journey

Aku menyandarkan kepalaku dengan manja ke sandaran kursi yang berbungkus kain biru bertuliskan nama sebuah perusahaan otomotif, seraya membuang pandangan ke luar jendela. Bus yang kutumpangi, meninggalkan terminal setengah jam yang lalu. Ia melaju dengan kecepatan sedang karena jam-jam sibuk seperti sekarang lalu lintas selalu padat. Perjalanan masih lama, sekitar dua jam lagi untuk sampai di tempat tujuan. Dan aku harus membunuh rasa bosan dengan menikmati setiap pemandangan yang disajikan di luar sana.

Rumah, pohon, gedung, orang-orang, dan semua yang ada di luar sana tampak berlari berlawanan dengan arah laju bus yang kutumpangi. Bus tak penuh. Hanya seorang pengamen tampak berdiri di tengah-tengah bus seraya menyanyikan sebuah lagu yang sama sekali tidak kuketahui judulnya. Tangannya sibuk memetik sebuah gitar yang tampak usang. Mengisi keheningan bus.

Aku sudah mengirimkan sebuah pesan singkat lewat sms kepada Hans pagi tadi. Tentang kepergianku. Aku hanya menyebutkan jika aku mengunjungi panti asuhan lamaku dan hanya pergi selama dua atau tiga hari. Tetapi, sampai sekarang Hans sama sekali tidak membalas smsku. Tidak mungkin dia tidak membacanya kan? Lagipula kenapa aku merisaukannya? Bukankah aku dan Hans sudah terbiasa seperti ini.

Suara pengamen itu terhenti dan ia mulai mengumpulkan recehan dari para penumpang bus. Aku juga mengeluarkan selembar uang dari dalam saku celana jeans dan memasukkannya ke dalam kantung bekas makanan yang disodorkan pengamen itu. Lalu kembali membuang pandangan ke arah luar jendela, tempat di mana aku melayangkan lamunan.

Aku terbangun dari tidur singkat manakala bus telah berhenti di sebuah terminal kecil. Aku mengucek mata sebentar dan meneliti keadaan di luar sana. Ya, aku telah sampai di tujuanku. Punggungku kaku.

Barang yang kubawa tak banyak. Hanya sebuah tas jinjing berisi beberapa lembar pakaian dan tas yang biasa kugunakan untuk bekerja. Aku turun dari bus seperti yang penumpang lain lakukan dan sinar matahari yang terik langsung menyambut kedatanganku. Aku terpaksa menyipitkan kedua mataku untuk menghalangi sinar ultraviolet yang terpancar garang.

"Ojek, Neng?"

Seorang pria berusia sekitar 40-an menghampiriku dan menegur dengan ramah. Jaket kulit yang membungkus tubuhnya tampak usang, mungkin terlalu banyak terpapar sinar matahari dan hujan. Warnanya hitam kecoklatan dan terkesan mengelupas di sana sini.

"Ah, iya." Aku langsung menerima tawarannya karena aku ingin cepat sampai di tempat tujuanku. Aku menyebutkan alamat panti dan kami melakukan negosiasi harga.

Untuk sampai di panti memerlukan waktu sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.

Panti asuhan itu berada di dekat sebuah bukit kecil. Keadaan panti tampak jauh berubah dari terakhir kali aku meninggalkan tempat itu. Bangunan panti sudah mengalami renovasi dan sedikit ada perubahan di sana-sini. Membuatku nyaris tidak mengenalinya.

Bangunan panti tampak dibalut cat berwarna putih bersih menggantikan warna putih kusam dan berhiaskan bercak-bercak kecokelatan. Gentingnya pun sudah diganti dengan yang baru. Pintu, jendela, ubin, semua tampak baru. Dan hal yang benar-benar baru adalah sebuah ayunan yang dipasang di sudut halaman.

Aku melangkah pelan seraya meneliti keadaan sekitar yang terasa asing bagiku, meski aku tumbuh bdi sini. Karena semua tampak baru. Sepi. Mungkin anak-anak panti sedang sekolah, batinku seraya mengetuk pintu kantor Bunda Fatimah yang terbuka. Wanita yang sedang duduk di belakang meja kerjanya itu menaikkan dagunya setelah mendengar ketukanku. Ia menatapku sedikit lebih lama. Tampaknya ia terkesima atau mungkin sedang berusaha keras mengenali wajahku.

"Mayra?" Wanita itu melangkah tergesa ke hadapanku. Sepasang matanya meneliti wajahku dengan seksama. "benarkah ini kau, May?" Ia menepuk pipiku dengan lembut.

"Ya, Bun," sambutku sambil mengurai sebuah senyum. Wanita itu meraih tubuhku ke dalam pelukannya setelah aku mengangguk dan berhasil meyakinkannya.

"Sudah lama sekali kau tidak mampir ke sini," tandasnya seraya melepaskan tubuhku. "apa kabarmu, Nak?" Wanita itu menggiringku ke sofa dan mendudukkanku di sana.

"Baik, Bun. Bunda apa kabar?" Aku balas menanyakan kabarnya. Bunda Fatimah tampak sehat meski kerutan di bawah matanya bertambah beberapa garis. Tak banyak yang berubah darinya. Berat badannya juga tampak stabil.

"Bunda baik, May," sahutnya. "kenapa baru datang sekarang?"

"May sibuk, Bun," jawabku. "lama tidak ke sini, banyak yang berubah dari panti ini." Aku menebarkan pandangan ke sekeliling ruang kerja Bunda Fatimah. Ruangan itu sekarang berganti warna hijau muda. Seingatku dulu berwarna krem.

Bunda Fatimah mengembangkan senyum. Raut wajahnya menyiratkan kebahagiaan tidak terkira. Aku tahu sejak dulu ia bermimpi bisa merenovasi panti ini dan agaknya harapan Bunda Fatimah sudah terkabul.

"Seorang donatur telah berbaik hati membangun panti kita. Dia menghabiskan banyak uang untuk semua ini," paparnya masih mengembangkan senyum. "Bunda sangat bersyukur, May. Akhirnya doa-doa Bunda terkabul. Anak-anak panti juga mendapatkan kehidupan yang lebih baik sekarang," papar Bunda Fatimah menguraikan penjelasan asal muasal pembangunan panti.

"May turut bahagia, Bun," ucapku.

"Oh, ya. Bunda sampai lupa." Bunda Fatimah mengulurkan tangannya padaku. "yuk, kita makan. Kamu pasti haus dan lapar setelah melakukan perjalanan, kan?" ajaknya kemudian. Ia menyeret tanganku dengan paksa menuju ke ruang makan yang berada di sisi kanan kantor panti. Ruangan itu berisi tiga buah meja besar yang dijajar dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Biasanya ruangan itu difungsikan sebagai ruang makan dan ruang belajar anak-anak panti. Namun, tak banyak yang berubah di sana.

Bunda Fatimah dan aku makan siang bersama di sana. Sembari bercerita dan bertukar pikiran. Sesekali kami mengenang masa lalu, saat aku masih berstatus sebagai anak panti. Terlalu banyak kenangan indah yang kutinggalkan di sini. Tapi, entah di mana teman-temanku dulu.

"Sepertinya waktu cepat sekali berlalu," gumam Bunda Fatimah agak pelan. Wanita itu meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Padahal makanannya masih tersisa di sana. "sekarang kau sudah sebesar ini, May. Kau sudah dewasa dan cantik. Bunda masih ingat saat pertama kali kau ke sini. Kau sudah melalui proses pendewasaan yang panjang. Bunda sangat bersyukur bisa menjadi bagian dalam hidupmu," tandas Bunda Fatimah dengan sepasang mata yang berkabut dan lurus menatapku.

"Bunda adalah bagian terindah dalam hidupku." Aku meraih genggaman tangan Bunda Fatimah dan menciumnya. Aku juga mengukir sebuah senyum terbaik untuknya. Untuk sejenak aku melupakan semua beban yang mendera pundakku. Juga Hans.

"Kau selalu bisa merayu Bunda. Dasar," olok Bunda Fatimah di sela-sela senyum. Ia menyentil hidungku dengan gemas. "kau akan menginap di sini, kan?"

Aku mengangguk sebagai ganti jawaban 'ya'. "May akan tinggal di sini selama beberapa hari. Boleh, kan, Bun?"

"Tentu saja boleh," sahut Bunda Fatimah cepat. "malah Bunda senang kau menginap di sini. Lebih lama juga tidak apa-apa." Wanita itu tertawa setelah mengucapkan kalimatnya.

"Bagaimana kalau nanti sore kita ke bukit belakang panti? May rindu melihat pemandangan sawah, menghirup udara sore yang sejuk, dan menunggu matahari tenggelam. Bunda setuju, kan?" tanyaku seperti anak kecil kepada ibunya. Seperti diriku beberapa tahun yang lalu.

"Tentu saja," sahut Bunda Fatimah tampak antusias. Ia tampak senang mendengar ajakanku. "sekarang habiskan makananmu dan setelah ini kita berkeliling panti. Sebentar lagi anak-anak akan pulang sekolah. Bunda akan mengenalkanmu pada mereka."

"Baik, Bun. Bunda sendiri juga harus menghabiskan makanan Bunda... "

"Ya, May."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top