sam
Aku menduduki sebuah bangku taman yang terbuat dari kayu berbalut cat cokelat tua yang nyaris mengelupas di sana sini. Menyandarkan punggung dengan manja dan menatap lurus ke depan. Ditemani pepohonan yang rindang dan beraneka ragam tanaman hias yang bunganya sedang bermekaran. Sesekali angin sore berhembus membawa hawa sejuk ke wajah dan mempermainkan rambut panjangku yang mulai menipis.
Beberapa meter di depan tempatku duduk ada dua anak kecil berlarian. Saling berkejaran seraya melepas tawa riang. Ya, mereka tampak sangat bahagia. Tanpa beban. Mereka masih belum tahu apa artinya beban hidup. Betapa sulitnya menjadi orang dewasa yang penuh dengan permasalahan.
Aku menoleh ke samping kanan sejurus kemudian dan mendapati sepasang suami istri yang tampak masih muda bersama seorang bayi mungil. Mereka berada sekitar tiga meter dari tempat dudukku. Mereka juga menikmati angin sore dengan bersantai di taman kota. Sesekali bercanda dan menggoda bayi mungil mereka. Mereka juga tampak bahagia. Sebuah kehidupan yang sempurna.
Sedang di sisi kiri, sekitar dua meter ada sepasang muda mudi sedang asyik mengobrol dan saling melempar senyum. Mereka saling menyukai. Ya, mereka jatuh cinta dan aku bisa merasakan hal itu. Aku bisa melihat dari setiap ekspresi dan tatapan keduanya. Mereka tak kalah bahagia dengan keluarga kecil di samping kananku.
Sementara aku di sini sendirian. Tanpa pasangan, tanpa senyum, tanpa kebahagiaan. Aku tak pernah bisa seperti mereka. Mengecap kebahagiaan bersama orang yang kucintai. Aku akan berakhir dengan duka.
Oh, Tuhan. Aku menengadahkan wajah dan menatap langit yang bersih tanpa awan. Berwarna biru muda seperti laut. Tenang. Damai. Andai aku bisa terlahir kembali, mungkin aku lebih suka menjadi burung. Bebas mengepakkan sayap dan pergi ke mana saja aku suka. Tanpa beban. Tanpa ikatan yang membelenggu.
Haruskah aku menangis sekali lagi karena takdir? Aku hanya membatin dan menurunkan pandanganku kembali ke bumi. Ke tempat di mana aku masih tinggal. Menikmati setiap hembusan angin sore yang menerpa wajah dan rambutku.
Demamku telah turun setelah aku tertidur selama beberapa jam pagi ini. Aku juga belum bertemu Hans setelah perbincangan semalam. Kupikir lebih baik aku tidak bertemu dengannya atau hatiku akan patah lagi. Karena mencintai seseorang yang tidak mencintaiku ibarat memeluk sebatang kaktus. Semakin aku memeluknya erat, aku akan semakin terluka. Langkah terbaik yang harus ku ambil adalah melepasnya. Dan aku sudah memutuskan untuk melepasnya sejak tadi malam.
Aku merapatkan kedua ujung jaket hitamku saat angin kembali menyapa. Kali ini hawa dingin sedikit menusuk persendian. Tapi, tak membuatku berinisiatif meninggalkan bangku taman. Aku masih ingin di sini, sendirian dan menikmati apapun yang alam tawarkan padaku sore ini. Mungkin sampai malam meremang nanti.
"Sendirian?"
Sebuah sapaan berat mengusik keasyikanku menikmati suasana taman. Memaksaku mencari asal sumber suara yang agaknya tidak asing di telingaku.
Sam? pekikku dalam hati. Nyaris membuatku terlompat dari tempat dudukku karena terkejut. Pria itu... Kenapa ia bisa ada di sini? Mendekatiku seolah ia sengaja memata-mataiku. Ini bukan kebetulan kan? Tapi, rumah Sam memang tidak begitu jauh dari taman ini. Bahkan ia selalu berjalan kaki saat mengunjungi Hans.
Pria itu, tanpa meminta izin dariku, duduk di samping kananku. Tempat itu masih kosong bahkan sejak aku tiba di taman. Ia memakai sweater hijau lumut yang kontras dengan warna kulitnya, dengan celana jeans yang sedikit robek pada bagian lututnya. Aroma parfum khas miliknya langsung menyapa hidungku dengan leluasa.
Aku menoleh sekilas pada Sam dan menemukan diriku yang tiba-tiba gugup karena peristiwa semalam langsung melintas di kepalaku. Apa ia akan membahas hal semalam? batinku sedikit khawatir.
"Bagaimana kabarmu, May?" tegurnya hangat. Ia menoleh ke arahku dan tampaknya sedang mencermati wajahku dengan tatapan dinginnya.
"Baik." Jujur aku sedikit gugup menjawab pertanyaannya. Duduk sedekat ini dengan Sam membuatku merasa salah tingkah. Karena aku baru menyadari ada sesuatu dalam diri Sam yang selama ini tak kulihat. Sosoknya yang tinggi tegap, dada bidang, tangan yang kekar dan kokoh meski tersembunyi di balik sweater hijau lumutnya... Ia memiliki pesona sebagai seorang pria. Mungkin, aku sedang mengaguminya sekarang. Tapi, kupikir ini bukan kategori suka atau cinta. Aku hanya sedikit berimajinasi tentang fisiknya tadi.
"Kau sudah sembuh?"
Ya, Tuhan. Tubuhku menegang saat tiba-tiba tangan Sam menyentuh keningku, seolah ia ingin bertindak sebagai termometer hidup untukku. Aku menepis tangannya dengan gerakan cepat.
"Aku baik-baik saja, Sam," ucapku sedikit ketus. Aku melebarkan mata saat menatap ke arahnya. Apa-apaan kau, Sam!
"Kau sakit apa?" tegur Sam kembali. Serasa ingin mengejar penjelasanku.
Aku menggeleng ringan. Lalu menatap ke depan. Anak-anak kecil yang tadi berlarian di sana sudah tidak ada lagi. Mungkin mereka sudah pulang.
"May..."
"Aku baik-baik saja, Sam. Aku tidak sakit," tegasku geram. Aku menoleh padanya dan melempar tatapan tajam padanya.
Sam tersenyum! Tapi, senyumnya pahit. Kenapa?
"Baiklah, Si keras kepala." Sam meletakkan tangannya di atas kepalaku dan mengacaknya dengan sangat pelan. "tunggu di sini sebentar."
Sam bangkit dari tempat duduknya lantas berjalan ke arah penjual kue donat di sudut taman. Aku hanya bisa tersenyum pahit melihat tingkahnya. Pria yang selalu menatapku dengan dingin itu punya sisi hangat dalam hatinya.
"Makan, May," suruh Sam. Ia telah kembali ke sampingku beberapa saat kemudian. Ia menyodorkan sebuah kue donat bertabur gula putih halus dan hanya dibungkus dengan selapis kertas sebagai alas pegangan. Sam menggigit kue donat bagiannya dengan perlahan.
Aku menerima bagianku dan mulai menggigitnya. Gula halus yang melapisi kue donat itu menciptakan sensasi dingin saat menyentuh lidahku. Lumayan. Kue donat itu empuk dan enak. Aku dan Sam sama-sama menikmatinya sembari menatap senja yang berangsur turun.
Tak ada perbincangan selama sekitar 15 menit. Kami asyik menikmati kue donat sembari tenggelam dalam perasaan masing-masing. Aku meneguk kopi dingin yang dikemas dalam sebuah kaleng setelah menghabiskan makananku. Sam juga.
"Kau mencintainya?"
Teguran Sam mengalihkan perhatianku dari apapun yang berada di depan sana. Pertanyaannya seolah ingin menjebakku.
"Siapa?" tanyaku kembali karena aku tidak yakin siapa yang ia maksud.
"Hans." Ia menatapku bukan dengan tatapan dingin. Sebuah tatapan bersahabat.
"Oh." Aku menggumam pendek. Entah apa yang ingin Sam ketahui dariku.
"Aku tahu kau mencintainya," ucap Sam setelah menghela napas panjang. Ia bersidekap dan menatap lurus ke depan. Entah menerawang atau memang ada sesuatu yang menarik perhatiannya di depan sana.
Aku tak menyahut ucapannya. Pembicaraan ini semakin menjurus kepada hal pribadiku. Mungkin aku harus sedikit berhati-hati dalam berucap. Karena ia sahabat Hans.
"Lepaskan dia, May." Tiba-tiba Sam mengucapkan kalimat yang sama sekali di luar dugaanku. Membuatku terguncang seketika. Ia ingin aku meninggalkan Hans?
Akan kulakukan, Sam! teriakku dalam hati. Aku akan pergi selamanya dari kehidupan Hans tanpa kau minta sekalipun.
"Kenapa?" Ternyata bibir dan hatiku mengatakan hal yang berbeda.
"Karena kau tidak bahagia," tandas Sam. Ia menoleh ke arahku di saat wajahku tiba-tiba memanas. "Hans tidak pernah mencintaimu dan lebih baik kalian berpisah. Demi kebaikanmu sendiri, May."
Oh. Aku menelan ludah mendengar kalimat Sam. Aku tersenyum getir sejurus kemudian.
"Jadi, kau mencemaskan kebahagiaan sahabatmu?" tanyaku seraya menahan gejolak emosi yang mulai berkecamuk di dalam dada.
Tentu saja, karena Hans adalah sahabatnya! Jangan pernah lupa hal itu, May!
Tapi, Sam menggeleng pelan.
"Aku hanya mencemaskan kebahagiaanmu," tandas Sam di luar perkiraan. Membuatku tercekat.
Aku menatap sepasang mata Sam dan mencoba mencari arti kalimatnya. Tapi, aku terlalu bodoh untuk membaca matanya.
"Kenapa?" tanyaku polos. "kurasa hidupku bukan urusanmu dan kau tidak perlu mencemaskanku."
"Memang." Ia menyahut dengan tegas. "hidupmu bukan urusanku... seandainya kau bahagia dengan hidupmu. Tapi, kau tidak bahagia, May. Dan aku benci melihatmu seperti itu. Kau mengerti?!" Sam meninggikan suaranya dan sepasang matanya menatapku garang. Seolah ingin menerkam dan mengoyak tubuhku habis-habisan. Ada apa denganmu, Sam?
"Kenapa?" Aku bertanya dengan terbata. Sebuah ketakutan mulai menjalari darahku saat menatap ekspresi Sam yang tidak biasa.
"Karena aku menyukaimu, May."
Deg.
Rasanya jantungku berhenti berdetak di saat Sam mengucapkan kalimat itu. Sebaris kalimat yang baru pertama kali kudengar sepanjang hidup dan aku ingin Hans yang mengucapkannya untukku. Bukan orang lain!
Aku bangkit dari kursi taman dengan gerakan cepat. "Maaf, Sam. Aku harus pergi."
"May!" Teriakan itu berbarengan dengan gerakan tangan Sam yang mencekal lenganku. Persis dengan kejadian semalam. "aku mencintaimu, May." Ia menegaskan perasaannya.
"Aku sudah menikah, Sam." Aku mencoba melepaskan cengkeraman tangannya.
"Tapi kau tidak bahagia kan?!" Sam setengah berteriak. "untuk apa, May? Untuk apa bertahan dengan pernikahan seperti itu?"
Aku tertunduk. Sungguh, aku hanya ingin melarikan diri dari Sam saat ini. Karena ia terlalu jauh masuk dalam kehidupan pribadiku.
"Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali melihatmu, May," ucap Sam mengungkapkan perasaannya. Aku mengalihkan pandanganku ke matanya dan mencoba menelusuri perasaan Sam yang sesungguhnya. "aku sadar dengan perasaanku sendiri. Jatuh cinta pada istri sahabatku sendiri. Ini tidak mudah buatku, May. Aku tersiksa dan lebih tersiksa saat mengetahui kau tidak bahagia bersamanya." Kalimat Sam terlalu panjang dan menusuk hatiku.
"Cukup, Sam," potongku. Aku tidak mau mendengar apapun darinya. Lagi. Perasaanku campur aduk setelah mendengar apa yang baru saja ia katakan. "kumohon lepaskan tanganku. Aku ingin pulang dan istirahat. Kepalaku pusing, Sam." Aku memohon dengan sangat kali ini. Sungguh, kepalaku mendadak pusing saat ini.
Tangan Sam mulai melemah dan akhirnya melepaskan cengkeramannya. Aku menatapnya sekilas dan pergi meninggalkan taman sesaat sesudahnya. Tanpa kata-kata. Aku tidak menoleh lagi dan merapatkan kembali ujung kedua jaket hitamku sembari melangkah pulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top