaya bahagia, yang tadinya rusak karena ulahnya.
Suara bel masuk pun nyaring terdengar, semua siswa yang tadinya di luar berbondong-bondong masuk ke kelas.
***
Pulang sekolah, Ali di teras menunggu Ilea yang masih di kelas sedang membantu Safridah dan Ulfha menyalin catatan pelajaran terakhir hari ini. Dia sabar duduk di depan kelas sembari memainkan ponselnya. Setelah membuka akun Instagram, Ali memosting salah satu hasil jepretannya beberapa hari lalu saat dia bermain bersama Ilea di taman.
12 suka
arga_ali.w You are my everything.
______________________
dilla_fadddd Eh, kok?.😮😮😮😮
ghiaputri30 Ingat Li dia udah ada yg punya.😉
rinartn02
@arga_ali.w wow😮😯...hati2 ada yang marah lohh😌
ulfha_u Jangan Ilea Li, udah ada yang punya. Yang lain aja wk wk
Banyak komentar yang masuk, tetapi Ali tak menghiraukannya. Dia hanya membaca tanpa ada niat ingin membalas.
Melihat Ilea ke luar kelas bersama Ulfha dan Safridah, Ali pun berdiri.
"Lama amat?" keluh Ali pada Ulfha dan Safridah.
"Namanya juga nyalin tulisan, lamalah! Per huruf ditulis ulang di buku, lo pikir bisa gitu ... sekali mata memandang tulisan, tangan langsung nyalin lima huruf?" ketus Safridah.
Ilea dan Ulfha cekikikan mendengar jawaban asal Safridah.
"Makanya, kalau guru jelasin jangan ngegosip," omel Ali.
"Gue nggak suka sama Bu Hera, kalau jelasin bikin ngantuk. Monoton ngajarnya gitu-gitu doang, nggak ada peningkatan, bikin males," ujar Safridah tak peduli.
"Terserah lo deh," sahut Ali masa bodoh tak ambil pusing dengan jawaban Safridah. "Pulang yuk!" Ali hanya mengajak Ilea.
"Heh! Jangan macam-macam lo!" gertak Ulfha saat Ali ingin meraih tangan Ilea.
"Ih, siapa yang mau macam-macam? Gue kan, ngajakin pulang, nggak ngajak dia macam-macam," bantah Ali tak memedulikan yang lain. Langsung meraih tangan Ilea dan mengajaknya berjalan.
"Gue duluan, ya? Dadah," pamit Ilea melambaikan tangan sembari menjauh dari Ulfha dan Safridah.
Mereka membalas lambaian tangan Ilea, melihat tangan Ali menggandeng Ilea, Ulfha dan Safridah langsung saling menatap dengan penuh tanda tanya.
"Apa yang lo pikirin?" tanya Safridah pada Ulfha.
"Apa pikiran lo sama kayak apa yang gue pikirin?" Ulfha menerka-nerka.
Sejenak mereka masih saling pandang lalu keduanya sama-sama menggelengkan kepala dan mengedikkan bahu.
"Tunggu waktu saja, pasti akan terjawab tanpa kita tanya," ujar Ulfha lantas merangkul Safridah mengajaknya pulang.
***
Malam tak berbintang, cuaca mendung, tetapi suasana hati Ilea tak terpengaruh dengan situasi lingkungan saat ini. Dia tetap merasa bahagia dan baik-baik saja. Tak ada masalah yang dirasakannya, dia menjalani kehidupannya saat ini sesuai dengan kata hati. Setelah mengerjakan PR, Ilea merapikan meja belajarnya sekaligus menyusun buku pelajaran yang sudah dijadwalkan untuk besok. Setelah itu dia berbaring di kasur sambil memainkan ponselnya. Aplikasi pertama yang dia buka pasti Instagram. Ada notifikasi jika Al memosting sebuah foto, Ilea pun mengecek dan langsung mengomentari.
30 suka
al_zaidan.f My world🎧.
__________________
denta_ileana_akleema Beb.
al_zaidan.f
@denta_ileana_akleema iya, Love?
denta_ileana_akleema
@al_zaidan.f acara apa?
al_zaidan.f
@denta_ileana_akleema A birthday party my friend.
denta_ileana_akleema
@al_zaidan.f You sure?
al_zaidan.f
@denta_ileana_akleema iya. Yakin, Love. Jangan curigaan begitu.
denta_ileana_akleema
@al_zaidan.f banyak cewek-cewek?
al_zaidan.f
@denta_ileana_akleema tidak terlalu. Aku akan telepon kamu.😘
ghiaputri30 Ingat jaga mata dan hati Al kalo di tempat kaya gitu.!!!
rinartn02
@denta_ileana_akleema @al_zaidan.fkalian sweet bangett😍❤️langgeng yoo
Tak berapa lama Al menelepon, Ilea berbaring miring memeluk guling dan menarik selimut sebatas pinggang. Terdengar di luar rumah air turun, sesekali suara guntur bergemuruh. Suasana tenang dan nyenyat, apalagi pencahayaan kamar Ilea temaram, dia hanya menyalakan lampu tidur.
"Halo, Beb." Ilea menjawab telepon Al.
"Sudah mau bobo?" tanya Al terdengar lesu dan suaranya berat.
Di Jakarta sekarang pukul 21.00 WIB, di Paris baru pukul 15.00 waktu setempat. Karena Jakarta lebih cepat enam jam dari Paris.
"Iya, tadi habis ngerjain PR. Kamu lagi apa, Beb? Kok suara kamu berat gitu?"
"Baru bangun tidur, hari ini nggak ada kuliah, jadi tiduran sehari ini. Males mau keluar. Gimana sekolah kamu, lancar?"
Deg!
Tentang sekolah memang lancar, tetapi tiba-tiba ada perasaan bersalah menjalar di hati Ilea. Teringat tentang Ali dan dia, Ilea merasa berdosa pada Al.
"Love? Kok diem? Sudah ngantuk, ya?" tanya Al dari seberang karena Ilea tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Hmm ... maaf, mataku berat, Beb. Ngantuk," keluh Ilea terdengar suaranya yang manja membuat Al semakin merindukannya.
"Ya sudah, kamu bobo saja. Aku mau masak, laper dari pagi belum makan."
Selalu Al yang memahami Ilea, lantas kapan Ilea memahami Al? Terkesan Ilea egois dan seenaknya saja. Apa karena Ilea masih muda, jadi dia selalu meremehkan keadaan? Entahlah, tapi Ilea melakukan semuanya mengikuti kata hati tanpa dipikir panjang akibat dari keputusannya itu.
"Iya, Beb. Pulang kapan?" Suara Ilea terdengar pelan dan sedih membuat Al tak berdaya di sana. Menahan ingin segera bertemu sang kekasih.
"Sabar, ya, Love. Seperti kesepakatan kita, tiga bulan sekali aku usahakan pulang. Satu bulan lagi, ya?"
"Lama," rengek Ilea.
Terdengar helaan napas panjang dari Al, tanpa sadar air mata Ilea mengalir dari sudut matanya sampai membasahi bantal.
"Love, ingat komitmen kita. Sementara aku fokus kuliah biar lulus cepet dan pulang ke Indonesia pun juga tepat waktu. Sambil aku ngumpulin uang dari hobiku main DJ, buat nanti melamar kamu. Setidaknya setelah kamu lulus, aku pengin kita tunangan dulu sampai bener-bener membereskan urusan kuliahku dan bisa bekerja. Sabar, ya? Aku pengin hubungan kita jelas."
Mendengar rencana jangka panjang Al, Ilea semakin tak tenang. Bagaimana dengan Ali jika Al benar-benar melamarnya? Apakah antara dia dan Ali hanya akan menjadi sekadar cerita anak SMA?
"Iya, Beb." Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Ilea.
"Ya sudah, kamu bobo, ya, Love? I love you." Sangat lembut kata-kata Al sampai mengoyak hati Ilea. Sangat terasa dari cara Al berbicara, jika dia mencintai Ilea. Namun, Ilea? Hatinya sudah terbagi dua.
"Love you too, Beb."
Panggilan pun berakhir, pikiran Ilea ke mana-mana. Karena lelah berpikir, hingga tak terasa dia terlelap.
***
"Semalam kamu teleponan sama dia, ya?" tanya Ali pelan saat mereka makan siang di kantin.
"Iya, kenapa?" Ilea melepas sedotannya setelah mendengar pertanyaan Ali tersebut.
"Gue cemburu," ucap Ali tanpa menatap Ilea, dia asyik menikmati baksonya.
"Li, kita ...."
"Nggak punya hubungan jelas dan seharusnya gue nggak cemburu kalau lo sama dia? Iya? Lo mau ngomong gitu, kan?" Ali langsung menyela ucapan Ilea sebelum dia selesai berbicara.
"Terus gue harus bagaimana?"
"Lo nggak perlu gimana-gimana, gue yang harusnya sadar diri. Memang harus seperti ini menjadi yang kedua. Harus berhati baja dan terima kesakitan," ucap Ali lantas dia berdiri meninggalkan Ilea sendiri yang masih duduk di tengah keramaian kantin.
Dari meja yang berbeda, Ghia melihat pertengkaran kecil mereka. Senyum miring terukir di bibirnya, lalu dia meninggalkan kantin mengejar Ali.
"Kak Ali!" panggil Ghia berlari mengejar Ali yang berjalan lebar menuju ruang OSIS.
Sebelum masuk ke ruang OSIS, Ali menoleh. Ghia mempercepat langkahnya agar lekas sampai di depan Ali. Setelah berdiri di depan Ali, Ghia malah salah tingkah.
"Ada apa?" tanya Ali kali ini wajahnya datar karena suasana hatinya sedang buruk.
"Itu, Kak. Proposal untuk sponsor acara sudah selesai. Apa Kak Ali mau melihatnya dulu sebelum dikirimkan ke sponsor?" Ghia selalu mencari kesempatan supaya dekat dan bersama Ali.
"Oke." Ali lebih dulu masuk ke ruang OSIS lalu diikuti Ghia.
Dari jarak jauh, Ilea melihatnya. Hatinya panas melihat Ali dekat dengan wanita lain, apakah dia cemburu?
"Kenapa seperti ini rasanya?" gumam Ilea sambil melangkah ke kelasnya.
Saat melewati ruang OSIS, Ilea sempat menoleh. Dia melihat Ali duduk di meja sedang serius membaca proposal sedangkan Ghia duduk di kursi memerhatikan ketampanannya. Dari tatapan Ghia itu, Ilea yakin bahwa dia menyukai Ali.
"Dasar ganjen!" Ilea kesal lalu bergegas ke kelas.
***
Mata pelajaran berakhir, sejak kejadian di kantin tadi, Ali maupun Ilea saling cuek dan diam. Tak ada yang mendahului menegur. Beberapa orang sudah ke luar kelas, tinggal sekitar delapan orang termasuk Ali dan Ilea di kelas.
"Pulang yuk!" ajak Safridah pada Ilea. Ulfha juga sudah menunggunya.
"Yuk!" Ilea berdiri mencangklong tasnya.
Saat ingin melangkah, tangan Ilea dicekal Ali.
"Kalian duluan aja, gue ada urusan sama Ily," kata Ali kepada Safridah dan Ulfha.
"Nggak, gue bareng kalian," ujar Ilea berusaha melepaskan cengkeraman tangan Ali di pergelangan tangannya.
"Gue butuh bicara sama lo," ucap Ali menatap tajam Ilea.
"Tapi, gue nggak mau!" Ilea menolak membalas tatapan Ali.
Perlahan Ali melepas pergelangan tangan Ilea, tak acuh dia mendahului Ali ke luar kelas bersama dua temannya. Ulfha dan Safridah diam tak mau ikut campur urusan mereka. Ali menatap nanar kepergian Ilea. Dia menghela napas dalam, harusnya tadi dia tak berucap seperti itu pada Ilea. Wajar saja jika gadis itu marah padanya, mungkin Ilea tersinggung dengan ucapannya di kantin tadi, pikir Ali. Padahal bukan itu masalah Ilea ngambek pada Ali, dia cemburu melihat Ali bersama Ghia.
***
Sampainya di rumah, perasaan Ali gelisah. Dia tak tenang jika Ilea ngambek apalagi sampai tak mengacuhkannya. Setelah mengganti seragamnya dengan pakaian santai, Ali bergegas menghubungi Ilea, tetapi tak ada jawaban darinya.
"Ke mana nih anak!" Ali uring-uringan sendiri, dia tidak bisa tenang jika belum mendengar suara Ilea.
Berulang kali Ali menelepon, tak kunjung panggilannya diterima Ilea.
Pikirannya sudah kalut, lantas dia mengganti celana pendeknya dengan celana panjang, tak lupa memakai jaket dan menyambar kunci sepeda motornya yang diletakkan di bufet kamar. Ali cepat-cepat pergi ke rumah Ilea.
Suara deru motor sport milik Ali sudah sangat dihafal Ilea. Dia yang tadinya asyik menonton acara kartun di televisi merasa terganggu. Suara bel rumah bunyi, tetapi Ilea bersikap seolah-olah tak mendengar. Asisten rumah tangga berlari kecil membukakan pintu, Ilea masih bersikap cuek.
Sampai pada akhirnya asisten itu memberitahu Ilea, "Non, ada teman, Non Ilya di ruang tamu."
"Iya, Bi. Makasih," ucapnya tak bersemangat.
Asisten itupun ke dapur membuatkan Ali dan Ilea minuman dingin karena cuaca hari ini panas.
Dengan sikap santai dan lemas, Ilea menemui Ali di ruang tamu.
"Kenapa ke sini?" tanya Ilea sok judes.
Ali berdiri, menarik pelan tangan Ilea agar duduk di sebelahnya.
"Kenapa nggak angkat telepon gue?" Bukannya menjawab pertanyaan Ilea, Ali malah bertanya.
"HP gue di kamar, gue nonton TV di bawah," jelas Ilea memalingkan wajah ke arah lain, tak menatap Ali.
"Masih marah sama gue?" Ali menggenggam kedua tangan Ilea.
Merasa tak nyaman dengan situasi itu, Ilea menarik tangannya.
"Jangan begini, ada Mama di rumah," tegur Ilea.
"Sorry," ucap Ali lalu bersandar.
"Ly!" panggil Vina di ruang tengah mencari keberadaan putrinya.
"Iya, Ma. Aku di ruang tamu," sahut Ilea agak keras.
Vina ke ruang tamu dan mengulurkan ponselnya pada Ilea sambil berkata, "Nih, Al telepon Mama. Katanya dia telepon di HP-mu, tapi nggak kamu jawab."
"HP-ku di kamar, Ma." Ilea menerima ponsel Vina.
Ali berdiri menyalami Vina dan mencium tangannya tanda menghormati orang yang lebih tua. Sedangkan Ilea ke luar rumah duduk di teras menerima telepon dari Al.
"HP-ku di kamar, Beb, tadi aku nonton TV di bawah. TV di kamar rusak, belum dibenerin," jelas Ilea samar-samar Ali mendengar.
Sementara Ilea menerima telepon, Vina menemani Ali di ruang tamu. Mereka mengobrol santai mencairkan suasana.
"Oh, gitu? Aku mau ke Indonesia, kamu pengin dibawain apa?"
"Hah?! Ini kan belum tiga bulan sejak kamu pulang itu?" Ilea terkejut karena ini belum waktunya Al kembali ke Indonesia.
"Iya, ada urusan di Indonesia. Tapi, cuma beberapa hari sih. Terus balik lagi ke sini."
"Oooh, aku nggak pengin apa-apa. Kamu selamat sampai di sini aja aku dah seneng banget. Kapan berangkatnya?"
"Besok pagi. Ya sudah, aku mau pergi ke kampus dulu. Kamu sudah makan?" tanya Al perhatian.
"Sudah, tadi pulang sekolah mampir ke KFC sama temen-temen."
"Emangnya Tante Vina nggak masak?"
"Hehehehe, masak sih."
"Loh, kok makan di luar? Jangan boros, kalau uang sakunya sisa, ditabung. Nanti kalau kamu butuh sesuatu nggak bingung cari uang."
"Iya, Beb."
"Dari dulu kalau dibilangin iya-iya aja, nggak dilakuin."
"Hehehe, kadang suka khilaf."
"Khilaf kok berulang kali. Ya sudah, Love, aku mau berangkat dulu. Aku cinta kamu, umuah."
"Hati-hati, Beb."
"Iya, Love."
Panggilan berakhir, Ilea masuk ke ruang tamu, tatapan Ali tak bersahabat.
"Sudah?" tanya Vina.
"Sudah, makasih, Ma," ucap Ilea memberikan ponselnya pada Vina.
Di meja sudah ada dua gelas minuman dingin bewarna merah dan stoples berisi kacang bawang. Ilea duduk di sebelah Vina berseberangan dengan Ali.
"Apa katanya?" tanya Vina.
"Kak Al mau pulang besok."
"Bukannya dia belum ada tiga bulan, ya?"
"Iya, katanya ada urusan."
"Oooh, ya sudah. Mama masuk dulu." Vina berdiri tak lupa menyapa Ali, "Silakan, Li, diminum sirupnya."
"Iya, Tan. Makasih," ucap Ali dengan senyuman terbaiknya.
Vina masuk ke dalam, lepas itu Ali menatap Ilea menuntut penjelasan.
"Kenapa lo natap gue begitu?" tanya Ilea tak nyaman ditatap Ali seperti itu.
"Jadi, dia mau pulang?" tanya Ali sedih. Perasaannya campur aduk, ada rasa was-was dan takut kehilangan Ilea.
"Iya," jawab Ilea menunduk.
Salahkah keadaan ini? Apa salah jika kita menyukai seseorang dan ingin bersamanya? Ali cuma ingin dekat dengan Ilea, dia tidak mau jauh darinya.
##########
Astagaaaa, bagaimana ini? Pokoe pesanku yang adil, ya, Ly. Hehehehe.
Terima kasih atas vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top