Berharap Satu Dunia
Reno duduk di hamparan rumput berwarna hijau. Dia menarik napas sehingga semerbak aroma rumput masuk ke hidungnya, setelah dadanya agak sesak dia menghembuskan napasnya. Reno melakukannya berulang kali sampai sosok perempuan dengan baju kelabu menghampirinya.
"Datang lagi?" tanya perempuan itu dengan suara lembut. Reno mengangguk. Perempuan itu duduk di sebelah Reno. "Kamu mencariku?"
"Selalu," bisik Reno. "Serra, aku kangen ...."
Reno menolehkan kepalanya memandang Serra dengan penuh kasih sayang. Serra cantik, Reno selalu mengaguminya, rambut hitamnya jatuh rapi ke bahu, wajahnya pucat dengan bintik-bintik kecil di hidungnya, iris dan pupilnya berwarna putih. Sayang sekali Serra bukan manusia, terkadang Reno bergidik kalau memandangi mata putih Serra. Serra adalah makhluk lain, dari dunia yang berbeda. Serra bukan manusia yang bermutasi, dia adalah makhluk yang bukan manusia tapi menyerupai manusia. Serra bisa terbang dan melakukan hal lain yang jelas tidak bisa dilakukan oleh Reno. Dunia Serra dan Reno jauh berbeda, tetapi Reno telah terjatuh begitu dalam pada Serra, Reno sangat mencintai Serra.
"Sudah tiga kali kamu ke sini," ujar Serra menyentuh bahu Reno.
Reno mengerling, dia memandang sekitarnya, tempat yang indah, damai, dan terlebih ada Serra. Beberapa makhluk yang serupa dengan Serra terbang tidak jauh dengan mereka. Namun, Reno tidak mempedulikannya, matanya kembali tertuju pada Serra, hanya Serra yang paling cantik di matanya.
"Aku akan ke sini kapan pun aku mau," ujar Reno dia kemudian mengangkat tangannya, sebuah mawar merah tidak berduri yang dia dapatkan dari dunianya, bumi. "Aku tahu kamu suka bunga."
Serra tersenyum kaku, menerimanya. "Terima kasih, Reno. Namun, aku tidak mau kamu terus menemuiku, kamu harus terus menjalani hidup di dunia kamu."
"Kamu dunia milikku," kekeh Reno santai. Serra melotot memandangnya.
"Dunia yang nyata Reno, dunia yang nyata!" bentak Serra. Reno tertawa kecil lalu membaringkan dirinya dengan kepala berbantalkan kaki Serra. Reno memandang langit.
"Mereka tidak pernah memedulikanku Serra, aku merasa bumi terlalu luas untukku yang sendirian, di sini walaupun sempit ada kamu yang memedulikanku," bisik Reno.
"Reno, karena aku memedulikan kamu, aku tidak ingin kamu datang lagi ...."
"Langit di sini indah, tidak berpolusi. Hmmm ... semua jadi indah karena aku bersama kamu, Serra."
"Reno, menurutku kita tidak perlu bertemu lagi," ujar Serra mengabaikan pernyataan Reno.
"Aku nggak bisa Serra, aku nggak bisa hidup tanpa kamu," bisik Reno memejamkan matanya.
"Kamu pasti bisa menemukan banyak manusia di dunia milikmu, banyak manusia yang jauh lebih baik dari aku yang sama sekali bukan manusia," decak Serra. Reno mengernyitkan dahi, masih dalam keadaan mata terpejam.
"Manusia di sekitarku jahat. Kamu tahu aku tidak dipedulikan keluargaku, berapa kali aku harus bilang?" tanya Reno.
"Jalinlah hubungan dengan manusia lain," ujar Serra. "Atau paling mudah, jatuh cinta pada manusia."
"Aku tidak bisa jatuh cinta lagi Serra, sudah cukup, jangan cerewet!" ujar Reno dengan mata masih terpejam.
"Itu karena kamu belum mencoba, keluarlah, cinta bisa kamu temukan di mana saja," ujar Serra menyentuh dahi Reno dengan lembut mengabaikan Reno yang menyebutnya cerewet. Reno menyeringai mendengarnya.
"Cinta bisa kita temukan di mana saja, bahkan di dunia yang tidak kita ketahui," ujar Reno perlahan dan pasti. "Walaupun orang lain tidak tahu dunia ini, di dunia ini atau di dunia manusia, aku tetap jatuh cinta padamu, Serra."
Reno memang keras kepala, Serra tahu marah-marah hanya akan menghabiskan energinya. Serra menepuk wajah Reno, Reno membuka matanya. Serra tersenyum padanya lalu mengucapkan, "Jalan-jalan, yuk!"
Reno dan Serra berjalan tidak jauh dari titik awal Reno duduk, ada banyak hal ajaib yang Reno bisa lihat di sini, beberapa percikan emas dan berlian bergerak ke sana kemari, fluida jernih mengikuti tiap gerakan yang dilakukan Serra, Reno berjalan di sebelah Serra dengan takjub matanya memandang sekelilingnya. Reno sudah beberapa kali ke tempat ini, untuk menemui Serra, ada saja hal baru yang muncul tiap dia datang kemari. Sebelumnya tidak ada danau di depannya, kini danau jernih terbentang di depan matanya dengan aroma wangi karena tidak ada amis ikan. Selain itu ada sebuah pohon rindang tak jauh dari sana yang sebelumnya tidak pernah Reno lihat.
"Jangan terkesima sebegitunya," ujar Serra mengingatkan. "Di bumi juga ada danau."
Serra mengaitkan tangannya ke tangan Reno lalu fluida bening mengelilingi mereka berdua, membantu Serra mengajak Reno terbang di atas danau. Reno menyentuh air danau tersebut dengan tangannya, sensasinya menyejukkan hatinya. Semilir angin yang meniup wajahnya terasa menyegarkan.
"Kami membuatnya, meniru bumi," ujar Serra. Reno tidak menjawab, memercikkan air ke arah Serra sambil tertawa. Serra kemudian menolehkan kepalanya ke Reno. "Kembalilah, Reno. Dunia kamu bukan di sini!"
Serra melepaskan tangannya dari Reno. Reno merasakan pandangannya hablur ketika dia perlahan jatuh ke danau. Reno menatap Serra panik, kemudian Reno merasakan dirinya berputar dengan sangat kencang. Reno menjerit memanggil nama Serra ketika dia membuka matanya. Reno tidak terkejut mendapati dirinya tengah berbaring di rumah sakit, bau obat yang pekat, suara alat medis yang khas, Reno sudah hafal betul. Air mata Reno mengalir membasahi pipinya, dia sudah kembali ke bumi, tidak ada Serra di sini.
Dada Reno yang tadi terasa hangat karena kehadiran Serra kini terasa hampa. Reno melirik alat patient monitor yang ada di sampingnya, suaranya memekakkan telinga Reno. Dia kembali memejamkan matanya, berharap dirinya balik ke dunia tempat Serra berada. Reno mengeluh, dia tidak bisa kembali. Satu-satunya cara untuk kembali ke Serra adalah dengan mengonsumsi obat tidur yang dia beli di luar sana tanpa resep dokter. Namun, tentu saja dia tidak bisa mengonsumsi obat tersebut karena sedang berbaring di rumah sakit yang penuh pengawasan.
Orang-orang selalu menyebutnya berhalusinasi, tetapi Reno bersikeras bahwa Serra dan dunia indah di sana nyata, hanya butuh sedikit usaha untuk balik lagi ke sana. Reno tahu setiap ada kesempatan dia akan kembali ke dunia Serra. Seberapa pun sakit tubuhnya setiap dia sadar tidak menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah rasa kesepian yang dia rasakan tiap meninggalkan Serra.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam demi jam terus berganti. Seharian itu tidak ada seorang pun yang menjenguk Reno, selain perawat yang datang dan pergi mengecek keadaannya. Selalu saja seperti itu, keluarganya pasti hanya mengurusi biaya rumah sakit lalu sama sekali tidak memedulikannya, karena itu Reno membutuhkan Serra. Ketika jam menunjukkan pukul 1 dini hari, Reno melepaskan dirinya dari peralatan medis. Dia turun dari tempat tidur pasien dan berjalan keluar. Dia masih bisa mendengar orang-orang berbincang di sekitarnya, tetapi sama sekali tidak ada yang menyadari bahwa dia kabur dari kamar. Reno tidak tahu siapa yang menjaga CCTV, dia tidak memedulikan itu, pasti orangnya sangat lengah.
Keberuntungan atau mungkin kesialan berada di pihak Reno, dia menyelinap masuk ke dalam suatu ruangan yang cukup dingin, Reno membuka paksa suatu lemari dengan kaca gelap, tetapi tidak bisa, dia kemudian memecahkan kaca itu dengan alat keras. Reno mengambil salah satu obat yang dibungkus tablet kecil dan menyelipkannya ke pakaian dalamnya sebelum akhirnya dia diusir dan diperiksa lelaki yang kemungkinan berjaga di sana. Lelaki itu mengatakan dia akan memproses Reno besok pagi, Reno tidak membantah padahal dia tahu kalau saat itu sudah pagi. Reno dibawa kembali ke kamarnya. Reno terdiam beberapa saat. Dia meratap memandang ke langit-langit kamarnya, kemudian dia mengambil dan meminum obatnya.
Reno seketika berpindah dunia lagi ke hamparan rumput yang selalu dia suka. Reno memandang berkeliling mencari Serra. Serra berdiri tidak jauh dari tempat kemunculan Reno, segera terbang menghampirinya.
"Reno, kamu tahu ini tidak benar," bisik Serra lirih, menyentuh tangannya di wajah Reno.
"Apa yang tidak benar?" tanya Reno sambil tersenyum sayang.
"Reno, aku ini tidak nyata, aku adalah halusinasi yang kamu buat sendiri."
"Kamu nyata Serra, lihat tanganku tidak menembusmu," kekeh Reno sambil mengelus kepala Serra. Serra menatapnya dengan tatapan prihatin.
"Biasanya kamu ke sini dengan apa?" tanya Serra.
"Obat tidur," ujar Reno mengernyitkan dahi.
"Overdosis obat tidur, bisa menyebabkan halusinasi, mengumpulkan ingatan-ingatan lama yang kamu khayalkan menjadi satu," ujar Serra. "Lalu kali ini kamu ke sini dengan apa?"
"Bukan obat tidur," ujar Reno. "Aku tetap bertemu denganmu, jadi apa masalahnya?"
"Ini sudah kesekian kalinya aku memperingatkan kamu, Reno," bisik Serra lirih. "Sudah terlambat, kamu akan terus ...."
"Akan terus?" tanya Reno.
"Biasanya kamu ke sini setiap kamu berada di perbatasan hidup dan mati, ketika otakmu masih terus berpikir sedangkan tubuhmu perlahan kehilangan fungsi. Dokter terus menyelamatkanmu. Namun, kali ini beda Reno, kamu tidak bisa kembali hidup, kamu akan mati," jelas Serra dengan air mata mengalir di wajahnya.
"Tidak apa kalau begitu, aku tidak perlu kembali ke bumi, 'kan?" tanya Reno sambil mengusap air mata Serra dengan jemarinya.
"Tidak kembali ke bumi dan juga tidak berada di sini, kamu di sini hanya sebentar saja," ujar Serra. Reno terbelalak. Serra menatapnya dengan raut wajah cemas, kemudian perlahan Reno dapat melihat Serra dan sekelilingnya mulai pudar. "Aku sudah mengatakannya berkali-kali agar kamu tidak kembali ke sini, Reno. Aku tahu suatu hari ini akan terjadi, kamu akan benar-benar mati. Aku membenci orang yang bunuh diri, Reno. Aku membencimu."
Seketika Reno merasa dirinya ditarik di pusaran yang sangat keras. Reno menjerit kesakitan. Dia tidak hanya kehilangan Serra, dia juga kehilangan dirinya sendiri. Tubuhnya di dunia itu sirna, sedangkan tubuhnya di dunia nyata tergeletak tidak bernyawa dengan busa di mulut dan tablet obat di tangan yang mungkin nantinya menciptakan penyesalan pada keluarga Reno yang tidak pernah memedulikannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top