Kristal Takdir

“Dua meteorit telah jatuh mengguncang Pulau Lewis dini hari tadi. Badan Antariksa Eropa mengatakan bahwa fenomena ini terjadi secara tiba-tiba karena tak terdeteksi oleh satelit meteorologi. Dua keping batu berukuran sekitar 35 dan 60 sentimeter tersebut baru saja diamankan tim ahli untuk dianalisa lebih lanjut. Beruntung, tak ada kerugian yang signifikan ataupun korban jiwa atas kejadian ini. Kita akan menunggu hasil penelitian dari tim.

“Karina Eloise Gwatt dan kru dari Lewis, Skotlandia, melaporkan.”

Perempuan itu bertahan pada posisinya sampai staf kamera dan audio sudah benar-benar mematikan perangkat mereka. “Kerja bagus, Kar,”

Karina, 28 tahun, seorang broadcaster stasiun berita nasional dari London yang sedang ditugaskan untuk meliput berita langsung di lokasi meteor jatuh bersama tiga rekannya.

“Kalian juga luar biasa,” balasnya, ikut mengepak perangkat keras mereka ke dalam tas dengan hati-hati.

“Tapi Rai sepertinya belum selesai,” Mereka bertiga kompak menengok staf fotografi di seberang sana yang masih sibuk mendokumentasikan lokasi.

Karina pun memilih untuk menyusul Raimond sambil melihat-lihat keadaan lokasi pasca kejadian. Ketika berjalan melewati salah satu titik jatuh meteorit, matanya menangkap sebuah cahaya yang berkelap-kelip, seperti ada serpihan kaca yang memantulkan sinar terik matahari di antara tumpukan pasir dan bebatuan.

Ia mendekati sumber cahaya itu dan menemukan sesuatu yang berkilau, mirip batu berlian tapi warnanya bergradasi merah, ungu, dan biru. Sangat indah.

Apakah itu juga bagian dari meteorit? Pikirnya.

Tepat saat tangan Karina menyentuh benda tersebut, seberkas cahaya putih terang tiba-tiba menyilaukan mata bagai petir di siang bolong. Kedua telinganya berdenging keras. Ia reflek berjongkok menyembunyikan kepalanya dalam lengan. Detak jantungnya menderu sangat kencang seolah akan melompat keluar.

Itu terjadi beberapa saat lamanya hingga telinganya tak lagi mendengar apapun.

Senyap.

“DEMI SATURNUS!”

Karina segera menengadah saat mendengar pekikan aneh itu dan mendapati dirinya tak lagi berada di tengah tanah lapang terbuka melainkan di sebuah tempat gelap gulita. Hanya ada dirinya dan seorang pria tinggi menggunakan jubah putih ke-emas-an, tubuhnya memancarkan cahaya seperti aura.

“K-kau siapa? Raimond!? Max? Fred!” Dengan susah payah Karina mengeluarkan suara, memanggil rekannya satu per satu tetapi yang ia lihat hanyalah kegelapan tak berujung.

“Di mana timku? Apa aku sudah mati? Lantas, kau malaikat maut? Kita sedang menuju Tuhan?” Keringat dinginnya mulai mengucur, ketakutan. Ia sama sekali belum siap mati.

“Makhluk Bumi?” Pria itu mendekatkan wajahnya pada Karina, mengamati perempuan itu lekat-lekat, terlalu dekat hingga Karina harus memundurkan badannya. Ia bisa melihat detail wajah pria itu. Rambut putih dan cukup panjang, kulit pucat, tak ada rambut wajah, lensa matanya berwarna biru gelap dan lebih besar dari ukuran manusia pada umumnya. Meski begitu, ia terlihat gagah.

“Benar, kau makhluk Bumi. Bagaimana kau bisa ke sini?” tanya pria itu akhirnya dengan bahasa ‘normal’ yang Karina tahu, tapi perempuan itu masih mengernyit kebingungan.

“Apa maksudmu? Kau bukan malaikat maut? Lalu di mana aku?” Karina mengamati sekitarnya tapi sekali lagi ia tak bisa melihat apapun kecuali pria itu dan sesuatu di tangannya. Batu yang ia temukan ternyata masih ada di genggamannya sejak tadi, bersinar lebih terang dari sebelumnya.

“TIDAK MUNGKIN!”

Karina tersentak mendengar teriakan pria itu tiba-tiba. “KENAPA KRISTAL TAKDIR ADA PADAMU, MAKHLUK BUMI?”

“I-Ini? Aku temukan di tempat meteor jatuh tadi, lalu entah kenapa aku sudah di sini. Tapi pertama-tama, bisakah kau jelaskan padaku ini di mana dan kau siapa?” Saat pria itu hendak mengambil kristal dari tangan Karina, perempuan itu segera menarik kembali genggamannya.

“Kau–” bukannya menjelaskan, pria itu justru menarik lengan Karina, “ikutlah,”

“Kemana lagi? Jika belum mati, tolong aku untuk pulang,”

“Bertemu Tetua kami. Lebih baik dengar penjelasan darinya,” Tanpa memedulikan perkataan Karina, pria itu kembali menarik tangannya dan menuntun di depan. Bagi wanita itu, mereka seperti berjalan di tempat karena tak ada apapun selain kegelapan.

“Namaku Mauve. Kau tak perlu takut, aku tidak jahat. Kau mungkin akan kembali ke tempatmu setelah mengembalikan kristal takdir milikku,” Pria bernama Mauve itu melirik batu kristal di tangan Karina.

Mereka terus berjalan sampai setitik cahaya dari kejauhan perlahan mendekat. Mereka tidak berjalan di tempat seperti yang Karina pikir.

“Oh. Ada tamu, ya,” Cahaya itu rupanya seseorang seperti Mauve, tetapi perawakannya tampak lebih tua dan tegas, ia memakai tudung dari jubah yang lebih banyak aksen ke-emas-annya dibanding milik Mauve.

“Dia mahkluk Bumi yang menemukan kristal takdir, Tetua.”

“Suatu kehormatan bertemu anak Bumi. Jangan takut, nak. Tenanglah. Kegelapan yang kau lihat itu karena kau bukan bagian dari klan Bintang. Tempat ini bisa membutakanmu jika kau melihat sinarnya,” ucap sang Tetua, mengetahui batin Karina yang tak berkutik sejak ia melihatnya.

“Tempat kami memproduksi cahayanya sendiri dan kami mendapat energi dari cahaya itu. Namun lama kelamaan, tempat kami akan berhenti membuat cahaya dan meledak, mengeluarkan kristal dari intinya untuk bekal energi seluruh warga klan saat bermigrasi ke tempat baru dalam rasi. Itulah yang terjadi pada tempat kami yang serpihannya sampai ke Bumi. Dan Mauve tak mendapatkan kristalnya,” jelas Tetua diikuti anggukan dari Mauve.

“Kalian penghuni meteor yang jatuh tadi? Tapi bagaimana kalian bisa tahu tentang Bumi, bahkan bahasanya?” tanya Karina berusaha mencerna penjelasan Tetua.

“Tempat kami yang kau sebut meteor itu adalah Bintang. Bumi dan seluruh isinya menjadi pelajaran utama makhluk lain di semesta karena kesempurnaannya,” Tetua diam sejenak, menatap Karina, Mauve, dan kristal takdir di tangan Karina.

“Oh, sekarang kita tahu jawabannya. Mauve bertahan selama ini rupanya karena ia mempunyai kristal cinta dan kau,”

“APA?” desis Karina dan Mauve bersamaan.

“Umumnya, kristal takdir selalu berwarna hijau. Berarti kesejahteraan. Tetapi kau mendapatkan tiga warna sekaligus. Merah, berarti pengorbanan untuk anak Bumi. Biru, pengorbanan anak kami,” Tetua menatap Mauve penuh sarat. “Dan ungu, pengorbanan cinta keduanya. Kalian bisa kembali ke tempat masing-masing tapi takkan pernah mendapatkan cinta abadi di sana karena kalian sudah berjodoh dalam kristal takdir. Itu mutlak.”

“Apakah ini pernah terjadi sebelumnya, Tetua?” tanya Mauve, terdengar tenang. Karina sebaliknya, ia terlalu syok untuk mengeluarkan sepatah kata pun.

“Hal ini hampir mustahil. Hanya pernah terjadi sekali sejak berjuta tahun lalu,” Mendengar itu, Karina menelan ludah. Ia masih belum bisa mencerna semuanya, bagaimana ia tiba-tiba di sana dan berjodoh dengan 'alien'? Namun, semua terasa sangat nyata untuk berpikir dirinya sedang bermimpi.

“Tapi kenapa aku?” Suara Karina bergetar. Mauve dan Tetua saling tatap.

“Itu semua sudah ditentukan dalam kristal takdir, Nak. Kau dan Mauve. Plihannya hanya ditentukan oleh kalian berdua. Tidak ada satupun yang berhak ikut campur. Maka tentukanlah dengan bijak.” Tetua menatap Karina dan Mauve bergantian, lalu perlahan menghilang dalam kegelapan.

Tersisa mereka berdua kembali.

“Ini mimpi, kan? Tolong tampar aku,”

“Bukan,” Mauve menghadap perempuan di sampingnya yang sedang menunduk, “aku mengerti kau takkan mau melakukan ini tapi kita harus tetap memutuskan. Aku tidak masalah jika harus berkorban ke Bumi,” Pria itu mengangkat wajah Karina.

“Lalu, setelah itu apa? Bagaimana bisa hidup dengan makhluk asing yang tidak kau kenal?” Karina mulai menangis.

“Aku Mauve. Kau?”

“Lagipula berjodoh dengan makhluk dari dunia lain.. itu tidak masuk–”

“Kau siapa?”

Karina berhenti terisak. Pria itu lagi-lagi mengabaikan perkataannya.

“Karina.”

“Sekarang kita sudah saling mengenal,” cetus Mauve dengan polosnya, membuat perempuan itu sedikit melongo.

“Aku akan mengikuti apapun keputusanmu.” Hati Karina mencelos saat Mauve tersenyum. Perasaannya berkecamuk. Keheningan hinggap cukup lama sampai akhirnya Karina membulatkan pilihan.

“Daripada mengorbankan diri dan tersakiti satu sama lain pada akhirnya, bukankah lebih baik mengorbankan cinta yang tak nyata ini? Lagipula cinta itu bukan tentang harus selalu bersama tetapi juga merelakannya,” Setelah mengatakan itu, Karina kuatir Mauve tidak mengerti karena merasa perkataannya cukup berbelit.

“Baiklah,” Namun di luar dugaan, Mauve justru tersenyum dan mengangguk. Pria itu memegang kedua tangan Karina.

“Maafkan aku,” Karina dengan isakannya membalas tatapan Mauve.

“Kau cantik, Karina,”

Itu kali pertama Mauve memanggil namanya dan berhasil membuat jantungnya berdebar. “Ingatlah aku di sini setiap kau melihat kristalmu nanti.”

Karina mengangguk meskipun tidak sepenuhnya mengerti maksud perkataan Mauve.

“Mari pejamkan mata dan katakan keputusanmu,”

Mauve menutup matanya lalu diikuti Karina.

“Sampai jumpa. Jaga dirimu.”

---

Suara denyut dari monitor tanda vital ICU mengisi ruangan di mana seorang wanita baru saja tersadar dari koma. Perlu beberapa menit untuk penglihatannya kembali pulih dari keburaman. Ia sendiri tidak ingat kenapa dan berapa lama ia terbaring di ranjang rumah sakit itu. Tidak ada siapa-siapa di ruangan tapi ia melihat buket bunga, buah-buahan dan sebuah kotak perhiasan di atas nakas ranjangnya.

Sebuah cincin dengan mata berlian bewarna ungu menyilaukan matanya saat membuka kotak itu. Sekelebat bayangan tiba-tiba berkecamuk dalam kepalanya.

Kalian berjodoh dalam kristal takdir. Kau cantik, Karina. Ingatlah aku. Namaku Mauve.

Air matanya jatuh begitu saja. Ternyata semuanya benar bukan mimpi. Cintanya ada di dunia lain. Di suatu tempat yang bersinar di galaksi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top