destiny
Tiga bulan kemudian...
Di luar tampak titik-titik gerimis mulai berjatuhan membasahi jalanan dan apa saja yang berada di sana. Belum begitu deras, tapi, sudah cukup membuat orang-orang di luar sana berlarian untuk menghindari gerimis. Mereka tidak suka basah dan berupaya semaksimal mungkin menghindari air yang berjatuhan dari langit. Sementara aku menyandarkan punggungku senyaman mungkin pada kursi kayu yang sedang kududuki sekarang. Secangkir cappucino tersaji di atas meja semenit yang lalu. Kepulan asap tipis tampak keluar dari isi cangkir di hadapanku. Menebarkan aroma harum khas cappucino ke sekitar hidungku. Menggiurkan. Perpaduan istimewa antara hujan dan secangkir cappucino. Tapi, aku tak bisa meminumnya sekarang karena ia masih terlalu panas di lidahku.
Seporsi kecil pisang bakar bertabur parutan keju dan lelehan cokelat, sengaja kupesan untuk menemani cangkir cappucinoku. Aku belum makan siang dan entah kenapa aku tergelitik untuk memesan sesuatu makanan di cafe ini.
Suasana cafe lumayan ramai hari ini. Tak seperti waktu terakhir kali aku berkunjung ke tempat ini. Meski hari ini weekdays, tapi, seluruh meja di cafe terisi penuh. Dan aku sangat bersyukur karena aku masih kebagian tempat di meja favoritku. Meja paling ujung persis di sebelah jendela kaca dengan sajian pemandangan hujan di luar cafe.
Sedikitpun tidak ada yang berubah dengan design interior cafe, hanya alunan musik yang berbeda dari biasanya. Sebuah tembang lama I knew I loved you milik Savage Garden terdengar manis mengusik telingaku. Rasanya sudah lama aku tidak mendengar alunan lagu itu dan sepertinya aku sedang tersanjung karenanya. Entah sengaja atau tidak, setiap aku datang ke cafe ini dan menikmati secangkir cappucino, apapun lagu yang diputar selalu bisa mewakili perasaanku. Dan siapapun yang memutar lagu itu, aku ucapkan terima kasih.
Aku seperti terlahir kembali setelah menjalani operasi transplantasi sumsum tulang belakang. Aku sudah sembuh dan mulai menata kehidupanku dari awal lagi. Hal-hal yang tidak pernah kupercayai sebelumnya kini kuyakini sepenuhnya. Keajaiban, cinta, harapan, dan takdir. Semua hal itu berujung pada satu nama, Hans.
Aku dan Hans akhirnya memulai kehidupan rumah tangga kami yang sebenarnya. Bukan sekadar status di atas kertas, melainkan kehidupan di dunia nyata. Hidup seperti layaknya suami istri yang sesungguhnya. Ya, dan aku bahagia!
"Sudah lama, May?"
Aku menengadahkan wajah begitu suara teguran itu terdengar menghentikan lamunan kecilku. Pria itu telah datang.
"Belum, Hans," balasku senang.
Hans mengambil tempat duduk di depanku. Aku bersyukur ia baik-baik saja, tidak terkena air hujan sedikitpun.
"Kau pesan apa, May?" tanya Hans sembari mengambil cangkir milikku dan langsung meneguknya perlahan. Bahkan ia tidak meminta izinku terlebih dahulu. "kau suka cappucino?" tanya Hans kembali. Pria itu meletakkan kembali cangkir milikku di hadapannya.
"Ya. Dan kau telah mencurinya dariku," ucapku memasang wajah cemberut.
Hans tergelak mendengar ucapanku. "Maaf, Sayang. Tapi, aku terlalu haus tadi. Dan aku mencium sesuatu yang harum. Cappucino favoritku," tandasnya kalem.
Wow, aku berdecak dalam hati.
"Jadi, selera kita sama?" tanyaku setengah tak percaya. Aku membesarkan sedikit pupil mataku saat menatap pria itu.
"Ya," sahut Hans cepat. "dan kau boleh memesannya lagi karena cappucino ini milikku," lanjutnya seraya menunjuk cangkir milikku.
"Baiklah, Hans," ucapku mengalah. Aku memanggil seorang pelayan dan memesan secangkir cappucino kembali.
"Jadi, sejak kapan kau suka nongkrong di cafe seperti ini?" tanya Hans setelah pelayan itu pergi. Ia menautkan kedua alisnya.
"Nongkrong?" Aku mengulangi ucapannya. "apa duduk di cafe seperti ini dan menikmati secangkir cappucino disebut nongkrong?"
"Hm," balasnya seraya mengangguk. "dan aku curiga kenapa kau suka nongkrong di cafe sahabatku," ucapnya lagi. Membuatku tak mengerti. Cafe sahabatnya?
"Siapa?" Aku mengerutkan dahi.
"Kau tidak tahu siapa pemilik cafe ini?" Sam malah balas bertanya. Dahinya ikut-ikutan berkerut.
Aku menggeleng dengan gerakan pelan.
"Aku tidak pernah bertemu dengan pemilik cafe ini," ucapku. "memangnya siapa pemilik cafe ini?"
"Tanya padanya," jawab Hans seraya menunjuk seorang pelayan yang datang ke meja kami dengan membawa pesananku. Dengan dagunya.
Huh, Hans membuatku kesal.
"Mas, siapa pemilik cafe ini?" Aku mencoba memberanikan diri bertanya pada seorang pelayan usai ia meletakkan cangkir cappucino pesananku.
"Oh." Pelayan itu menggumam sebentar. "cafe ini milik Pak Sam. Tapi, dia jarang ke sini. Hanya sesekali berkunjung. Karena dia punya kesibukan di tempat lain. Maklumlah, tempat usahanya bukan cafe ini saja," papar pelayan itu cukup jelas.
Aku terbelalak mendengar penjelasannya. Sam? Maksudnya Sam sahabat Hans?
"Oh, terima kasih." Aku tidak lupa mengucapkan terima kasih dan membiarkannya pergi setelah cukup tercengang dengan penjelasannya. "aku tidak tahu pemilik cafe ini adalah Sam. Aku tidak pernah bertemu dengannya di sini, Hans," jelasku.
"Benarkah?" tanya Hans membuatku sedikit khawatir. "kau akan bertemu di sini dengannya sebentar lagi."
Aku belum bisa menangkap maksud Hans sampai kudengar sebuah sapaan yang tak asing di telinga. Sapaan Sam dan aroma parfum miliknya menguar ke sekitar hidungku.
"Hai!"
Sam menepuk pundak Hans dengan begitu akrab. Lalu beralih menatapku.
"Apa kabar, May? Sehat?" Giliran Sam menyapaku. Sebuah senyum manis ia lempar dengan hangat kepadaku.
"Ya, Sam." Aku balas melempar senyum yang sama kepadanya.
"Hei, dia itu istriku, Sam," celutuk Hans menengahi tegur sapa di antara kami. Membuatku ingin meledakkan tawa.
"Ok," sahut Sam cepat. "tapi, kalau kau tidak menjaganya dengan baik, jangan menyesal, Hans. Aku akan merebutnya darimu," ucap Sam mengancam, namun, diiringi dengan gelak tawa.
Hans menimpuk bahu Sam dengan gemas. Membuat pria itu harus merasakan rasa sakit di bahunya. Sementara aku hanya bisa menahan tawa melihat tingkah kedua sahabat itu.
"Baiklah, kalian nikmati saja minuman dan makanan di sini. Aku harus memeriksa pekerjaan dulu," pamit Sam beberapa saat kemudian. Setelah canda tawa di antara mereka telah selesai.
Aku menatap sekilas punggung Sam lantas beralih kepada pria di hadapanku.
"Kau ingin bulan madu ke mana, May?"
Hah? Lagi-lagi aku terkejut mendengar pertanyaan Hans. "Bulan madu?" ulangku.
"Ya." Hans mengangguk. "aku akan mengambil cuti akhir bulan ini. Kau punya ide? Dalam atau luar negeri?" tawar Hans memberikan pilihan.
"Terserah kau, Hans."
"Bagaimana kalau ke Bangkok? Kita bisa berburu tiket murah di internet," usul Hans tampak bersemangat. Senyum di wajahnya terlihat cerah. Dan aku langsung menyetujui usulnya.
Aku menatap langkah kakiku sendiri saat pergi meninggalkan cafe. Aku tersenyum saat melihat kedua ujung kakiku yang kini terbungkus stiletto merah kesayanganku yang beberapa waktu tersimpan di dalam lemari. Kini mereka melangkah dengan ringan bersanding dengan sepasang sepatu hitam milik Hans. Kurasa mereka juga bahagia telah menemukan teman untuk melangkah bersama. Seperti aku yang telah menemukan Hans...
Selesai
5 Mei 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top