come

Ical mengulurkan setangkai mawar merah yang kelopaknya setengah mekar ke hadapanku. Bukan bunga rumput seperti beberapa waktu yang lalu. Wajahnya masih sama seperti biasa, tanpa ekspresi. Namun, sinar matanya tampak teduh menatap ke arahku.

"Terima kasih," sambutku bahagia. Aku meraih tangkai mawar merah itu, menciumnya seperti yang gadis-gadis lain lakukan jika menerima bunga mawar merah dari sang kekasih. Sayangnya mawar itu kudapat bukan dari kekasihku.  "duduklah." Aku menepuk-nepuk tepian tempat tidur di sebelah kananku. Mempersilakannya agar duduk di sana.

Ical menuruti perintahku meski tanpa melontarkan kata-kata. Aku membenahi posisiku, bersandar pada tumpukan bantal agar kepalaku lebih tinggi dari tubuhku.

"Dari mana kau dapat mawar ini?" tanyaku seraya mengembangkan sebuah senyum pada Ical. Anak itu tampak tegang dan membuatku ingin tertawa saat melihatnya.

Ical tak menyahut. Tangannya menunjuk ke salah satu arah. Entah apa maksudnya.

Aku mengernyitkan dahi. Menunjukkan ketidakmengertianku. Katakan padaku, Ical.

"Dari luar?" Aku mencoba menebak. Tapi, anak itu menggeleng. Membuatku semakin bingung.

"Dari taman panti."

Ya, Tuhan. Akhirnya, batinku. Aku bersorak dalam hati saat mendengar suara Ical. Akhirnya anak itu mau bicara denganku.

"Oh, ya?" Aku baru ingat di belakang panti ada sebidang tanah kecil yang ditanami beberapa jenis bunga dan sayuran. Dan aku juga baru ingat kalau ada beberapa bunga mawar tumbuh di sana. "apa Bunda tahu kau memetik mawar kesayangannya?"

Ical menggeleng.

Aku mengelus kepalanya dengan lembut. Setidaknya aku juga menyayanginya sebagai saudara kecilku.

"Kak May cepat sembuh," ucap Ical sejurus kemudian. Aku bisa mendengar ketulusan dari getar suaranya. "aku ingin menikah dengan Kak May saat sudah besar nanti."

Tawaku nyaris pecah usai mendengar pengakuan polosnya. Menikah denganku? Tapi, aku sudah menikah. Mungkin akan lebih baik jika aku dan Ical tumbuh besar bersama-sama. Mungkin juga aku akan menikahinya, seandainya hal itu benar-benar terjadi.

"Benarkah?" Aku mendelikkan mataku padanya. Dan ia menyambutnya segera dengan sebuah anggukan mantap. "kenapa kau mau menikah denganku?" Aku mencoba mengujinya dengan sebuah pertanyaan.

"Karena Kak May cantik," ucap Ical sekali lagi membuatku ingin meledakkan tawa. Ia mengucapkan kalimat itu dengan mimik serius.

Aku cantik? batinku geli. Ical adalah orang pertama yang mengatakan aku cantik. Mungkin cara pandangnya terhadapku berbeda dari kebanyakan orang. Aku tidak secantik itu, Ical. Aku hanya wanita biasa-biasa saja, tapi, terima kasih telah mengatakan hal itu padaku.

"Karena Kakak cantik, makanya kau ingin menikah denganku?" Aku mengajukan pertanyaan itu untuk lebih meyakinkan ucapannya meski itu tidak penting. Itu hanya angan-angan seorang anak kecil dan beberapa anak mengalaminya.

Ical mengangguk kembali dengan mantap. Sebenarnya orang menikah bukan karena sekadar satu alasan itu bukan?

"Karena Kak May memiliki hati yang lembut," tandas Ical beberapa saat kemudian.

Aku terdiam mendengar ungkapan hati Ical. Entahlah, ada sesuatu yang seperti ingin meledak di dalam dadaku. Sebuah perasaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Dan seorang anak sekecil itu mengatakan sesuatu yang membuatku melambung untuk beberapa detik lamanya. Tersanjung.

Benarkah aku seperti yang ia ucapkan?

Aku meraih tubuh kecil Ical dan mendekapnya dengan erat. Berjuta rasa terima kasihku hanya bisa kuungkapkan lewat sebuah pelukan hangat. Andai ada seseorang yang melihatku seperti pandangan Ical.

"Apa aku mengganggu?"

Suara yang tidak begitu asing itu merusak suasana hening nan haru di antara aku dan Ical. Aku melepaskan tubuh kecil Ical dan buru-buru melihat siapa gerangan yang datang.

Oh, Tuhan! Tiba-tiba saja jantungku berdegup lebih keras dan seolah hendak berhenti setelahnya demi melihat siapa pemilik suara yang tidak asing itu. Sam!

Aku belum bisa menunjukkan reaksi apapun kecuali hanya tertegun seperti patung yang baru saja dipahat. Sepasang mata yang membelalak tanpa kedip dan mulut yang menganga. Bahkan sampai saat Sam berhasil mendekat ke tempat tidurku.

"May," sapa Sam. Sapaan yang biasa kuterima dari Sam dan sanggup menyadarkanku dari ketertegunan. Ia berdiri kaku di sebelah tempat tidurku.

Aku segera menyuruh Ical untuk meninggalkan kami berdua. Meski anak itu tampak sedikit berat untuk melakukannya.

"Bagaimana kau bisa ke sini, Sam?" Aku baru mengajukan pertanyaan setelah Ical benar-benar pergi. Anak itu telah menutup pintu kamarku.

Sam tidak segera menjawab pertanyaanku. Pria itu mengambil tempat duduk di tepian ranjangku. Lalu menatapku dengan pandangan yang menurutku sedikit menusuk perasaan. Seperti yang biasa ia lakukan dulu. Dan aroma parfum yang sama langsung menyentuh hidungku.

"Kenapa kau tidak bilang tentang penyakitmu, May?"

Jleb.

Pertanyaan Sam langsung menancap di hatiku. Bagaimana ia bisa tahu tentang hal itu?

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku sedikit terbata.

Sam menghela napas berat. Seperti ada yang mengganjal di dalam dadanya. Apa gerangan? Dirikukah? Bukankah dia pernah mengatakan perasaannya padaku? Sebesar itukah rasa cintanya padaku?

"Dari facebook," jawab Sam langsung membuatku paham. Bunda Fatimah pasti telah mengunggah berita tentangku. Mungkin sedikit lebih detail dan secara kebetulan ada yang membaginya ke beranda facebook milik Sam. "jadi, obat-obatan yang aku lihat saat itu... "

Aku mengangguk sebelum kalimat Sam selesai.

"May." Sam lebih mendekatkan tubuhnya dan tangannya mencoba meraih genggamanku. "kenapa tidak bilang padaku tentang ini?"

Aku menggeleng pelan tanpa jawaban lisan.

"Kau ingin menyimpannya sendirian?" tanya Sam lagi. Lebih mendesak.

"Ya," jawabku akhirnya.

"Kenapa?" Sam mendesak lagi. Sinar matanya lebih menyudutkanku sampai aku harus menerjang ke dalam matanya.

"Untuk apa?" Aku menepis tangan Sam yang menggenggam tanganku sejak beberapa saat lalu. Sepasang mataku terasa berat seolah menyimpan berliter-liter air mata yang siap tertumpah kapan saja.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Pertanyaan Sam lebih terdengar seperti sebuah protes. "tentu saja aku akan membantumu. Kau harus berobat. Kau harus sembuh, May."

"Untuk apa?!" Kali ini suaraku sedikit lebih kencang dan bergetar. Aku sedang meluapkan perasaan gundah yang selama ini terus menerus menderaku.

"Kenapa kau bertanya seperti itu, May?!" Sam setengah berseru menyaingi suaraku. Ia mencekal tanganku dengan erat. "kau harus sembuh. Demi aku!"

Aku menatap ke dalam mata Sam dengan tajam.

Tapi, aku tidak punya perasaan apa-apa terhadapmu, Sam. Aku hanya mencintai Hans.

"Aku mencintai Hans, Sam," gumamku mencoba memberi pengertian padanya.

"Aku tahu." Ia menyahut dengan cepat. "dan aku tidak pernah memintamu untuk membalas perasaanku, May. Aku hanya ingin melihatmu bahagia. Itu sudah lebih dari cukup untukku."

Aku luluh. Aku seolah seperti tersadarkan oleh ucapan Sam. Bahwa ternyata di dunia ini, masih ada seseorang yang begitu tulus mencintaiku. Apapun adanya diriku. Padahal  sebelumnya aku menganggap dunia ini tidak adil untukku. Aku salah besar. Masih ada sebentuk hati nan tulus yang memandangku dengan cara berbeda. Dengan cinta.

"Aku datang ingin menjadi pendonor buatmu, May," beritahu Sam. Setelah kecamuk di hatiku mereda. Dan hening sudah menjadi jeda yang terlalu lama di antara kami. 

"Terima kasih, Sam," ucapku. Aku mencoba melukis sebuah senyum di bibirku special untuk Sam. Sebagai hadiah kecil yang kubingkiskan untuk kebaikan hatinya.

"Semoga cocok, May," harapnya kemudian.

Semoga, batinku. Sam membantuku membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Kantung infusku hampir habis saat seorang suster datang untuk memeriksa keadaanku.

Entah apa yang sedang dipersiapkan Tuhan untukku...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top