Gas Aja Trobos!

Tiga orang pemuda tengah berkumpul di sebuah rumah kecil pojokan gang yang mereka sebut sebagai basecamp. Tiga pemuda yang sudah berteman sejak masih belajar telungkup, hingga saat ini mereka belajar jatuh cinta, tepatnya salah dua dari mereka sedang belajar jatuh cinta.

Rave Arnando, Florain Varsha, dan Zean Elthanin, dari ketiganya, hanya Zean yang sudah berpengalaman masalah cinta, sementara Rave dan Rain, keduanya masih jomblo sejak lahir.

“Tapi akhir-akhir ini, muka lo sumringah mulu, Rave. Kayak yang lagi jatuh cinta,” ucap Zean melihat perubahan salah satu sahabatnya.

“Tapi gue gak yakin, Ze. Dia seharian di kamar, main game, gak ngapa-ngapain.”

“Iya, sih. Tapi, lo liat sendiri ‘kan, Rain. Rave itu akhir-akhir ini beda.”

“Beda apanya?” Rave yang sejak tadi mendengarkan ucapan kedua sahabatnya itu akhirnya membuka suara. “Perasaan sama, enggak ada yang beda. Idung satu, mulut satu, telinga dua, punya kaki plus tangan. Sama kaya kalian.”

“Bukan itu!” Zean yang kesal melempar bantal sofa yang sejak tadi ada di dekatnya.

“Mau ke mana, Ze?” tanya Rave melihat Zean yang bangkit dari tempatnya duduk.

“Apel, mumpung Kak Chila di rumah sendirian.”

“HEH!”

Zean berlari menghindari lemparan bantal sofa dari Rave dan Rain.

Setelah Zean pergi, kedua remaja yang tersisa di dalam basecamp itu sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Rain yang seorang wibu tengah menonton anime kesukaannya. Sementara Rave, tengah melamun sambil senyum-senyum sendiri.

Ya, benar kata Zean. Akhir-akhir ini Rave seperti seorang yang sedang jatuh cinta. Melamun, senyum-senyum sendiri, kadang juga ngereog tanpa sadar kalau Zean dan Rain memperhatikannya.

“MAMI YOR CANTIK BANGET ASTAGA!” Seruan Rain membuat Rave terlonjak kaget. Ia reflek melemparkan botol plastik bekas minuman ke arah sahabatnya.

“Bisa, gak, sih lo jangan teriak-teriak. Ganggu gue lagi membayangkan masa depan bersama Maisha.”

Rain mengerutkan dahi, sependek yang ia ingat, tidak ada teman perempuan mereka yang bernama Maisha, juga ini untuk pertama kalinya seorang Rave menyebutkan nama seorang gadis.

“Maisha saha?”

Rave terlihat gelagapan, kekagetannya tadi membuatnya menyebutkan satu sosok yang membuatnya tergila-gila hingga saat ini.

“E–eh, emm, itu….”

Rain memicingkan matanya, ia lempar ponsel yang sedang memutar anime yang tengah ia tonton ke sofa samping lalu mendekati Rave.

“Lo mau apa? Mundur, Rain!”

“Tolong jelaskan siapa itu Maisha!” Napas Rain terasa di wajah Rave karena jarak mereka yang hanya beberapa senti saja.

Terdengar suara kantong kresek yang terjatuh dari arah pintu basecamp

“Astagfirullah, apa yang sedang kalian lakukan!” Rave yang pertama kali tersadar langsung mendorong keras wajah Rain hingga kepala sahabatnya itu terantuk ke kaki sofa.

“Anjir Rave, sakit bego!”

“Lo ngapain deket-deket gue. Serem tau, gak!”

“Kalian, ditinggal sebentar udah mesum aja. Apalagi ditinggal lama. Nikah kali kalian.”

“Najis!” seru Rave dan Rain bersamaan.

“Gue masih normal, ya!” sangkal Rave mendengar penuturan Zean.

“Normal kok enggak pernah keliatan deket sama cewek. Atau jangan-jangan….” Zean memasang ekspresi kaget yang dibuat-buat.

“Jangan-jangan apa?”

“Lo sukanya sama Rain, jadi sampai saat ini lo masih. Jomblo!”

“Gue masih normal, ya. Kalau pun gue jadi cewek, males banget pacaran sama orang no life kayak Rave!”

“Orang normal mana yang sukanya sama yang gepeng-gepeng!”

“Loh kok menyerang!”

Perdebatan ketiganya terus berlanjut, hingga Rain mengingat sesuatu yang ingin ia pastikan kepada Rave.

“Kita sudahi perdebatan tidak bermutu ini. Ada yang mau gue tanyain ke lo!” ucap Rain sambil menunjuk wajah Rave. “Siapa itu Maisha!”

Maisha and the Bear,” jawab Rave sekenanya.

“Gue serius, ege!” Rain yang kesal melempar tutup botol yang tepat mengenai dahi Rave.

“Iya, iya. Galak amat punya temen, herman!” Rave bangkit dari posisinya. “Ayo, ikut gue!”

“Ke mana?” tanya Zean dan Rain bersamaan.

Rave tidak menjawab, ia hanya keluar dari basecamp lalu berjalan menuju rumahnya, Zean dan Rain yang penasaran akhirnya mengekori Rave dari belakang.

Kini ketiganya sudah masuk ke dalam kamar Rave. Rave lalu mendekati konsol game yang menemani kesehariannya jika sedang tidak bersama kedua sahabatnya. Ia lalu mengeluarkan satu kaset tua yang ia dapatkan dari toko kaset beberapa bulan yang lalu.

“Sini, pegang nih. Biasanya gue ke sana sendiri belom pernah sama orang lain. Semoga aja kalian bisa ke sana.”

Rain dan Zean yang tidak paham pun hanya bisa saling bertatapan, keduanya mengikuti perintah Rave untuk memegang stick konsol yang sudah tersambung.

Layar televisi langsung menampilkan suasana dalam permainan. Rave terlihat sedang membuka sebuah peta, dan memilih titik di mana tempat mereka akan masuk ke dunia game tersebut.

Entah apa yang ditekan oleh Rave pada stick konsolnya, tubuh ketiganya tiba-tiba tersedot ke dalam game.

Srak … Srak … Srak

Bugh!

“Aw– aduh, aish!”

“Zean bego, berat!” Rain yang bertubuh paling kecil mendapat kesialan jatuh paling awal dan lalu tertimpa oleh kedua temannya.

Ketiganya bangkit dari posisi terjatuh mereka, ringisan masih terdengar dari mulut ketiganya. Luka-luka gores dari ranting-ranting pohon sebelum mereka terjatuh tadi terasa sangat perih.

Ketiganya lalu berjalan keluar dari hutan. Rain dan Zean takjub dengan suasana yang baru pertama kali ia lihat ini. Dunia game yang sangatlah indah, pedesaan yang asri, juga rumah-rumah yang tertata rapi benar-benar dunia yang selalu mereka lihat dalam game.

Rave terus berjalan, menghiraukan kedua sahabatnya yang masih planga-plongo dengan dunia yang baru saja mereka singgahi.

“Maicha!” Rave memanggil nama seorang gadis dengan nada sok imut yang tentu saja membuat Rain juga Zean ingin muntah mendengarnya.

Seorang gadis cantik, tubuh ideal, rambut hitam terurai lurus, dengan mengenakan rok panjang dan kaos putih lengan lengan panjang menoleh saat ia merasa namanya dipanggil. Senyum manis yang tampak ditahan tidak bisa menutupi rona merah di wajahnya.

“Rave!” Gadis yang dipanggil Maicha oleh Rave tadi berlari ke arah pemuda itu. Nama gadis itu adalah Maisha, gadis yang selama ini selalu ada di dalam lamunan Rave.

“Maisha rindu Rave. Rave sudah setahun tidak berkunjung ke rumah Maisha. Apakah Rave tidak merindukan Maisha?” Perbedaan waktu dunia asli dan dunia game membuat pertemuan mereka terasa sangat lama. Padahal, Rave baru seminggu yang lalu berkunjung ke tempat Maisha.

“Rave juga rindu Maicha. Maafkan Rave yang baru datang kembali ke sini.”

“Tidak apa, Rave.” Maisha menggelengkan kepalanya lalu tersenyum. Arah pandang Maisha yang awalnya menatap Rave, kini beralih ke arah belakang pemuda itu. “Mereka siapa, Rave?”

Rave menolehkan kepalanya, ia baru ingat, kalau saat ini ia tidak datang sendirian, tetapi bersama kedua sahabatnya.

“Oh iya, kenalkan. Teman-teman Rave. Yang pendek itu Rain. Dan yang jelek itu Zean.” Jikalau saja tidak sedang berada di hadapan gadis cantik, Rain dan Zean sudah pasti menghajar sahabatnya itu.

“Hai pendek. Aku Maisha.”

“Rain.”

“Hai jelek. Aku Maisha.”

“Zean.”

Zean dan Rain kembali saling bertatapan setelah perkenalan dengan Maisha.

“Untung cantik, kalau enggak gua karungin, terus buang ke rawa-rawa,” bisik Rain pada Zean yang langsung disetujui oleh sahabatnya itu.

“Ayo ke rumah Maisha!” ajak Maisha sebelum menarik tangan Rave membuat Rave merintih kesakitan.

Melihat luka gores di sekujur lengan dan telapak Rave membuat Maisha panik. “Tangan Rave kenapa?”

Rave hanya bisa menggaruk tengkuknya, ia salah memilih tempat pendaratan dan membuatnya terluka seperti saat ini.

Menyadari itu, Maisha melirik ke arah Abel. Mendapati luka Zean dan Rain yang sama banyaknya dengan lengan Rave.

Maisha mengecup lembut punggung tangan Rave, “Yuk, Maisha obati.”

Rave berjalan angkuh menuju rumah Maisha, menggoda kedua temannya yang masih tidak percaya ada di dunia lain.

Setibanya di rumah milik Maisha. Ketiganya langsung dipersilahkan duduk. Sementara Maisha berjalan menuju ruang lain di dalam rumahnya, sepertinya ia sedang mengambil obat-obatan untuk mengobati luka Rave.

“Gimana. Cantikkan?” tanya Rave sambil memainkan kedua alisnya.

Rain dan Zean yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa terdiam dan saling bertatapan. Iya cantik, tapi tidak nyata!

Tidak lama kemudian Maisha kembali lalu duduk di sebelah Rave.

“AW!” ringis Rave saat lengannya diobati oleh Maisha.

Setelah drama panjang akhirnya luka-luka Rave selesai diobati. Tapi tidak dengan kedua sahabatnya, Rain dan Zean hanya bisa menatap iri kemesraan antara Maisha dan Rave.

Berjam-jam berlalu, setelah selesai dengan rindunya. Rave ijin pamit untuk kembali ke dunianya.

~~~

Hari demi hari berlalu dari. Rave masih sama gilanya seperti kemarin, senyum-senyum sendiri, bahkan lebih gila karena pemuda itu secara random memberikan Maisha sebuah ponsel. Agar bisa berkomunikasi katanya.

Anehnya lagi, ponsel yang diberikan oleh Rave berjalan normal dan bisa menjadi alat komunikasi keduanya. Hal itu tentu membuat kedua sahabat Rave tidak habis pikir. Mau dibilang halu, tapi mereka juga sudah pernah menginjakkan kaki di dunia Maisha, mau dibilang nyata, tapi itu hanyalah dunia game.

“Kalau gue lamar Maisha, dia mau enggak ya?” tanya Rave tiba-tiba.

“Sadar, Bro. Kalian itu beda dunia!”

“Bener kata Rain. Ibarat kata nih. Beda agama aja susah, apalagi beda dunia!”

“Persetan dengan beda dunia, yang penting cintaku pada Maisha sampai mati. Gas aja trobos!:”


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top