again
"Kau masak kemarin?"
Tanganku masih memegang pegangan pintu kamar saat suara Hans menegur. Aku berhenti dari semua kegiatanku sejenak, kecuali bernapas. Betapa bodohnya aku, kenapa aku tidak membuang sisa makanan itu ke tempat sampah. Agar ia tidak tahu jerih payahku sia-sia belaka.
"Iya, Hans." Aku menutup pintu kamar dan mencoba mengurai senyum paling cerah untuknya.
"kau mau berangkat? Biar aku buatkan sarapan..."
"Tidak, May." Hans langsung mengajukan penolakannya. "aku buru-buru."
Oh. Lagi-lagi hatiku patah oleh sebuah penolakan manis dari bibir Hans. Aku selalu siap mental kapan saja untuk dipatahkan seperti ini.
"Kau lembur hari ini?" Aku mencoba memberanikan diri mencari tahu jadwal kerja Hans. Kuharap ia tidak keberatan.
"Aku belum tahu," sahutnya cepat. Ia membenahi dasi yang melilit di lehernya. Seperti biasa. Tapi bukan dasi yang biasa kulihat. Sepertinya dasi baru. Hadiah? Dari siapa?
"Hati-hati, Hans..."
"Tadi malam aku sudah makan, May."
Aku tercekat mendengar ucapannya. Kurasa aku telah membuat kerutan di area dahiku sepagi ini. Karena ucapan Hans.
"Tadi malam ada acara makan malam bersama staf kantor," ungkapnya tanpa aku bertanya. "itulah sebabnya aku tidak makan masakanmu."
"Ya, Hans." Aku menyahut dengan cepat. Aku baik-baik saja, batinku.
"Aku pergi, May," pamit Hans sejurus kemudian. Ia menyambar jas dan tasnya dari atas meja makan lalu beranjak pergi. Meninggalkan jejak wangi sabun ke sekitar hidungku. Setidaknya aku berterima kasih karena ia telah menjelaskan semuanya.
Hampir setiap pagi dan malam kami rutin melakukan perbincangan semacam ini. Perbincangan sederhana yang layak disebut sebagai basa basi. Sebuah rutinitas tanpa arti.
Aku juga punya rutinitas sendiri. Sebagai orang kepercayaan pemilik toko, aku punya tanggung jawab membawahi sepuluh orang pegawai, tiga di antaranya laki-laki. Sebenarnya jam kerjaku sedikit lebih longgar, tapi, aku tidak mau terlihat terlalu santai. Aku takut menjadi contoh yang buruk di depan pegawai yang lain. Toko buka jam 9 pagi dan biasanya aku datang sekitar jam 10.
Toko sudah bersih ketika aku datang dan para pegawai masih juga sibuk merapikan pakaian yang sebagian digantung, sebagian ditumpuk di atas rak. Dan untuk pakaian lama yang diobral diletakkan di dalam sebuah bak besar agar mudah dijangkau oleh pembeli.
"Kak May..."
Teguran Lisa, salah seorang pegawai toko membangunkanku dari kesibukan menata isi rak yang berisi tumpukan celana jeans wanita ukuran jumbo.
"Ya, Lis?"
"Ponsel Kak May berdering, sepertinya ada panggilan masuk," beritahunya seraya mengembangkan senyum.
"Oh," gumamku pendek. "terima kasih."
"Sama-sama, Kak."
Kenapa aku begitu ceroboh meletakkan ponsel di atas meja kasir? batinku seraya berjalan tergesa. Siapa yang menelepon?
Mama Hans menelepon!
"Apa kabar, May?" sapa Mama Hans dari seberang sana. Suaranya masih sama seperti biasanya. Lemah lembut dan menenangkan.
"Baik, Ma. Hans juga baik," sahutku. Aku meletakkan pantatku di atas kursi di belakang meja kasir. "Mama sendiri apa kabar?"
"Baik, May," balas Mama Hans. "kapan main ke rumah? Sudah lama kita tidak ketemu," ucapnya kemudian.
Ah, aku menelan ludah. Pahit.
"May masih sibuk, Ma."
Maaf, batinku getir. Sebuah alasan yang kubuat demi kepentingan pribadi. Meski aku sibuk, sebenarnya aku masih bisa menyisihkan barang satu atau dua jam untuk mengunjungi Mama Hans. Aku tidak sesibuk itu.
"Jangan terlalu sibuk, May. Bilang pada Hans juga," balas Mama Hans. "kau harus segera merencanakan program kehamilan. Mama ingin menimang cucu dari kalian secepatnya."
Hamil?
Argh. Andai Mama Hans tahu apa yang selama ini kami jalani. Aku tidak akan bisa hamil, Ma.
"Iya, Ma." Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Bukan sebuah janji hanya omong kosong. Aku tidak akan pernah bisa menjanjikan apa-apa untuk Mama Hans.
"Mama selalu berdoa agar kalian bahagia dan pernikahan kalian bisa langgeng," sambung Mama Hans beberapa detik kemudian.
Oh, Tuhan. Tolong matikan sambungan telepon ini. Bagaimanapun caranya.
"Iya, Ma." Aku hanya menggumam pelan.
"Sudah dulu, May. Mama sedang memasak, takut hangus," tandasnya kemudian. Bermaksud mengakhiri percakapan kami.
"Sampai jumpa, Ma."
Aku meletakkan ponselku kembali di atas meja kasir. Dengan tangan gemetar. Kenapa? Rasanya tangan dan tubuhku melemah seketika. Ucapan Mama Hans membuat hatiku terpatahkan. Lagi. Dan lagi. Entah untuk ke berapa kali.
Tapi, aku tidak akan meneteskan air mata untuk hal seperti ini. Aku sudah cukup terlatih untuk hal semacam ini. Aku tinggal menutup mata dan telinga lalu menghirup napas dalam-dalam. Aku harus berpura-pura tegar seolah hidupku baik-baik saja.
"Kak May..."
Kali ini bukan Lisa yang menegurku. Tapi Hana.
"Ya, Han. Ada apa?" tanya seraya menatap wajah Hana yang tampak sedikit aneh.
"Itu... " Hana menunjuk ke arahku dengan wajah yang tiba-tiba berubah pucat. "hidung Kak May mimisan... " Suara gadis itu terbata.
Apa? Aku tercekat. Aku buru-buru mengambil selembar tisu dan mengusapkannya ke hidungku. Hana benar. Hidungku mengeluarkan cairan berwarna merah itu lagi. Kemarin juga.
Aku mengambil beberapa lembar tisu lagi dan menyumpal hidungku dengan benda itu lalu bergegas melangkah ke kamar mandi.
Ada apa denganku? batinku bingung. Apa aku terlalu kelelahan sampai mimisan lagi? Wajarkah hal semacam ini?
"Kak May baik-baik saja?" Hana menghadangku di depan pintu kamar mandi. Gadis itu sedang mencemaskanku. Terima kasih, batinku. Setidaknya masih ada seseorang yang masih peduli padaku, meski orang itu bukan Hans.
"Aku baik-baik saja, Han," tandasku seraya menepuk pundaknya pelan. Aku tersenyum tipis. "aku akan istirahat sebentar," ucapku kemudian. Kepalaku mendadak berat dan semua yang ada di sekelilingku seperti berputar.
"Baik, Kak."
Ah, tidak. Kurasa aku sedang tidak baik-baik saja sekarang. Tiba-tiba saja kakiku seperti kehilangan pijakan. Tubuhku seperti tak punya daya topang dan akhirnya ambruk ke atas lantai. Penglihatanku mula-mula kabur lalu berubah menjadi hitam. Kelam. Gelap. Aku kehilangan kesadaran!
Peristiwa seperti ini seperti pernah terjadi dalam hidupku. Mungkin sekitar dua puluh tahun lalu. Mula-mula kaki yang kehilangan pijakan, tubuh yang tak bisa lagi tertopang dengan baik, dan penglihatan yang menghitam. Pekat.
Aku terbangun juga di tempat yang sama. Di atas tempat tidur. Tapi, aku tidak mendapati senyum Bunda Fatimah saat membuka mata untuk pertama kali setelah tersadar dari pingsan. Sosok Hans yang kuharapkan hadir juga tak ada. Hanya harapan tak berisi. Kosong!
Mataku hanya menangkap sesosok dokter muda saat aku terbangun dari pingsan. Ia tersenyum saat melihatku membuka mata. Dari penampilannya aku bisa menyimpulkan ia seorang dokter yang ramah. Dan baik. Itulah kesan pertama yang bisa kutangkap dari sorot matanya.
"Bagaimana perasaanmu, Mayra Larasati?" tegurnya menularkan kehangatan ke sekeliling tubuhku. Seseorang pasti sudah mendaftarkan namaku tadi. Aku juga membaca sebaris nama yang terpasang pada name tagnya Sandy Adrian.
"Baik," balasku seraya mencoba mengukir senyum.
"Aku harus mengambil sample darahmu untuk mencari tahu penyakitmu," ucapnya seraya mempersiapkan semua perlengkapan. "kau tidak takut disuntik kan?"
Aku menggeleng pelan. Apa seserius itu penyakitku? Bukankah aku cuma mengalami kelelahan?
Dokter Sandy memasang torniquet di lengan kiriku bagian atas lalu mengusapkan kapas yang sebelumnya telah dibasahi alkohol pada jarak sekitar 10cm dibawahnya, area yang akan ia ambil sample darah agar steril.
"Apa kau pernah disuntik sebelumnya?" tanya Dokter Sandy mungkin mengalihkan perhatianku dari jarum suntik yang kini digenggamnya. Ia memberi isyarat agar aku mengepalkan tangan.
Aku menggeleng kembali. Tanpa menyahut. Pikiranku penuh dengan tanda tanya.
Ia mulai menusukkan ujung jarum suntik setelah memastikan posisinya tepat pada pembuluh vena milikku. Perlahan ia menarik pompa spuit sampai darah mengalir masuk ke dalam tabung kecil itu hingga mencapai jumlah yang diinginkan. Setelah selesai ia melepas torniquet dari lenganku dan menekan bekas suntikan itu sebentar dengan kapas yang telah dibasahi alkohol kemudian menutupnya dengan sebuah plester.
"Selesai," ujarnya.
Aku melepaskan kepalan tanganku dan menarik napas lega.
"Apa penyakitku serius?" Aku mencoba menegakkan tubuh dan melempar pertanyaan yang sejak tadi berputar di dalam kepalaku.
Dokter Sandy tak segera menjawab. Keningnya sedikit berkerut. Berpikir?
"Aku belum bisa menjawab sampai hasil tes keluar," jawabnya.
"Diagnosa sementara?" Aku penasaran.
Dokter Sandy tak menjawab. Ia menggeleng pelan. Membuatku kesal karena dirundung rasa penasaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top