leukimia

Leukimia?

Ujung kakiku yang terbungkus stiletto merah, menapaki ubin lorong rumah sakit dengan berat. Gontai. Limbung. Berkali-kali nyaris jatuh karena gerakannya tak seimbang. Kaki dan otakku seolah enggan bekerja sama dengan baik. Kacau!

Aku mengidap leukimia?

Argh. Sepasang mataku yang menunduk menatap lantai perlahan mulai mengabur. Seperti ada selembar kaca buram yang menghalangi mataku. Pipiku memanas. Seluruh wajahku panas!

Ya, Tuhan! Aku menggigit bibir bawahku dengan keras. Satu kata yang diucapkan Dokter Sandy terngiang lagi di telingaku. Leukimia, May! Kau mengidap leukimia dan sisa umurmu hanya 6 bulan lagi!

Langkahku terseok dan aku berhenti di salah satu sudut lorong rumah sakit. Aku menempati salah satu kursi yang berjajar di sana. Rasanya aku tidak sanggup meneruskan langkah.

Lalu lalang perawat dan pengunjung rumah sakit sama sekali tak mengalihkan perhatianku. Karena bagiku waktu seperti berhenti saat ini, meski napasku masih berhembus. Setidaknya sampai beberapa bulan lagi. Mungkin. Jika Tuhan mengizinkan.

Selama ini aku merasa baik-baik saja sampai hari kemarin. Siapa sangka ternyata aku mengidap penyakit mematikan itu. Seperti ucapan Dokter Sandy, penyakit itu tidak menunjukkan gejala apapun pada penderitanya. Gejala baru muncul saat penyakit itu mulai mengganas.

Kau harus segera mendapat pengobatan, May. Secepatnya. Kau harus dikemoterapi sebelum terlambat.

Tetes-tetes hangat meluncur bebas dari kedua mataku. Mengalir pelan dan membentuk sebuah anak sungai di pipiku. Menderas tanpa isak. Apa kemoterapi bisa menyembuhkan penyakitku? Masih adakah harapan untukku?

Aku mendekap tubuhku sendiri yang mulai menggigil. Angin ataukah penyakit itu yang membuatku seperti ini? Siang sudah berangsur petang dan aku sendirian. Dua orang pegawai toko yang membawaku ke rumah sakit sudah kusuruh pergi sejak tadi setelah aku berhasil meyakinkan mereka jika aku baik-baik saja.

Aku pernah menonton drama yang kisahnya mirip seperti apa yang kualami sekarang. Sang pemeran utama mengidap leukimia dan meski ia sudah menjalani pengobatan tetap saja kisah itu berakhir dengan sedih. Ia meninggal karena penyakit itu. Apa aku juga akan berakhir sama seperti dia? Sementara ini bukan drama. Ini kenyataan yang sesungguhnya!

Ya, Tuhan! Kali ini aku tak bisa menahan isak. Tak peduli orang-orang menatapku dengan tatapan iba. Padahal aku tak pernah meneteskan air mata sepatah apapun hatiku. Meski Hans yang melakukannya. Meski Hans selalu bersikap dingin padaku. Aku tetap bisa tersenyum dan berpura-pura tegar. Sehancur apapun hatiku saat itu. Tapi, aku tak bisa menahan ledakan tangis sekarang ini. Aku lebih dari 'hancur'. Aku tamat!

Sebuah lollipop pelangi terulur dari sebuah tangan mungil ke depan wajahku. Meredakan semua tangis yang sempat pecah beberapa detik lalu. Aku tercekat dan buru-buru mengusap pipi dan mataku. Mengeringkan air mata yang masih menggenang di sana.

Seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun berdiri di depanku. Mengulurkan sebuah lollipop jumbo berbentuk hati dan bermotif pelangi kepadaku. Gadis kecil itu sesekali mengerjapkan kedua matanya yang tidak lepas menatapku. Ia manis. Rambut hitam pendeknya tampak berkilauan diterpa sinar lampu. Kulitnya putih dan pipinya tampak gemuk menggemaskan. Tapi, ia tidak mengeluarkan sepatah katapun. Tidak juga sebuah senyum.

"Untukmu saja," tandasku pelan. Setelah berhasil mengendalikan diri. Aku berusaha mengukir senyum tipis untuknya.

Gadis kecil itu terdiam sebentar. Tanpa kuduga tiba-tiba saja ia mengambil tempat duduk tepat di sebelahku. Menatap lurus ke depan dan mulai menjilati lollipop dalam genggamannya.

Ah, anak siapa gerangan? batinku seraya menoleh ke kanan dan kiri. Tak kutemukan tanda-tanda apapun. Tak ada seseorang yang sedang mencari keberadaan gadis kecil itu.

"Kakak menangis?"

Aku sontak menoleh mendengar teguran gadis kecil itu. Suaranya terdengar manis. Ia menatapku tajam tanpa ekspresi. Nyaris tak berkedip.

"Kenapa?" Ia bertanya lagi. Aku mencoba mengurai sebuah senyum pahit. Aku ingin sekali tulus melakukannya, tapi, malah tampak sebagai sebuah senyum terpaksa. Ia kembali menjilat lollipop miliknya.

"Kau tahu," ucapku akhirnya. "terkadang seseorang harus menangis dalam hidupnya. Tapi, hanya sesekali. Tidak setiap hari," tandasku. Semoga ia mampu mencerna ucapanku dengan baik.

"Aku juga pernah melihat Ibuku menangis," gumamnya seraya menatap lurus ke depan. "aku juga kadang menangis."

"Kenapa kau menangis?" Aku menderanya dengan sebuah pertanyaan klasik.

"Karena Ibu tidak mau membelikanku mainan yang kusuka," jawabnya polos. Ya, begitulah anak-anak. Tapi, menurutku ia adalah seorang anak yang pintar.

"Oh," gumamku. "mungkin karena Ibumu tidak punya uang, makanya dia tidak membelikanmu mainan."

Gadis kecil itu terdiam sejenak. "Lalu kenapa Kakak tadi menangis? Apa Kakak tidak punya uang juga?"

Pertanyaan polosnya membuatku tersenyum. Setidaknya aku sedikit merasa terhibur karena kehadirannya.

"Bukan," sahutku setelah berhasil meredakan senyum. "karena Kakak sedang sakit," ungkapku jujur.

"Oh." Bibir gadis kecil itu membulat. Membuat pipi gemuknya tampak menggemaskan. "kalau Kakak sedang sakit Kakak harus minum obat biar cepat sembuh," ucapnya memberi nasihat. Wajahnya dibuat sedemikian serius.

"Ya," gumamku sambil mengangguk ringan.

Gadis kecil itu beranjak turun dari kursinya dan menatapku. Ia melambaikan tangannya lalu berlari kecil ke arah lorong rumah sakit. Ia tampak membelok ke sebuah pintu dan menghilang di sana. Mungkin ia adalah salah seorang keluarga pasien penghuni kamar itu. Bisa jadi ia sedang bosan berada di dalam kamar itu terus menerus.

Aku hanya bisa menghela napas setelahnya. Setidaknya hatiku sedikit terhibur meski hanya sebentar. Karena gadis kecil itu.

Aku memutuskan untuk beranjak dari tempat dudukku. Kurasa aku sudah terlalu lama membiarkan diriku berada di tempat itu. Aku harus pulang. Sekacau apapun pikiranku saat ini.

Aku berhenti persis di depan gang menuju rumah. Pengemudi taksi mengucapkan banyak terima kasih saat aku membayar dengan uang lebih dan menyuruhnya untuk menyimpan kembaliannya.

Malam ini cerah. Stiletto merahku aman. Tapi, langkahku tak seimbang. Gontai dan setengah di seret. Gang tampak sepi. Selalu seperti itu jika aku melewatinya sedikit malam dari biasanya. Hawa dingin menyergap tubuhku yang hanya terbalut sebuah atasan tipis dipadu dengan long cardigan dan sebuah kulot polos yang tidak terlalu longgar.

Bruk.

Bahuku menubruk sesuatu. Akibat aku terlalu sibuk menatap langkahku sendiri dan tidak menyadari di depanku juga ada seorang pejalan kaki. May yang ceroboh!

"Maaf," ucapku spontan. Terbata.

"May!"

Aku mendongakkan kepala dan tercengang menatap Si pemilik bahu yang kutabrak. Sam? Aku mundur dua langkah dan selanjutnya terpaku di sana. Menatap pria itu dengan tatapan terkejut. Aroma parfum milik Sam menyentuh hidungku sejurus kemudian.

"Maaf, Sam. Aku tidak melihatmu tadi." Aku mengulangi permintaan maafku. Sebuah kesalahan besar telah kulakukan karena menabrak orang yang kukenal. Andai saja ia orang lain...

"Kau benar-benar tidak melihatku?" Sam melipat dahinya menjadi beberapa bagian. Tatapan matanya meluncur tepat ke wajahku. Tatapan aneh dan dingin.

"Maaf, Sam."

Kenapa aku berubah canggung di depan Sam? Dia bukan siapa-siapa bagiku. Hanya sahabat Hans yang sering bertandang ke rumah. Karena dia selalu menatapmu dengan aneh, May! Aku membatin sendirian.

"Ada apa, May?" cecar Sam selanjutnya. Sepertinya ia sengaja memojokkanku.

Aku menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya kelelahan." Aku berusaha mencari alasan seraya menyunggingkan senyum getir.

"Oh." Sam menggumam pendek. "apa kau selalu seperti itu?"

"Apa?" sahutku cepat.

"Apa kau selalu menabrak orang seperti itu?"

Aku menghela napas. Kenapa Sam tiba-tiba mengajakku bicara seperti ini? Topik pembicaraannya juga aneh.

"Aku masuk dulu, Sam..."

Tiba-tiba tangan Sam mencekal lenganku tepat di saat kakiku mengayun satu langkah ke depan. Ya, aku sengaja ingin menghindarinya. Tapi, apa yang ia lakukan padaku?

"Kau tidak bahagia, kan, May?" Suara Sam begitu dekat di telingaku. Jarak kami hanya berkisar satu jengkal saja sehingga aku bisa mencium kuat-kuat aroma parfum milik Sam.

Aku memberanikan diri untuk menatap mata Sam lekat-lekat. Aku tidak pernah melakukan hal ini pada siapapun sebelumnya. Ternyata di dalam tatapan mata seseorang memiliki sebuah daya tarik magis tersendiri.

"Apa yang sedang kau bicarakan, Sam?" Aku mencoba mengelak meski aku sangat paham apa yang sedang ia bicarakan. Aku mencoba melepaskan cekalan tangan Sam, tapi gagal. Tangan Sam terlalu kokoh.

"Aku kasihan padamu, May," ucap Sam. "kau tidak layak hidup seperti ini. Kau harus bahagia, kau tahu?"

Ucapan Sam membuatku menyunggingkan senyum kecut. Ia memang benar, tapi, aku sangat ingin mengingkarinya.

"Kurasa hidupku bukan urusanmu, Sam," ucapku sedikit ketus. Aku berusaha keras untuk melepaskan diri dari Sam kali ini. Terjadi pergumulan kecil karena Sam juga bersikukuh tidak mau melepaskan tanganku.

Pluk.

Tasku terjatuh akibat pergumulan itu. Beberapa isinya ikut terlempar keluar karena aku lupa menutup resletingnya setelah membayar argo taksi tadi. Ponsel, lipstik, bedak, dan obat itu! Obat pereda rasa sakit dan anti kanker yang diresepkan Dokter Sandy.

Terlambat! pekikku dalam hati. Aku hanya bisa menatap Sam yang bergerak cepat memungut obat-obatan itu dari atas aspal.

"Kau sakit, May?" Sam beralih menatapku dengan pupil mata yang sedikit lebih lebar dari sebelumnya.

Oh, Tuhan. Kenapa insiden kecil seperti ini mesti terjadi? Aku merebut obat-obatan itu dari tangan Sam dan memungut barang-barangku dari atas aspal. Dengan setengah berlari aku pergi meninggalkan tempat itu. Mendorong pintu gerbang rumah dengan kuat sehingga menimbulkan bunyi derit keras.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top