both

"Kau harus segera melakukan kemoterapi, May." Dokter Sandy menyatukan jari jemarinya diatas meja dan sepasang matanya menatapku dengan raut wajah serius. Tatapan mata itu seolah memberi penegasan pada setiap kata-kata yang diucapkannya.

"Berapa lama sisa waktuku?" Aku melempar pertanyaan yang berbeda dari topik yang sedang ia bahas sekarang.

Dokter Sandy menghela napas sejenak. "Ini bukan soal berapa lama sisa waktumu, karena aku hanya seorang dokter yang mendiagnosa penyakit pasien bukan Tuhan penentu hidup mati seseorang. Tapi, penyakitmu akan semakin parah jika kau tidak melakukan pengobatan. Hati, ginjal, paru-paru, dan organ lain bisa terkena dampaknya, May. Kau harus segera berkonsultasi dengan keluargamu tentang kemoterapi. Atau kalau tidak kau bisa mencari donor sumsum tulang belakang secepatnya." Pemaparan Dokter Sandy yang panjang membuatku bungkam.

Keluarga? Siapa yang akan kuajak berkonsultasi? Hans? Kurasa tidak.

"Berapa persen harapan kesembuhan jika aku melakukan kemoterapi, Dok?" tanyaku beberapa saat kemudian.

Dokter Sandy menggeleng pelan. "Kita hanya berusaha, May. Tingkat kesembuhan hanya bisa dilihat jika kau sudah melakukannya. Lain halnya jika kau tidak melakukan kemoterapi sama sekali. Hanya keajaiban yang bisa menyembuhkanmu," ucapnya seolah ingin menakutiku meski aku tahu pasti yang ia bicarakan berdasarkan fakta yang ada. Leukimia memang sangat sulit disembuhkan. Seakan-akan hanya keajaiban yang bisa menyembuhkannya. Dengan catatan keajaiban hanya berlaku untuk beberapa gelintir penderita saja.

Aku mengulum senyum pahit. Aku sudah bisa meraba ke mana hidupku akan berujung.

"Aku... "

"Kau masih muda, May," potong Dokter Sandy sebelum aku sempat melanjutkan kalimat yang hendak kuucapkan. "jangan pernah berpikir kau tidak bisa sembuh atau tidak punya harapan. Kau harus yakin, bahwa harapan akan selalu ada untuk orang-orang yang berjuang dengan keras. Masih ada keajaiban untuk orang-orang yang percaya padanya. Atau, buatlah keajaibanmu sendiri. Dengan cinta." Kalimat Dokter Sandy sangat panjang kali ini. Penuh semangat dan motivasi. Aku bisa tahu ia adalah seorang dokter yang baik dari pertama kali melihatnya. Dan penilaianku terbukti.

Cinta? batinku gamang. Cinta siapa? Cinta untuk siapa? Masihkah ada cinta untukku? Masih layakkah aku untuk dicintai?

Sam? Tiba-tiba pikiranku melintas pada pria yang selalu memakai parfum yang identik dengan tipe maskulin itu. Bukankah ia pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku? Haruskah aku berjuang untuknya dengan mengesampingkan Hans? Tapi, aku mencintai Hans, bukan Sam. Cinta dalam hidupku sedikit rumit!

Aku memutuskan mengakhiri konsultasi dengan Dokter Sandy dan meminta resep yang kuperlukan. Aku berpamitan dan keluar dari ruang prakteknya dengan langkah gontai.

Kata-kata dokter itu sepenuhnya benar. Aku sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhku. Cepat atau lambat aku pasti akan mengalaminya.

"Kita sudah sampai, Nona," tegur supir taksi menggugah lamunanku. Taksi yang kutumpangi berhenti tepat di depan rumah sesuai petunjuk alamat yang kuberikan.

"Ya." Aku menyahut cepat dan mengambil uang dari dalam tas sesuai argo yang tertera. Masih ada beberapa ribu dan aku menyuruhnya untuk menyimpan kembalian itu.

Aku turun dari taksi dan nyaris terjatuh karena kakiku menyandung sebuah batu yang menghadang langkahku persis di depan pintu gerbang rumah. Oh, Tuhan! Aku hanya bisa memekik kecil dalam hati. Apa Kau sangat menyayangiku sampai memberi cobaan sebanyak ini?

Buatlah keajaibanmu sendiri. Dengan cinta.

Ucapan Dokter Sandy kembali terngiang di telingaku. Keajaiban macam apa yang ia maksud? Aku tidak pernah mengerti.

Flat shoes hitamku terhenti di ambang pintu masuk. Di ruang tamu, aku melihat Hans dan Sam sedang duduk berbincang. Seperti biasa. Kedua sahabat itu sering bertemu dan mengobrol jika ada waktu senggang.

"Baru pulang, May?" Hans menoleh ke arahku diikuti Sam. Kedua pria itu menatapku bersamaan. Yang satu adalah orang yang sangat kucintai, sedang yang seorang lagi mencintaiku. Andai aku harus memilih, siapa yang akan kupilih? Tentu saja, kau tahu, May. Kau tidak punya pilihan!

"Ya," sahutku pendek. "aku ke kamar dulu," pamitku pada keduanya. Dengan nada datar. Aku melanjutkan gerakan flat shoes hitamku menuju ke kamar.

Aku menjatuhkan tas ke atas tempat tidur usai melepaskan flat shoes-ku dan menendangnya ke sudut kamar. Lalu merebahkan tubuhku yang kian merapuh perlahan ke atas tempat tidur. Aku lelah!

Entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan keadaan ini. Berteman dengan penyakit mematikan. Aku hanya tinggal menunggu Sang waktu memanggilku. Sudah siapkah diriku? Tentu saja tidak. Ada banyak sekali yang belum bisa kuraih dalam hidup ini. Setidaknya aku ingin tahu siapa kedua orang tuaku. Kenapa mereka membuangku? Juga tentang luka bakar permanen yang tersemat di punggungku, siapa yang melakukannya? Tentang ingatan masa kecil yang hilang dan sampai sekarang masih menjadi misteri, akankah bisa kutemukan jawabannya? Mungkin tidak!

Andai saja Bunda Fatimah ada di sini, mungkin beban hidupku tidak seberat ini. Ia pasti punya kata-kata yang memotivasi diriku. Setidaknya ada yang mendukungku dan aku bisa berjuang untuknya.

Ah, Bunda Fatimah. Tiba-tiba aku merindukannya. Aku ingin duduk bersamanya menikmati senja di bukit kecil di belakang panti. Dengan menatap hamparan sawah yang ditumbuhi padi yang berwarna hijau menyegarkan mata. Menunggu matahari tenggelam di ufuk barat, biasanya akan ada segerombolan burung yang terbang melintas di atas panti. Mereka hendak pulang ke sarang setelah seharian mencari makan. Ditemani semilir angin yang berhembus dari pegunungan yang di baliknya matahari akan menyembunyikan diri setelah terbenam nanti.

Aku rindu panti. Aku rindu Bunda Fatimah. Aku rindu!

Aku tergagap dan terbangun dari tidur. Aku ketiduran dengan masih mengenakan kemeja kerjaku. Dan cukup lama.

Tubuhku menggigil. Demam. Dan seperti ada sesuatu yang bergejolak di dalam perutku. Mual. Dan aku ingin muntah!

Bunda Fatimah, aku sakit. Tolong aku...

Aku hanya bisa merintih kecil dalam tidurku. Bersembunyi di balik selimut tebal milikku usai mengeluarkan makanan yang sempat kutelan sore tadi. Aku hanya berharap malam ini segera berlalu. Juga rasa sakit yang mendera tubuhku.

Hans, aku sakit. Apa kau bisa mendengar suara batinku? Aku dan Hans hanya dibatasi sebuah tembok, dan aku hanya berandai-andai jika tembok itu transparan. Aku bisa melihat Hans kapanpun aku mau. Aku bisa menatapnya dengan puas saat ia tekun menghadap laptopnya sembari menyesap kopinya sesekali. Dan suatu hari nanti aku ingin memeluk punggungnya dan menyandarkan kepalaku di sana. Jika aku masih diberi kesempatan itu.

Lamunan tentang Hans berhasil mengantarku ke dalam lelap. Terima kasih, Hans. Untuk malam ini. Mungkin malam-malam seperti ini akan kuulangi lagi, melamunkan bayangmu sampai tak kujumpai malam berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top