Adik Kakak Rasa Pacar
Tak sabar hati ingin segera bertemu, sehabis salat Magrib, Al merapikan diri di depan cermin. Sengaja malam ini Maya mengundang keluarga Ardian untuk makan malam di rumah. Selain merayakan keberhasilan Maya dan Vina membuka outlet cake usaha bersama sekaligus merayakan kelulusan Ilea.
Malam ini Al terlihat tampan mengenakan kemeja biru muda, celana panjang hitam, semakin memesona mengenakan kacamata baca. Tampak dewasa dan aura dokter melekat padanya. Al mengambil sesuatu dari laci nakas, dia membuka benda itu.
"Semoga kamu suka, Ly," gumam Al menutupnya lalu memasukkan ke saku celana.
Malam ini akan menjadi hari spesial yang mungkin akan jadi kenangan termanis untuk mereka. Semoga saja. Al, tampak sempringah menuruni tangga menuju ruang makan. Di sana Maya dan asisten rumah tangga sibuk menyiapkan makan malam spesial, sedangkan Qodir dan Irwan menunggu sambil bermain catur di ruang tengah.
"Bun," sapa Al menyadarkan kehadirannya.
Maya mendongak, menatap Al dari bawah hingga atas. Dia tersenyum simpul sambil mengerling.
"Wangi amat, rapi pula! Mau ketemu siapa sih? Alyssa?" Maya sengaja menggoda.
"Ah, Bunda." Al menggigit bibir bawahnya dan berlagak salah tingkah hingga menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Kikihan Maya membuat Al malu, tak ingin semakin digoda Maya, Al pun keluar menunggu kedatangan keluarga Ardian di teras.
Sampai mana?
Al mengirimkan pesan untuk Ilea.
Belum berangkat.
Tak perlu menunggu lama, pesan Al dibalas Ilea.
Loh, kok belum? Kan janjiannya pukul 19.00 WIB.
Baru juga pukul 18.20 WIB. Masih ada waktu 40 menit.
Ya kan bisa sambil jalan.
Ya Allah, jalan dari rumahku ke rumah Kak Al itu cuma makan waktu lima menit. 40 menit sisanya kebanyakan.
Apa perlu aku jemput?
Nggak usah, Kak Al tunggu saja di rumah. Sini situ saja jemput segala.
Ah, kayak nggak pernah aja! Dulu kan juga sering antar jemput kamu.
Ah, itu kan dulu. Beda sama sekarang.
Bedanya?
Yaaaa ... pokoknya beda.
Hidiiiih, aneh! Dah, ah! Aku jemput kamu!
Nggak usah.
Meskipun Ilea melarang, Al sudah tak sabar ingin melihatnya. Akhirnya Al pun masuk ke rumah mengambil kunci sepeda motornya.
"Al, kamu malah mau ke mana?" tanya Irwan.
"Mau jemput Ily, Yah."
"Ngapain dijemput? Nanti juga datang," timpal Maya yang langsung menyahut mendengar percakapan Al dan Irwan.
"Kelamaan."
Tanpa menggubris orang tuanya, Al lantas pergi mengendarai kuda besinya. Maya dan Irwan saling memandang dan melempar senyum penuh arti.
"Cinta oh cinta, bibir berkata tidak, hati tak menolak. Hmmm ... anak Ayah memang unik!" ujar Maya ditimpali tawanya yang lepas.
Irwan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Bunda aneh, ya, Yah? Yang jatuh cinta Kak Al, yang happy Bunda." Qodir berucap setengah berbisik kepada Irwan.
"Ssssst, tahu apa kamu tentang cinta. Masih kecil," tukas Irwan tersenyum dan mengacak rambut Qodir.
Sampainya Al di pelataran rumah Ardian, dia memarkirkan motor. Al turun dari sepeda motor, melangkah ke teras rumah. Sampai di depan pintu, dia memencet bel.
Ting tong ....
Terdengar langkah kaki dari dalam mendekati pintu, suara kunci diputar, wanita cantik yang mengenakan dress hitam selutut dan lengan panjang tersenyum manis.
"Al," ucapnya bahagia.
Mendengar Vina menyebut nama Al, Ilea yang tadinya sedang menunggu Ardian di ruang tengah bergegas ke ruang tamu. Jantungnya berdebar-debar seperti saat pertama kali jatuh cinta kepada Al. Senyum merekah manis di bibir merahnya.
"Ayo, masuk dulu Al." Vina menggandeng lengan Al ingin mengajaknya masuk ke ruang tamu. Namun, saat melihat Ilea berdiri di belakang Vina, Al berhenti di ambang pintu.
Tatapan mereka terkunci, bibir mereka sama-sama tersenyum manis. Lama dipandang Al, Ilea malu lalu bersembunyi di balik tubuh Vina.
"Ah, kamu, Ly. Pakai malu segala!" cibir Vina menarik pelan tangan Ilea supaya tak bersembunyi.
"Maaaamaaaaa ...," rengek Ilea manja seperti suara anak kecil.
Senyuman di bibir Al tak pudar, apalagi melihat tingkah Ilea yang malu-malu semakin membuatnya menggemaskan dan imut.
"Tante, saya mau jemput Ily," ucap Al tak lepas menatap Ilea.
"Ya sudah, kamu berangkat dulu sama Al. Nanti Mama sama Papa nyusul."
"Iya, Ma."
"Kalau gitu, kami duluan, ya, Tan," ucap Al sempringah.
"Iya. Sampai ketemu di rumahmu. Tante nunggu Om dulu, masih siap-siap. Tadi Om pulang ngantor terlambat, kena macet di jalan. Magrib baru sampai rumah."
"Iya, Tan. Nggak apa-apa, saya sama Ily duluan, ya? Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah Al dan Ilea ke luar rumah, Vina menutup pintunya. Ilea mengenakan sandal flat bertali, saat dia kesulitan memakainya, Al berlutut membantu Ilea menyampul tali sendal itu. Terperangah, sontak tubuh Ilea terasa kaku. Meskipun itu bukan hal pertama Al lakukan, tetapi kali ini Al melakukannya setelah mereka putus.
"Kak Al ...," lirih Ilea tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Setelah sendal yang dikenakan Ilea terasa nyaman, Al menegakkan tubuhnya. Dia tersenyum sangat manis dan mengelus kepala Ilea. Hal manis yang sangat Ilea rindukan, kehangatan sikap Al tak dapat tergantikan. Al memerhatikan penampilan Ilea dari atas sampai bawah. Dress biru muda senada dengan kemeja Al, padahal mereka tidak janjian. Rambut sebahunya digerai, tetapi bagi Al masih ada yang kurang.
"Kak Al, kenapa sih lihatinnya begitu?" tanya Ilea juga memerhatikan penampilannya.
"Cantik sih, tapi kayaknya masih ada yang kurang," ucap Al memasukkan kedua tangannya di saku celana dan masih setia memerhatikan Ilea.
"Apa?" Ilea bingung, dia memutar tubuhnya, perasaannya sudah sempurna dandanannya malam ini.
"Ini yang kurang." Al menunjuk leher Ilea yang terlihat kosong. Model dress Ilea memang mengekspose lehernya.
"Oooh, iya. Aku lupa, harusnya aku pakai kalung biar nggak terlihat kosong begini. Bentar, aku ambil dulu, Kak."
Saat Ilea memutar tubuhnya ingin meraih gagang pintu, Al mencegah pergelangan tangannya, "Nggak usah."
Dengan cepat Ilea menoleh dan gesit tangan Al di depan wajah Ilea memegang kalung mas putih berliontin hati bermata satu menjuntai. Mulut Ilea menganga, speechless, Al memasangkan kalung itu di leher Ilea. Semerbak aroma parfum Al yang khas menusuk indera penciuman, itu sangat dirindukan Ilea. Tenang, nyaman, posisi Al seperti memeluk Ilea, andai tak gengsi, Ilea ingin sekali memeluk tubuh Al seperti dulu lagi.
"Sempurna!" ucap Al tersenyum setelah mengaitkan pengait kalung tersebut di leher Ilea.
Jemari lentik Ilea meraba kalung yang menghiasi lehernya. Cocok dipakai Ilea!
"Kamu suka?" tanya Al dengan senyuman yang mengobrak-abrik hati Ilea lagi.
Mata berbinar sampai berkaca-kaca, bibir tipis Ilea tersenyum dan dia mengangguk. "Iya, bagus, Kak Al. Aku suka."
"Alhamdulillah, itu hadiah dariku karena kamu sudah berusaha baik dan lulus dengan hasil yang memuaskan." Al mengelus kepala Ilea lembut.
"Makasih, Kak Al," ucap Ilea bahagia.
"Yuk!" Al menarik pelan tangan Ilea, mengajaknya menghampiri motor.
"Aku kan pakai rok, mana bisa naik motor begini? Mana tinggi lagi!"
"Hahahaha, makanya tumbuh itu ke atas, jangan ke samping."
"Iiiiiih." Ilea mencubit lengan berotot Al.
"Kamu cubit rasanya kayak digigit semut."
"Ih, nyebelin!" Sambil senyum-senyum tak jelas, Ilea mendorong tubuh Al yang tinggi dan jangkung itu. Tak sedikit pun goyah tubuh Al didorong Ilea yang mungil.
"Ya sudah, kita jalan kaki saja."
"Motornya?"
"Tinggal di sini, nanti aku ambil sekalian antar kamu pulang."
"Halah, bilang aja pengin sama aku terus, kan?" Ilea mesem sambil menjawil pipi Al yang kenyal.
"Ih, PD kamu," sangkal Al padahal sebenarnya bener begitu.
"Naik motor aja, cape jalan, hehehehe."
"Ayuk!" ajak Al menunggangi kuda besinya.
Susah payah Ilea naik ke boncengan karena kakinya yang pendek sedangkan motor Al tinggi. Namun, Ilea nyaman bisa boncengan lagi sama Al.
"Sudah?" tanya Al.
"Sudah," jawab Ilea setelah duduk nyaman di boncengan.
"Turun kalau sudah," canda Al.
"Aaaaaaaaaaaa ... belum sampai ...." Ilea merengek manja seperti anak kecil. Al terbahak, lalu menarik gasnya.
Suasana makan malam terasa hangat, canda dan tawa menghiasi ruang makan rumah Irwan. Gosip ala Vina dan Maya semakin membuat seru, godaan demi godaan kepada Qodir membuat si bontot merengek meminta pembelaan sang bunda dan ayah. Apalagi saat keluarga menyudutkan Al dan Ilea, mereka mati kutu tak dapat berkutik.
"Rencana Ily mau lanjut kuliah di mana?" tanya Irwan saat keadaan sejenak tenang dan berubah santai sambil menikmati makanan yang dihidangkan malam itu.
"Insya Allah penginnya di UGM Jogjakarta, Om," jawab Ilea melirik orang tuanya yang melempar senyum padanya.
"Ambil jurusan apa?" Irwan kembali bertanya.
"Fakultas ekonomi dan bisnis ambil yang manajemen, Om."
Dari obrolan itu, Al menyimak sambil menyantap makanannya.
"Wah, boleh juga ini. Nanti kalau sudah lulus bisa melanjutkan bisnis papamu, ya? Nanti kita kerja sama," tukas Irwan menyambut senang dengan rencana Ilea itu.
"Iya, Om," sahut Ilea tersenyum malu-malu.
"Berarti nggak jadi ambil musik dong?" sela Al teringat rencana Ilea dulu yang ingin kuliah mengambil jurusan musik.
"Mmm ... kalau musik bisa sambil kursus, Kak Al. Tapi, manajemen sepertinya lebih aku butuhkan untuk melanjutkan usaha Papa nanti. Jadi, hobi musik aku dapat, ilmu bisnis pun aku juga dapatkan."
Senyum puas tergambar di bibir Vina dan Ardian. Perjalanan hidup dan masalah yang dilalui Ilea sedikit demi sedikit mengubah cara berpikirnya menjadi lebih dewasa.
"Suka sama jalan pikiranmu sekarang. Kamu sudah punya rencana untuk masa depanmu," puji Al bangga.
"Nanti berarti kamu di Jogja sendiri dong, Ly?" tanya Maya mengkhawatirkan Ilea.
"Iya, Bun. Tapi kata Mama sama Papa, nanti seminggu sekali mereka akan datang ke Jogja. Jadi, tidak masalah."
"Al, kapan sih kamu selesai kuliah dan praktek koas?" tanya Maya.
"Sabar, Bun. Masih lama, sekitar 3 semester lagi."
"Nanti ambil di Indonesia saja, ya? Cari rumah sakit atau klinik di Jogja, biar bisa dekat sama Ily. Jadi, dia ada yang ngawasin," pinta Maya berharap Al mau.
"Nggak janji, Bun. Masih lama juga sih, belum kepikiran sampai di situ. Ily sudah dewasa, dia juga bisa mandiri kok. Iya, kan?" ujar Al mengusap punggung Ilea.
"Iya, Kak," jawab Ilea seperti ada sesuatu yang tak rela ketika Al menjawab seperti itu.
Masa depan adalah rahasia Tuhan, kita tak tahu apa yang akan terjadi. Manusia hanya bisa berencana, tetapi Tuhan yang menentukan segalanya. Kita sebagai hamba hanya dapat menjalankan peran sesuai porsi masing-masing yang sudah ditetapkan-Nya.
##########
Selamat hari Minggu. Kalian sibuk apa nih?
Terima kasih sudah menunggu dan memberikan vote di cerita ini. Love you all. 😘😘😘😘
Selamat beraktivitas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top