questions

Cangkir milikku masih mengepulkan asap tipis dan menguarkan aroma lembut cappucino ke sekeliling hidungku. Ia baru saja disajikan tiga detik yang lalu. Di luar hujan dan bagiku ini adalah sebuah perpaduan sempurna. Aku menatap ke arah jalan melalui sebidang kaca bening sekadar menenggelamkan lamunanku ke sana. Sebuah tembang lawas milik Tony Braxton seakan ingin mengoyak lamunanku. Unbreak my heart!

Aku melenguh sendirian. Pemilik cafe ini, entah siapa, seakan ingin menyindirku habis-habisan setiap kali aku datang ke tempat ini. Lagu-lagu lama, melankolis, yang semuanya adalah favoritku. Ia benar-benar punya selera musik yang sama denganku. Lagu tahun 90-an, ballads, dan terima kasih untuk memperdengarkannya setiap kali aku ke sini.

Tak ada yang beda dengan cafe ini saat terakhir kali aku berkunjung. Soft brown masih mendominasi interior cafe. Perabotan yang serba kayu dan sebuah papan tulis berisi daftar menu yang tergantung di belakang meja kasir. Hanya beberapa meja yang terisi.

Aku menyesap cappucino dari cangkir berwarna putih di hadapanku dan menikmati sensasi rasa hangat yang mulai mengalir di dalam kerongkonganku. Kontras dengan hawa dingin yang dibawa hujan di luar sana.

"Kak May."

Lamunanku tentang hujan dan secangkir cappucino, terhenti seketika saat sebuah teguran lembut menyapa telingaku. Aku mengalihkan pandangan dari jalan dan mendapati sosok Snow White versiku sendiri, telah berdiri di hadapanku. Lea! Gadis cantik itu mengambil tempat duduk tepat di seberang mejaku. Ia mengembangkan senyum terbaiknya dan menunggu reaksiku.

"Hai, Le," sapaku seraya mengukir senyum. Aku dan Lea membuat janji bertemu sore ini, sepulang dari tempat kerja. Dan lagi-lagi hujan mewarnai hari seperti beberapa waktu yang lalu. "terima kasih sudah datang."

Lea balas tersenyum. Ia tampak manis hari ini. Sebuah dress merah membalut tubuh rampingnya. Rangkaian bunga warna warni menjadi motif dress selutut yang dikenakannya. Rambut panjangnya yang dicat kecoklatan dibiarkan tergerai bebas.

"Kak May ada perlu denganku?" tanya Lea. Tampaknya ia sedang tidak ingin berbasa basi denganku.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba merangkai kalimat yang akan kuucapkan di dalam pikiran.

"Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," ucapku seraya memperbaiki dudukku. Meski ia sempat mengerutkan dahi, aku tetap meneruskan ucapanku. "tentang Hans."

Lea tak tampak terkejut. Mungkin ia sudah menduga dari awal jika aku ingin membahas tentang Hans dengannya.

"Hans? Kenapa dengan Hans?" Lea mengerutkan dahinya kembali.

"Aku ingin mengembalikan Hans padamu," tandasku. Berusaha seyakin mungkin dan tidak menyisakan penyesalan.

"Apa yang sedang Kak May bicarakan? Aku tidak paham," ucap Lea. Ia menatap ke arah jalanan sebentar lalu ke atas meja. Tampak gusar.

"Aku akan melepaskan Hans," jelasku. "aku akan meninggalkan Hans selamanya, Le."

Lea mengembangkan senyum getir. "Kak, aku sudah pernah mengatakan ini pada Kak May sebelumnya. Aku akan melupakan Hans selamanya." Lea mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkan benda itu di atas meja.

Undangan?

Aku tersentak melihat benda itu. "Apa ini, Le?" tanyaku masih perlu kepastian meski aku tahu wujud benda itu adalah surat undangan pernikahan dan nama Lea tercantum sebagai sang mempelai wanita.

"Aku akan menikah, Kak," balasnya. Ia pernah mengatakan ini sebelumnya dan kupikir tidak serius.

"Tapi, Le." Aku masih tidak rela dengan keputusannya. "aku sudah pernah mengatakan, tunggu Hans sebentar lagi. Kenapa kau tidak mendengarkanku?"

"Kak," sela Lea tidak sabar. "jujur, aku memang masih mencintai Hans. Aku juga pernah memimpikan sebuah pernikahan dengannya. Tapi itu dulu. Sekarang semua telah berubah. Antara aku dan Hans sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi."

"Le..." Aku berusaha memotong pembicaraan Lea, tapi, gadis itu melanjutkan kalimatnya kembali.

"Aku sangat menghargai keputusan Kak May bersedia melepaskan Hans untukku, tapi percuma." Kalimat Lea terputus. Raut wajah gadis itu berubah muram. Entah apa sebabnya. "Hans adalah orang yang sangat menghargai sebuah komitmen dan ia juga bertanggung jawab atas apa yang dibebankan padanya," imbuh Lea membuatku tidak mengerti.

"Maksudnya?"

Lea menghirup oksigen dalam-dalam dari sekitar hidungnya. "Hans tidak akan kembali padaku meski Kak Lea memutuskan akan melepaskan dia. Tidak semudah itu ia melepaskan Kak May," tandas Lea seraya menatapku lekat-lekat.

Dan aku yang bodoh, sama sekali tidak mengerti maksud ucapannya. Butuh waktu beberapa detik untuk mencernanya.

"Aku serius, Le." Kali ini aku berusaha meyakinkan Lea. "aku benar-benar akan pergi jauh dari Hans. Aku akan menghilang dari hidup Hans selamanya."

"Kenapa? Memangnya Kak May akan pergi ke mana?"

"Aku tidak bisa mengatakannya padamu," balasku. Aku tidak mungkin memberitahunya tentang penyakitku bukan?

Lea mendesah keras. "Aku harus pergi sekarang, Kak. Seseorang sudah menungguku di luar," pamit Lea seraya bangkit dari tempat duduknya. Bahkan ia tidak memesan minuman.

Siapa? Tunanganmu-kah? batinku menebak.

"Le... " Aku berusaha mencegah kepergiannya.

"Kuharap Kak May bisa datang pada pernikahanku," ucap Lea. Ia mendekat ke arahku dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi kananku lalu melambaikan tangannya dan beranjak pergi. Menyisakan aroma wangi segar parfum di sekeliling tubuhku.

Aku hanya bisa tertegun di tempat dudukku dan memeluk cangkir cappucino di atas meja dengan kedua telapak tangan. Ia masih hangat, tapi, tidak sehangat tadi.

Hujan juga masih turun meski tidak se-intens tadi. Hanya titik-titik gerimis romantis dan menciptakan uap air pada kaca bening yang berjarak beberapa inchi dari kursiku. Sampai kapan aku akan bertahan di tempat ini?

Kaki-kakiku menapaki aspal yang basah dan terdapat kubangan kecil di sana-sini. Tak ada stiletto merah yang membungkus ujung kakiku hari ini. Hanya sepasang flat shoes berwarna hitam yang menggantikan posisinya. Aku sudah mengambil keputusan untuk menanggalkan stiletto itu selamanya. Aku sudah meletakkannya di rak sepatu paling bawah dan mungkin tidak akan menyentuhnya lagi.

Rumah sepi. Seperti biasa. Paling-paling Hans juga sedang sibuk mengurung diri di kamar. Berkutat dengan pekerjaannya. Sungguh, rumah ini seperti tak berpenghuni. Mati.

Aku mengetuk pintu kamar Hans pelan. Berharap ia tidak akan terkejut karena mendengar suara ketukan pintu yang tidak pernah ia dengar.

Pintu terbuka dan Hans muncul. Pria itu berdiri tepat di hadapanku. Kali ini ia memakai sebuah kaus pendek yang sedikit ketat, yang memperlihatkan sebuah dada bidang dan perut yang rata. Lengannya tampak keras dan kokoh. Otot-otot di sana sedikit menonjol. Aku tidak pernah tahu jika ia punya tubuh atletis. Karena aku juga tidak pernah melihatnya berolahraga.

Lagi-lagi aroma wangi sabun milik Hans membuatku gugup saat berada sedekat ini dengannya. Oh, Tuhan. Gejolak di dalam dadaku tak bisa kubendung lagi!

"Ada apa, May?"

Teguran Hans membangunkanku dari lamunan singkat tentangnya.

"Aku ingin bicara denganmu," tandasku. "tentang Lea." Aku langsung pada topik utama yang ingin kubahas dengannya.

Reaksi Hans? Ia mendesah pelan. Tak menunjukkan ekspresi apapun.

"Lea akan menikah, Hans," beritahuku sebelum Hans bertanya atau mengucapkan sesuatu. "cegah dia, Hans. Bujuk Lea untuk membatalkan pernikahannya." Kali ini aku memohon seperti pengemis padanya.

"Kenapa?" tanya Hans datar.

"Karena Lea hanya mencintaimu," sahutku cepat. "aku ingin kau yang menikahi Lea, bukan orang lain. Kumohon, Hans...."

"Aku sudah menikah denganmu, May. Apa kau ingin aku punya istri dua?!" Hans sedikit membesarkan pupil matanya.

"Aku akan meminta cerai darimu, Hans. Aku akan pergi dari hidupmu dan kalian bisa menikah seperti apa yang pernah kalian inginkan. Bukankah karena aku, kalian berpisah? Kumohon, Hans," ratapku bersungguh-sungguh. Kuharap Hans mendengarkan ucapanku.

"Tidak, May," tolak Hans. Ia menepiskan tanganku yang secara tidak sadar menarik ujung kausnya. "aku tidak mau."

Aku tercekat mendengar sebuah penolakan yang meluncur dari bibir Hans. Ini terdengar aneh bagiku.

"Kenapa?" Aku setengah bergumam.

"Karena aku dan Lea sudah berakhir."

"Tapi, Hans... "

"May!" Hans berseru sedikit lebih keras. "cukup. Jangan meminta apapun dariku. Aku tidak akan kembali pada Lea. Kau mengerti?"

Bruk.

Aku terpaku di tempatku berdiri saat Hans membanting pintu kamarnya. Tidak begitu keras, tapi, cukup untuk menyakiti perasaanku.

Kenapa? Kenapa? Aku hanya bisa bertanya dalam hati. Kenapa Hans dan Lea tidak mau kembali bersama lagi? Ada apa sebenarnya di antara mereka berdua? Apa mereka bertengkar?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top