you
Sumsum tulang belakang Hans cocok!
Mataku menengadah ke langit, namun, hanya sebentar. Aku tidak kuasa menentang terik dan silau yang dipancarkan sang mentari siang ini. Angin segar berhembus ke arah wajah dan mempermainkan ujung-ujung rambutku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya beberapa tanaman hias yang tumbuh di beberapa titik. Beberapa orang pasien tampak sedang menikmati suasana di luar rumah sakit. Mungkin mereka ingin mencari udara segar karena bosan terlalu lama tinggal di dalam kamar rumah sakit.
Aku menebarkan tatapan ke arah lain. Para suster yang sedang lalu lalang di koridor rumah sakit. Mereka tampak sibuk bekerja melakukan tugasnya mengurus dan merawat pasien. Lalu ke arah bangku tunggu di mana beberapa orang tampak duduk di sana. Puas dengan pemandangan itu lalu aku kembali menatap ke arah ujung kakiku. Sepasang flat shoes abu-abu membungkus kedua ujung kakiku. Membuatku kembali teringat pada stiletto merah milikku yang sengaja kutinggal di rumah Hans. Apa kabar mereka? Akankah aku bisa mengenakan mereka kembali?
Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba berpikir sejernih mungkin. Tentang banyak hal. Keajaiban, harapan, cinta, mimpi, dan kesembuhanku. Sederet kata-kata itu berputar keras di dalam otakku. Benarkah aku masih memiliki harapan seperti yang orang-orang dengungkan untukku? Benarkah sumsum tulang belakang Hans cocok untukku? Jodohkah kami?
Argh. Aku tak mampu menerka. Aku masih belum bisa percaya semua ini. Sama sekali. Seperti terbangun dari mimpi. Aku berada di dunia nyata, namun, seperti sedang menjalani serangkaian mimpi. Apa artinya ini? Oh, Tuhan, tolong jelaskan semua ini padaku.
Aku tergagap ketika indera penciumanku menangkap sebuah aroma yang tak asing, wangi segar sabun. Aku sangat mengenali aroma khas ini dan sudah lama tak menciumnya. Aku rindu aroma dan pemilik tubuh itu. Hans.
Pria itu melempar senyum dan mengambil tempat duduk di sebelahku. Dan selamat, Hans. Kau berhasil membuat dadaku terguncang lagi. Entah untuk ke berapa kalinya dan ini sungguh menyesakkan. Aku merindukanmu, Hans.
"Apa yang sedang kau pikirkan, May?" Hans menatapku dengan tatapan ramah. Amarahnya beberapa waktu lalu tampaknya telah mereda. Sam pasti sudah menjelaskan duduk persoalannya pada Hans.
"Banyak," balasku agak lama.
"Misalnya?" Hans bertanya kembali. Seolah ingin mendesak jawabanku.
Aku tidak langsung menjawab. Aku perlu memilah kata-kata untuk kulontarkan padanya.
"Tentang penyakitmu?" Hans menebak sebelum aku sempat menemukan kalimat yang sesuai. "tidak ada yang perlu kau cemaskan, May. Setelah menjalani operasi, semua akan baik-baik saja. Percayalah," tandas Hans. Dan entah bagaimana ia berhasil menemukan tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
Hans, apa yang kau lakukan? batinku. Tubuhku menegang dan aliran darahku pasti bergerak cepat ke kepala, karena tiba-tiba wajahku panas.
"Hans... "
"Aku merindukanmu, May."
Jleb.
Dunia serasa berhenti berputar seketika itu juga. Jantungku seperti tak lagi berdetak, napasku juga tak lagi berhembus. Sesak. Aku seperti jatuh koma! Orang-orang di sekitarku, tanaman, angin, dan apapun di sekelilingku juga seolah tak bergerak. Karena kalimat Hans.
Apa Hans? Kau merindukanku? Tolong ulangi kalimatmu karena aku takut salah dengar. Aku takut angin menyamarkan suaranya sedemikian rupa sehingga tidak tertangkap dengan baik oleh gendang telingaku.
Tidak. Tidak. Hans pasti bercanda dan aku tidak boleh mempercayainya begitu saja. Bisa saja ia merindukanku karena aku tidak ada di rumah itu. Bukankah akan terasa aneh jika kita tidak melihat seseorang yang sudah terbiasa hidup bersama dengan kita? Lantas rindu seperti apa yang ia rasakan untukku? Cintakah???
"Rumah sepi tanpamu, May," tandas Hans kembali.
Ya, sahutku membatin. Tadi aku terlalu mendramatisir kalimat Hans. Kerinduannya padaku ternyata tidak seperti yang kuharapkan. Kerinduan Hans hanyalah kerinduan biasa. Bukan cinta.
"Kenapa kau melakukan ini padaku, May?" tegur Hans merusak pemikiranku. Mengoyak lamunan panjang tentang kalimat Hans. "kenapa tiba-tiba pergi di saat kau sedang sakit? Kenapa tidak pernah jujur tentang perasaanmu padaku?"
Aku tercekat. Pertanyaan dan sorot mata Hans menusuk tepat di dadaku. Sepertinya pertanyaan Hans sarat makna dan aku tidak mampu mencernanya sendirian. Aku perlu penjelasan, Hans. Secepatnya.
"Aku tidak mengerti ucapanmu, Hans," ucapku pelan. Agak tersendat.
"Sam sudah menceritakan semuanya, May," beritahu Hans membuatku terbelalak.
Semuanya? Tentang apa? Sekali lagi aku butuh penjelasan yang terperinci.
"Menceritakan apa?" tanyaku dengan hati-hati.
"Kau mencintaiku kan, May?" tanya Hans dengan sorot mata yang memojokkanku. Dan aku lupa jika tangannya masih menggengam tanganku.
"Hans... "
"Kau terlalu pandai menyembunyikan perasaanmu, May," sela Hans sebelum aku sempat meyambung kalimatku. Meski sebenarnya aku masih belum tahu apa yang hendak kusampaikan padanya. "dan aku terlalu bodoh sampai tidak bisa membaca pikiranmu. Kupikir sikap dingin yang kau tunjukkan selama ini padaku adalah perasaanmu yang sebenarnya. Itulah kenapa aku juga bersikap sama denganmu. Andai saja kau sedikit lebih terbuka, mungkin kita tidak perlu mengalami semua ini. Tapi, aku bersyukur ada Sam yang sangat peka dan bisa membaca hatimu. Berkat dialah, akhirnya aku tahu perasaanmu yang sebenarnya," tutur Hans panjang.
Aku menatap Hans seperti tanpa berkedip. Apa itu berarti Hans juga punya perasaan yang sama denganku? Apa selama ini kami sama-sama saling menyembunyikan perasaan masing-masing?
"Apa kau juga mencintaiku, Hans?" tanyaku hanya ingin memastikan. Karena aku bisa pingsan didera rasa ingin tahu yang teramat sangat.
Hans menganggukkan kepalanya perlahan.
Benarkah? batinku lagi-lagi masih tidak percaya. Jadi, Hans juga menyukaiku? Tapi, kenapa? Bukankah Lea lebih dalam segalanya ketimbang diriku yang biasa-biasa saja? Bagaimana mungkin aku bisa memenangkan hati Hans?
"Kenapa, Hans?" tanyaku sejurus kemudian. "bukankah aku tidak lebih cantik dari Lea? Aku hanya wanita biasa... "
Hans mengembangkan senyumnya dan memaksaku menghentikan kalimat. Sikap Hans aneh.
"Apa semua orang harus jatuh cinta karena paras?" Hans malah mengajukan sebuah pertanyaan. "ya, Lea memang jauh lebih cantik. Aku dulu sangat mencintainya, tapi, dia bukanlah takdirku. Memang pada awalnya aku sempat marah pada mama dan nasibku. Tapi, setelah melihatmu aku mulai merubah penilaianku. Kau memiliki hati yang lembut, May. Kau lebih layak menjadi ibu bagi anak-anakku kelak. Kau tahu, aku tidak suka wanita yang selalu memprioritaskan penampilan ketimbang pasangannya," tandas Hans lebih panjang dari sebelumnya.
Jadi, Lea orang seperti itu? batinku. Aku mengerti, Hans.
"Maafkan aku, Hans," ucapku akhirnya. Setelah terlalu lama mendengarnya bicara. "selama ini aku tidak pernah bisa menunjukkan perasaanku padamu. Kau tahu, aku bukan orang yang memiliki rasa percaya tinggi. Aku selalu memendam apapun sendirian. Perasaanku, penyakitku... Aku tidak suka membebani orang lain, terutama kau, Hans," paparku mengutarakan apa yang selama ini kusimpan di dalam hati.
"Tapi, aku bukan orang lain, May. Aku suamimu. Apa kau lupa?"
Aku menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak lupa, Hans. Hanya saja aku sedikit takut untuk mengakuinya, karena kita saling menutup diri selama ini."
"Maaf, May. Harusnya kita saling terbuka satu sama lain saat itu," sambung Hans seraya tersenyum pahit. Entah kenapa aku bisa merasakan dada Hans sedang berkecamuk. Mungkin ia sedang didera penyesalan sekarang.
"Semua sudah berlalu, Hans." Aku tersenyum samar.
"Ya," sahutnya sambil mengangguk. "jadi, kau harus berjuang untukku, May. Apa kau mau melakukannya untukku dan untuk anak-anak kita?"
Aku bergeming dan menatap ke dalam mata Hans tanpa berkedip. Anak-anak kita? batinku. Sungguh, dalam mimpi sekalipun, aku tidak pernah membayangkan memiliki anak-anak bersama Hans. Pasti akan menyenangkan bila semua itu terwujud. Masa depan yang indah.
"Ya, Hans," balasku dengan dada bergemuruh karena bahagia. Aku menghembuskan napas dengan lega. Semua beban di dalam dadaku seperti menguap lenyap terbang bersama angin. Semua karena Hans.
"Hei!"
Astaga! Aku tercekat karena teriakan Sam yang tiba-tiba muncul di depan kami. Padahal aku tadi sempat ingin menyandarkan bahuku di pundak Hans, tapi, urung karena kehadiran Sam.
"Ada apa, Sam?" tanya Hans sembari melepaskan tanganku.
"Kalian harus menemui dokter dan mengatur jadwal operasi secepatnya," beritahu Sam.
"Baiklah," sahut Hans. "mari kita masuk, May," ajaknya sejurus kemudian. Pria itu mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku menerima uluran tangan Hans dan mengikuti langkah mereka berdua menuju ke ruangan dokter yang menangani penyakitku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top