Terbelenggu Rasa
"Hai!" sapa Naysilla saat masuk mobil.
Saka tersenyum.
"Tadi siapa?" tanyanya saat mobil mulai meluncur.
"Oh, itu Lusi sama Doni pacarnya," terang Naysilla.
Saka mengangguk paham.
"Kamu sudah makan malam?"
"Sudah, tadi sambil nyelesein pekerjaan."
"Oke!"
Mobil terus meluncur, sementara Naysilla merasa Saka berbeda malam ini. Pria itu lebih banyak diam.
"Kamu nggak apa-apa, kan, Saka?"
Pria berkaus hitam itu menoleh sejenak kemudian menggeleng.
"Nay, aku boleh tanya sesuatu?" tanyanya.
"Boleh. Tanya apa?"
"Apa kamu selama ini menyembunyikan sesuatu?"
Pertanyaan Saka membuat Naysilla memiringkan kepalanya.
"Maksud kamu?"
Saka menaikkan alisnya kemudian tersenyum.
"Iya, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku? Seperti sebenarnya kamu memiliki pasangan dan terpaksa menemani aku karena kasihan begitu?" terangnya tanpa menoleh.
Naysilla menelan ludah mendengar pertanyaan pria berhidung mancung di sebelahnya.
"Aku? Aku sama sekali nggak sedang menyembunyikan apa pun darimu, Saka."
"Kenapa kamu tanyakan itu sih?" Naysilla sedikit gusar.
"Iya aku cuma pengin tahu aja. Kalau memang kamu udah punya pasangan, aku nggak enak aja."
Naysilla menarik bibirnya singkat kemudian menggeleng.
"Aku belum pernah berpikir untuk mencari pasangan sejak ...." Dia menghentikan kalimatnya.
"Sejak apa, Nay?"
Menarik napas dalam-dalam, Naysilla menggeleng.
"Nggak penting, Saka. Nggak ada yang menarik dari hidupku," jawabnya.
Saka tersenyum tipis.
"Oh ya? Justru menurutku sangat menarik karena kamu bilang belum pernah berpikir untuk mencari pasangan. Boleh aku tahu kenapa?" Kembali Saka menoleh.
Naysilla bergeming. Tentu saja jawabannya ada pada dia. Separuh Nay, bahkan masih enggan beranjak dari bayangan Saka. Terlebih ketika mereka kembali dipertemukan dan menjadi dekat akhir-akhir ini.
"Melamun?" Ucapan Saka hanya ditanggapi senyum tipis oleh Naysilla.
"Aku nggak nyangka, Nay. Setelah lama kita nggak ketemu, kamu semakin misterius!" imbuhnya.
Kali ini Naysilla tertawa kecil.
"Misterius? Kamu anggap aku misterius?"
"Iya! Kamu nggak pengin bercerita sesuatu padaku?"
"Cerita apa?"
"Apa aja. Mungkin kamu sedang mengangumi seseorang begitu?"
Kembali perempuan berambut sebahu itu menarik napas. Kenapa Saka seolah ingin tahu rahasia hatinya? Ada apa dengan pria itu?
"Aku sudah bilang, kan? Aku nggak sedang berpikir ke arah itu, dan aku nggak sedang mengincar seseorang untuk kukagumi," tegasnya seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Saka kembali menaikkan alisnya.
"Oke, maaf. Aku nggak lagi mengulik apa pun tentangmu."
"Terima kasih," tutur Naysilla memamerkan dekikan di pipi.
Ekor mata Saka menangkap gurat luka yang sengaja disembunyikan dari paras cantik Naysilla. Cantik! Ah kenapa dia baru sadar kalau perempuan berhidung mancung itu cantik? Akan tetapi, jika dibandingkan dengan Venina, tentu saja tetap Venina yang lebih cantik.
"Saka! Berhenti! Udah kelewat rumah aku!" serunya.
Saka membulatkan mata segera menginjak rem sehingga tubuh hampir saja kepala Naysilla membentur dashboard jika tangan kiri Saka tak sigap menghalanginya.
Sejenak mata mereka bersirobok. Naysilla merasa debat jantungnya tak beraturan, bukan karena terkejut dengan rem mendadak dari Saka, tetapi dari perhatian kecil dan kesigapan pria itu padanya.
"Maaf, Nay. Aku tadi nggak fokus karena ...."
"Nggak apa-apa, Saka. Eum ... turun di sini aja, toh dua rumah di belakang mobil ini udah rumahku."
Saka mengangguk dan kembali mengucapkan maaf.
"Eum, mungkin kamu mau mampir?" tawarnya basa-basi.
"Maaf mungkin next time. Udah malam juga, kamu istirahat aja ya. Mey malam, Nay!"
Bibir Naysilla membentuk pisang kemudian mengangguk.
"Thanks, Saka. Met istirahat."
Tak ingin berada di situasi lebih canggung, gegas dia keluar dari mobil dan melambaikan tangan lalu membalikkan badan meninggalkan Saka yang masih mematung menatap sosok Naysilla dari kaca spion.
"Nay! Nay tunggu!" panggilnya ketika teringat sesuatu.
Pria itu setengah berlari menghampiri Naysilla yang kembali memutar badannya.
"Kenapa?"
"Aku harap kamu nggak sibuk. Besok malam ada undangan pernikahan teman kerjaku. Kamu nggak keberatan menemani aku, kan?"
"Ada baju yang sudah aku siapkan buatmu untuk acara itu. Kamu bersedia?" sambungnya lagi.
Naysilla menarik napas dalam-dalam. Susah pasti jika baju yang dipilihkan Saka adalah baju yang disukai Venina, dan dia pasti akan tetap menjadi seseorang yang berpura-pura bahagia menjadi bayang-bayang Venina.
"Nay? Kamu keberatan?"
Naysilla menatap lurus ke manik cokelat milik Saka. Benar kata orang, rasa cinta memang seringkali mematikan logika. Sama seperti dia saat ini. Cinta diam-diam pada Saka, telah benar-benar menguasai akal sehatnya sehingga lisannya seperti terkunci. Satu anggukan Naysilla cukup untuk membuat pria itu tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih.
**
Aini meletakkan secangkir kopi untuk suaminya pagi itu. Hendra menyimak penjelasan sang istri dengan saksama. Sesekali kepalanya mengangguk paham.
"Lalu rencana Mama apa?"
"Mama maunya sih menjodohkan mereka, Pa. Meski Sala sepertinya masih belum bisa membuka hati, tapi Mama yakin lama-lama dia bisa menerima Naysilla."
Perempuan berbaju panjang berwarna hijau lumut itu mengambil sepotong roti dan mengoleskan madu di atasnya lalu menyerahkan ke sang suami.
"Naysilla anak baik, Pa. Mama kenal dia sudah lama. Sejak mereka sama-sama kuliah. Setahu Mama, mereka dulu sangat dekat, Pa."
"Setahu Mama dia anak pintar dan sangat sopan." Aini menerawang, bibirnya tertarik melebar. "Mama membayangkan kalau mereka berdua menjadi pasangan suami istri, pasti ...."
"Ma, apa keinginan Mama itu tidak terlalu jauh?" potong Hendra menggigit roti di tangannya.
Kening Aini berkerut menatap suaminya.
"Terlalu jauh gimana maksudnya, Pa?"
"Iya, terlalu jauh. Papa khawatir nanti berakibat tidak baik bagi Saka terlebih bagi Naysilla."
Hendra lalu menjelaskan bagaimana keras kepala Saka putra mereka.
"Selama ini dia hanya akan melakukan apa yang dia rasa baik buat dia, kan, Ma? Ya, walaupun memang selama ini dia tidak pernah melakukan hal tidak baik, tetapi Mama sendiri tahu kalau Saka itu nggak suka kalau kita terlalu mencampuri urusan pribadinya. Apalagi soal rencana Mama itu," paparan. "Papa lebih khawatir lagi sama Naysilla itu, Ma."
Aini menyimak penjelasan sang suami. Tidak salah apa kata Hendra. Anaknya memang keras kepala, jika diteruskan tentu Naysilla yang akan menderita.
"Papa benar sih, tapi Mama berharap mereka bisa bersatu, Pa."
Hendra menggeleng.
"Bukan Papa tidak setuju dengan usulan Mama, tapi untuk saat ini memang belum saatnya berpikir soal itu. Saka baru saja move on meski mungkin belum sepenuhnya, dan Mama juga nggak tahu, kan? Apa yang ada di kepala Naysilla?"
Aini mengangguk paham.
"Mama harus lebih bersabar berarti ya, Pa."
"Kita. Kita harus lebih bersabar lagi, Ma," balasnya tersenyum.
Saka baru saja turun dari kamarnya ketika kedua orang tuanya baru saja menyelesaikan sarapan.
"Kamu lama banget turunnya, Saka! Papa udah keburu lapar," sapa Hendra saat Saka menarik kursi untuk duduk.
"Ada sedikit urusan, Pa."
"Sepagi ini? Bahkan saat kamu belum sarapan?"
Saka tertawa kecil seraya mengambil roti yang sudah dioles cokelat oleh mamanya.
"Makasih, Ma," tuturnya seraya tersenyum.
"Urusan kantor?" tanya Aini menatap sang putra.
"Bukan."
"Lalu?"
"Nanti malam ada pesta pernikahan teman Saka, Ma."
"Terus?"
Saka memotong roti, kemudian memasukkan ke mulutnya.
"Kemarin Saka ngajak Nay untuk datang, dan dia setuju. Nah pagi tadi ada telepon dari butik langganan Venina, Ma."
Kedua orang tuanya saling pandang ketika nama Venina disebut.
"Ada apa, Saka? Kenapa mereka meneleponmu?"
Saka tersenyum lalu menjelaskan apa yang dia rencanakan malam nanti untuk Naysilla.
"Gaun itu seperti yang diinginkan Venina, Ma, Pa. Warnanya, modelnya ... Saka yakin dia akan suka seperti Venina menyukai gaun itu!" cetusnya antusias.
Kening Aini berkerut. Sejenak dia ke kembali menatap Hendra lalu menarik napas dalam-dalam.
"Jadi maksud kamu ... Naysilla kamu minta memakai gaun seperti gaun kesukaan Venina?" selidiknya.
"Iya, Ma. Kenapa?"
"Naysilla bersedia?" Kembali Aini bertanya.
Mengangguk cepat, Saka menjawab, "Dia bersedia, Ma! Naysilla sama sekali tidak keberatan."
Aini menatap putranya intens. Dia merasa Saka tidak seperti yang diinginkannya. Putranya itu justru semakin tak bisa lepas dari bayangan Venina, bahkan kini dia mulai melibatkan Naysilla dalam angannya.
"Saka, kamu yakin Naysilla nggak apa-apa?"
**
Morning everyone 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top