talk
Aku memandang seorang gadis muda yang kini duduk di hadapanku. Menyusuri setiap lekuk di wajah ovalnya. Sepasang mata yang berwarna cokelat menatap teduh ke arah jalanan yang basah dan hanya di batasi oleh sebidang kaca bening. Uap-uap air rupanya tak mampu mengalihkan pandangannya dari sana. Sepasang mata indah itu dihiasi bulu lentik yang sudah dipertebal dengan olesan maskara, juga eyeliner yang terpahat tegas di area tumbuhnya. Hidung yang kecil dan bisa dikatakan lebih mancung ketimbang milikku. Bibir tipisnya tampak ranum dipoles lipstik berwarna merah segar. Kedua pipi yang merona cerah. Kesimpulannya ia sangat cantik. Nyaris membuatku rendah diri saat menatapnya. Aku iri dengan kecantikan Lea!
"Bagaimana kabar Hans, Kak?" Sebuah pertanyaan halus meluncur dari bibir ranum Lea. Namun sudah cukup untuk menggoreskan sebaris luka di hatiku.
Hans. Pria itu suamiku sekaligus mantan kekasih Lea. Lebih tepatnya aku adalah pihak ketiga di tengah-tengah mereka. Aku dan Hans dijebak sebuah rencana pernikahan oleh Mama Hans sendiri. Sungguh, aku tidak pernah berharap menjadi seseorang yang memisahkan mereka berdua. Tapi, ada sebuah garis takdir yang tidak bisa aku dan Hans hindari. Mama Hans menjodohkan aku dan Hans tanpa persetujuan kami!
Aku menelan ludah dan mencoba mengulas sebuah senyum pahit.
"Hans baik," sahutku. Tanganku meraih cangkir cappucino dari atas meja lalu menyesapnya perlahan. Kuharap minuman itu sedikit bisa mengurangi rasa gugup yang mulai berkecamuk di dalam hatiku. "bagaimana kabarmu, Le?" Aku meletakkan cangkirku sejurus kemudian lalu melempar pertanyaan yang sama kepadanya.
Lea mengembangkan senyum di bibir ranumnya. Sebuah lekukan manis terbentuk di kedua pipinya. Lesung pipit. Salah satu kelebihan Lea yang tidak pernah kumiliki dan sukses membuatku sangat iri padanya.
"Aku baik, Kak," ucapnya seolah ia memang baik-baik saja. Gadis yang berusia lebih muda dua tahun dariku itu tampak tegar seolah tidak pernah terluka oleh perpisahannya dengan Hans.
Di luar masih gerimis. Otomatis aku dan Lea harus melanjutkan perbincangan ini karena kami tak bisa pergi ke mana-mana. Setidaknya jika kami sama-sama tidak ingin basah.
Cafe masih sama seperti pertama kali aku datang. Hanya lima meja yang terisi dari sepuluh meja yang ada di sana. Mungkin karena hari ini weekdays, tak banyak orang yang ingin pergi ke cafe meski hanya untuk sekadar meneguk secangkir kopi. Tanggal tua dan gerimis. Si pemilik cafe ini juga pasti mengeluh karena tempat usahanya sepi.
Cafe ini lumayan nyaman. Di desain dengan tema soft brown. Lantai kayu, kursi kayu, dan semuanya tampak sederhana namun elegan. Tak begitu banyak memakai dekorasi dinding hanya sebuah papan tulis kayu yang bertuliskan menu yang ditawarkan cafe menggantung di belakang meja kasir. Aku sudah pernah berkunjung beberapa kali ke cafe ini dan memutuskan bahwa tempat ini adalah favoritku melepaskan penat. Sebuah tembang lawas mengalun ringan mengisi setiap penjuru ruangan. I will always love you milik Whitney Houston, salah satu penyanyi favoritku.
"Sorry, Le," ucapku kemudian. Mengalihkan perhatianku dari cangkir yang sejak tadi kugenggam di atas meja. Aku menatap gadis itu dan mencoba menembus kedalaman matanya.
"Untuk... "Ucapan Lea mengambang minta untuk diteruskan olehku. Dahinya sedikit berkerut.
"Untuk semuanya," tandasku berat. "aku tidak pernah bermaksud menjadi orang ke tiga di antara kalian." Bibirku terasa pahit saat mengucapkan kalimat itu.
"Kak." Tangan hangat Lea berhasil meraih genggaman tanganku yang terasa dingin. Menularkan sedikit rasa nyaman ke dalam hatiku meski belum sepenuhnya bisa mengusir kegelisahanku. "sudah berapa kali Kak May minta maaf padaku, hah?" Ia mengajukan protes ringan sembari menekuk wajahnya sedikit.
Aku tahu, batinku. Tapi, berapa kalipun aku meminta maaf rasanya belum cukup menghapus luka yang pernah kugoreskan padanya.
"Aku tahu, Le. Tapi... " Aku menarik tanganku dari genggaman Lea perlahan.
"Kak." Lea memotong ucapanku dengan cepat. "aku sudah memaafkan Kak May bahkan sebelum Kakak minta maaf. Ini bukan salah Kakak sepenuhnya. Ini takdir dan aku sudah menerimanya dengan lapang dada," papar Lea. Mungkin ia sedang berusaha menenangkan perasaanku. Seulas senyum ia ukir di bibir ranum miliknya. Kuharap ia tulus saat mengucapkan kalimatnya.
Aku menghela napas panjang. "Aku tahu kau masih sangat mencintainya." Aku bergumam pelan. Sembari menahan gejolak yang mulai bergemuruh di dalam dada, aku mengambil cangkir cappucino di depanku dan menyesapnya kembali dengan tenang. Isi cangkirku sudah berubah mendingin.
Lea sedikit kaget mendengar kalimatku. Ya, reaksinya meyakinkanku jika dugaanku benar. Tidak mudah melupakan seseorang hanya dalam waktu dua bulan saja. Apalagi mereka telah menjalin cinta selama lebih dari tiga tahun. Dan aku yang sama sekali tidak mengenal Hans, tiba-tiba merebut pria itu dari Lea.
"Kak May benar," ungkap Lea akhirnya. Setidaknya ia sudah mengatakan sebuah kejujuran meski terasa menyakitkan untukku. Sebaris luka tergores lagi di hatiku. "aku memang belum bisa melupakan Hans. Tapi, aku akan segera melupakannya. Aku janji, Kak," ucap Lea kemudian.
"Tidak, Le," sahutku berusaha secepat mungkin. "jangan berjanji untuk melupakannya. Aku yang akan melepaskannya suatu hari nanti. Jadi, tunggu Hans. Kamu mau kan?"
Kepala Lea menggeleng dengan gerakan lembut. Menyisakan tanda tanya di hatiku. Apa maksudnya?
"Aku benar-benar akan melupakan Hans, Kak," tandas Lea pilu. Kalimatnya terdengar berat. Sepasang matanya berubah sendu saat menatapku. "aku sudah menjalin hubungan dengan orang lain."
"Le!" Aku tercekat mendengar ucapan Lea dan tidak sadar menyerukan namanya sedikit keras. "kau tidak sedang bercanda kan? Le, kenapa? Kau ingin melarikan dirimu dari patah hati?" Aku mendesaknya dengan pertanyaan yang sensitif.
Lea menggelengkan kepalanya kembali. "Kita bernasib sama, Kak. Aku dijodohkan," ucap Lea nyaris bergumam.
Apa?! Pertanyaan itu hanya tersampaikan oleh kedua mataku yang kini terbelalak ke arah Lea. "Jangan bercanda, Le... "
"Aku tidak bercanda, Kak," potong Lea dengan nada serius. Senyum di bibir ranumnya beberapa saat yang lalu tidak berbekas sama sekali. "sejujurnya aku memang sakit hati karena putus dari Hans, tapi, Kak May lebih pantas buat Hans. Dan aku tidak sedang melarikan diri dari kekecewaan. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan baik seperti apa yang telah digariskan Tuhan untukku," tegas Lea.
Aku tersenyum pahit dan tidak sadar menggelengkan kepalaku. Pembohong! batinku memaki. Ia hanya ingin membuatku tidak berlarut-larut dalam perasaan bersalah. Ia terlalu baik dan bodoh. Ia memilih terluka sendirian ketimbang menumpahkannya padaku meski aku sudah siap melepaskan Hans kapan saja untuknya. Dan apa katanya tadi? Aku lebih pantas buat Hans? Omong kosong!
"Tunggulah Hans sebentar lagi, Le," ucapku seakan tak peduli akan kalimatnya. "Hans adalah milikmu dan selamanya milikmu," tandasku berusaha meyakinkannya. Meski dengan suara bergetar.
Namun gadis itu malah tersenyum menanggapi ucapanku. Ia menggeleng untuk ke sekian kali.
"Tidak, Kak May," ucapnya. "aku serius dengan ucapanku. Kak May tenang saja. Aku turut bahagia jika Kak May bahagia," ucapnya.
Begitukah? Aku menelan ludah.
"Ah, sepertinya hujan sudah berhenti." Suara manis Lea menggugah sebaris lamunanku. Ia menyesap isi cangkirnya dengan tergesa. "aku harus pulang sekarang, Kak," pamitnya seraya melihat jam kecil yang melilit tangan kanannya. Semoga itu bukan alasannya untuk menghentikan perbincangan kami karena merasa tidak nyaman.
"Thanks, Le. Kuharap kita bisa minum kopi bersama lagi," ucapku. Aku bangkit dan memeluk tubuh Lea sejenak.
"Iya, Kak," sambutnya dengan nada ceria. "Kak May jaga kesehatan baik-baik. See you..."
Aku melambaikan tangan ke arah Lea yang bergerak ke arah pintu masuk cafe. Perlahan punggungnya menjauh lalu menghilang dari pandanganku.
Lea dan Hans. Kenapa aku bisa hadir di antara mereka?
Aku kembali duduk di kursi dan merutuki sebuah penyesalan. Hujan memang sudah berhenti seperti ucapan Lea dan pandanganku beralih ke luar cafe. Hari sudah beranjak meremang. Petang. Harusnya aku sudah berada di rumah sekarang bukan berdiam diri seperti perenung di tempat ini. Berteman secangkir cappucino dingin yang tinggal sedikit.
Lamat-lamat telingaku menangkap suara merdu Celine Dion melantunkan tembang I Surrender. Menambah kegalauan di hatiku. Ah, apa pemilik cafe ini sedang menyindirku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top