sky
Sampai detik ini belum ada satupun pendonor yang cocok!
Tidak ada satupun orang yang mampu mencegah keinginanku untuk keluar dari rumah sakit. Sekalipun Bunda Fatimah. Aku tetap meninggalkan tempat itu dan akan menjalani sisa hidupku di panti. Mungkin aku akan melewati hari-hariku yang mengenaskan di sana!
Aku sudah menghentikan pengobatan. Bahkan kemoterapi-pun tidak akan bisa menyembuhkanku. Bagaimanapun kemoterapi butuh waktu dan penyakit itu nyaris tidak akan tertanggulangi. Aku hanya tinggal menunggu hitungan hari. Aku akan pergi dari dunia ini selamanya!
Hari merangkak pelan menuju senja. Matahari telah menyusup ke ufuk barat dengan gerakan samar. Sinarnya berangsur hangat, tidak sepanas sebelumnya. Awan kelabu tampak bergelayut menghiasi langit sebelah barat. Mereka telah bersiap menyambut matahari senja dan menyiapkan sejumlah keajaiban di sana. Panorama semburat jingga akan menghias langit barat sebentar lagi.
Keajaiban. Satu kata itu sudah kubuang jauh-jauh dari pikiranku. Aku sudah tidak mengharapkan keajaiban akan datang padaku. Terkadang sesuatu yang sangat kita harapkan malah tidak pernah terjadi. Hidup kadang selucu itu, bukan?
Aku menyandarkan tubuhku yang kian merapuh pada batang pohon. Seraya berselonjor dan menatap persawahan yang terbentang di depan sana. Menikmati senja dan menghirup oksigen dalam-dalam. Beginilah aku akan menghabiskan senja dalam hidupku kelak.
Apa kabar Hans di sana? Sosok itu masih menghuni pikiranku sampai kapanpun. Meski aku berpura-pura sedang tidak mengingatnya, tapi, kenyataannya ia selalu berada di sana. Di dalam pikiranku dan terpaku di sudutnya. Tanpa melakukan apa-apa dan aku mencintainya.
Aku hanya bisa memejamkan kedua mataku dan menghirup napas dalam-dalam sembari melukis bayangan tentang Hans. Mungkin Tuhan menciptakan Hans bukan untuk kumiliki, hanya sekadar bisa kukagumi dari jauh.
Lamunanku terbang ketika sebuah tangan mendarat di atas punggungku dengan pelan. Sam datang dan mengambil tempat duduk di sebelahku. Ia menekuk kedua kakinya yang berbalut sebuah celana jeans biru tua. Mungkin ia tidak suka meyelonjorkan kaki karena takut celana jeans mahal miliknya akan kotor. Aroma parfum milik Sam langsung menguar ke sekitar kami dan berbaur dengan angin senja yang berhembus bebas.
"Sedang memikirkan apa?" Sam menegur tanpa menoleh. Pria itu menatap lepas ke depan sana. Panorama alam senja agaknya telah menyita perhatian Sam. Dia pasti jarang menemukan pemandangan seindah ini di kota.
"Menurutmu apa yang harus kupikirkan sekarang?" Sebuah pertanyaan balik kulemparkan padanya.
Sam tersenyum tipis. Lalu mendesah panjang.
"Harapan." Sam menoleh ke arahku setelah mengusir senyum tipis dari bibirnya.
"Harapan?" ulangku dalam gumaman samar. Aku mengerutkan dahi dan mencermati wajah Sam dengan tatapan penuh tanda tanya. Apa aku masih punya harapan?
"Jangan pernah berhenti berharap, May," tandasnya sesaat kemudian. Sembari menatapku dengan penuh permohonan.
Aku terdiam. Aku tahu Sam telah berbuat banyak untukku. Entah berapa banyak teman yang telah ia hubungi agar mau menjadi pendonor untukku. Ia juga tak pernah berhenti memberi dukungan dan semangat.
"Andai aku tidak punya harapan lagi, bagaimana?" Pandanganku beralih ke bawah. Jari jemariku sedang beradu gelisah di atas pangkuanku.
"May!" Sam tiba-tiba meneriakkan namaku dengan nada tinggi dan penuh kemarahan. Sepasang matanya melebar dan wajahnya memerah dalam sekejap.
Aku bergeming. Aku tahu Sam marah besar sekarang ini. Ia pasti sangat benci aku mengucapkan kalimat itu. Maaf.
"Jangan pernah menyinggung hal itu lagi, May. Kumohon," ucap Sam dengan sepasang mata yang menatapku penuh ratapan. "sekalipun tidak ada harapan, jangan pernah mengatakan apapun. Aku benci mendengarnya, kau tahu?"
Aku mengangguk. Aku paham. Aku tidak akan mengatakan tentang itu lagi, Sam.
"Maaf," desisku bersamaan dengan desiran angin yang berhembus dari arah samping tubuhku.
"Berjanjilah padaku besok kau akan kembali ke rumah sakit," ucap Sam setelahnya. Sekali lagi tatapan matanya penuh dengan permohonan.
"Tapi Sam... "
"May." Sam memotong ucapanku dengan cepat. "kumohon, May. Kau harus tetap menjalani kemo sampai ada pendonor yang cocok," ucapannya terdengar setengah memaksa.
Dan aku tak bisa meluluskan permintaan Sam begitu saja. Kemoterapi bukanlah hal yang menyenangkan. Rambut panjangku akan dipangkas habis sampai tak bersisa dan aku tidak begitu suka dengan semua hal yang berhubungan dengan rumah sakit. Terutama obat-obatan.
"May."
Sekali lagi Sam menyebut namaku dengan penuh permohonan. Tatapan matanya tampak sayu dan membuatku benar-benar merasa iba melihatnya. Sepenting itukah diriku baginya?
Aku menganggukkan kepalaku setelah bergeming cukup lama. Aku sudah memilih keputusan yang sulit. Demi Sam. Demi perasaannya yang begitu tulus dan tidak tertandingi.
Sebuah senyum merekah di bibir Sam usai melihat anggukan kepalaku. Ia tampak bahagia dengan keputusan yang baru saja kuambil. Setidaknya aku masih menghargai setiap jerih payah yang ia lakukan untukku.
"Terima kasih, May," ucapnya.
"Akulah yang harusnya berterima kasih padamu, Sam," timpalku. Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Setidaknya di sisa hariku masih ada seseorang yang selalu ada untukku.
Sam hanya membalas ucapanku dengan sebuah senyum manis. Ia menatap kembali ke arah persawahan yang terhampar luas di depan sana. Senja telah merangkak turun tanpa kami sadari. Langit telah berwarna jingga kemerahan. Semburat warna indah itu tampak menghias langi berpadu dengan warna biru awan. Panorama itu tidak akan berlangsung lama. Mungkin sekitar dua atau tiga menit. Aku tidak tahu pasti. Tapi, keajaiban itu benar-benar singkat dan sesudahnya akan lenyap begitu saja saat matahari telah menyusup ke peraduannya.
"Untukmu."
Sapaan itu terdengar sesaat setelah semburat jingga kemerahan di langit telah memudar dan digantikan warna biru. Setangkai bunga rumput berkelopak putih dan berukuran mini terulur manis dari tangan kokoh milik Sam. Bunga yang sama yang pernah diberikan Ical padaku beberapa hari yang lalu. Dan aku baru menyadari jika tumbuhan itu banyak tumbuh di sekeliling kami.
Aku menerima uluran bunga rumput itu dari tangan Sam seraya tertawa kecil.
"Ical juga pernah memberikan bunga ini padaku," tuturku mengenang kejadian itu.
"Ical?" Sam mengerutkan keningnya. Dan ia tampak lucu saat melakukannya. Membuatku geli.
"Dia anak kecil yang berada di rumah sakit," jelasku sambil tertawa.
"Oh." Sam manggut-manggut tanpa komentar. Pria itu menghela napasnya dalam-dalam. "kau tidak ingin tahu kabar Hans?"
Ah. Pertanyaan itu...
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain untuk menyembunyikan ekspresi keterkejutan di wajahku. Aku tidak mau Sam melihat wajahku saat ini.
"Aku sudah memberitahukan kepergianku," ucapku akhirnya. Aku menatap Sam setelah berhasil mengendalikan perasaanku. Dan aku mematikan ponselku sejak tiba di panti. Sampai sekarang.
"Kenapa kau tidak memberitahukan keadaanmu pada Hans?"
Sam, kumohon. Jangan menanyakan hal itu padaku. Hatiku sakit saat kau menyebut nama Hans. Lebih tepatnya terluka meski Hans tidak bersalah dalam hal ini. Akulah yang mencintai dia secara sepihak.
Aku mencoba tersenyum meski akan tampak sangat dipaksakan.
"Tidak, Sam," ucapku. "aku tidak ingin membebani siapapun. Dan kumohon jangan memberitahunya."
Sam mendesah berat.
"Baiklah, jika itu maumu," ucap Sam. "kita pulang sekarang?"
"Terserah."
"May!" Sam mendesis dengan keras. Ia menatapku dengan panik. "hidungmu berdarah."
Oh. Tak perlu sepanik itu Sam. Aku sudah sering mengalaminya dan ini wajar untuk penderita leukimia sepertiku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top