sikap Naysilla
Saka menarik napas dalam-dalam menyadari panggilannya tak direspon sang istri.
"Nay," ulangnya. "Kamu mau dengarkan aku? Kamu mau dengarkan kenapa ...."
"Sudah nggak penting lagi, Mas," tangkisnya. "Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti ini." Naysilla menoleh seraya memiringkan kepalanya menatap Saka.
"Nay!"
"Ada apa lagi, Mas? Aku sama sekali tidak meminta penjelasan apa pun! Aku sadar sepenuhnya kok. Mas nggak perlu seperti itu. I'm fine!" Dia lalu kembali bersandar dan melihat ke luar jendela.
"Aku cuma mau bilang sesuatu padamu, Mas. Kuharap ucapan ini nanti nggak memberatkanmu dan bisa membuat Mas ringan melangkah ke mana pun Mas inginkan!"
Saka menoleh lelu kembali fokus mengemudi.
"Apa itu?"
Naysilla membasahi kerongkongannya lalu menarik napas dalam-dalam.
"Jika Mas rasa keberadaanku tidak lagi bermakna apa pun, sebaiknya kita sudahi saja hubungan yang sama sekali tak berfondasi ini," ungkapnya seraya menggeleng. "Jika kita paksa dilanjutkan, pada akhirnya akan terus menerus melukai hati orang banyak," imbuhnya kali ini menatap lurus ke depan.
Saka menghentikan mobilnya tepat saat lampu merah menyala.
"Maksud kamu apa, Nay?"
Bibir Naysilla tertarik lebar.
"Apa ucapanku tadi kurang jelas, Mas? Apa selama ini Mas nggak menyadari kalau hubungan kita semakin hari semakin buruk?"
Pria beralis tebal itu mengeratkan pegangannya di kemudi. Dia sepenuhnya paham apa yang dimaksud perempuan di sebelahnya itu, tetapi untuk melakukan apa yang diminta tentu tak semudah yang diucapkan Naysilla.
"Simpan saja ucapan dan permintaanmu itu, Nay!"
"Maksudnya, Mas?"
"Apa pun alasannya aku nggak akan pernah mengabulkan permintaan itu!"
Kening Naysilla mengerut mendengar jawaban Saka. Jika selama ini kehadirannya sama sekali nggak pernah dihargai, kenapa Saka masih mempertahankan dirinya? Untuk apa? Apa pria itu mengabaikan perasaannya? Tidakkah terpikir oleh Saka jika selama ini dia merasa sangat tersiksa?
"Egois!" gerutu Naysilla dengan membuang napas kasar.
"Iya. Aku egois!" balasnya seraya kembali mengemudi karena lampu hijau menyala.
Jawaban Saka semakin membuat Naysilla kesal. Dia tak mengerti kenapa pria itu seperti gak berperasaan.
"Kamu berpikir aku tidak berperasaan, kan?"
"Mas Saka! Kamu jahat! Kamu tega membuat aku seperti ini. Kamu bahkan nggak pernah menghargai aku sementara aku terus berusaha menjadi istri yang baik selama ini, tapi kamu, Mas. Apa yang kamu lakukan? Kamu jahat!"
Saka bergeming membiarkan amarah Naysilla tumpah. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah.
"Nay, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing," ujar Saka saat baru saja melepas seltbeltnya. Pria itu mencoba menenangkan Naysilla yang terisak.
"Tolong jangan ambil kesimpulan sepihak dengan apa yang kamu lihat. Itu semua nggak seperti yang kamu pikirkan," sambungnya seraya meraih jemari sang istri.
Naysilla segera menepis tangan Saka ketika ujung jari mereka bersentuhan.
"Kamu nggak mau aku pegang?" tanya Saka kecewa.
Tak menyahut, Naysilla membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Lagi-lagi Saka harus menahan diri. Pria itu mengembuskan napas perlahan.
Sejenak dia kembali menyandarkan tubuh di kursi. Ingatannya kembali ke ucapan sang istri beberapa menit yang lalu. Jelas terdengar bagaimana ungkapan kecewa Naysilla. Dia juga tahu jika sang istri tengah benar-benar meradang.
Akan tetapi, Saka tentu saja tak mau meluluskan permintaan Naysilla seperti yan diucapkan barusan di mobil. Baginya, Naysilla akan selalu menjadi pendampingnya dan tidak akan bisa dimiliki orang lain.
Setelah puas bermonolog, Saka keluar dari mobil. Setelah memastikan pintu pagar terkunci, pria itu lalu masuk rumah.
Aroma kopi menguar membuat Saka mengernyit heran. Tak biasanya Naysilla membuat kopi setelah beberapa jam yang lalu menikmati minuman yang terbuat dari biji-bijian itu.
"Nay? Kamu minum kopi lagi?" selidiknya saat tiba di depan pantry.
Naysilla bergeming di depan dua cangkir kopi yang masih mengeluarkan asap.
"Cepat banget bikinnya?"
Naysilla hanya menarik bibirnya singkat kemudian mendorong satu cangkir di depannya ke arah Saka.
"Nay."
"Heum?"
"Kamu udah banyak minum kopi. Di coffe shop bukannya kamu udah minum kopi ya? Sekarang ...."
"Nggak apa-apa. Mas kalau nggak mau bisa ganti jus di kulkas!"
"Oh nggak! Bukan begitu maksudku, bukannya lambung kamu sedikit bermasalah ya?"
Mata Nasyilla menyipit.
"Ibu yang cerita ke aku," terang Saka seolah tahu pertanyaan yang ada di kepala istrinya.
"Nggak apa-apa. Aku tahu porsinya kok. Eum ... Mas mau aku ambilkan jus?"
Cepat Saka menggeleng dan memberi isyarat dengan tangan jika dia akan meminum kopi buatan sang istri.
"Kalau aku nggak bermasalah dengan lambung. Aku cuma khawatir kalau kamu sakit. Itu aja, Nay."
Bibir Naysilla membulat sempurna kemudian meraih cangkir kopi dan menyesap perlahan isinya.
"Aku tahu kapan aku berhenti, Mas. Sama seperti aku tahu kapan aku harus berhenti di sini," sindirnya.
Saka menarik napas dalam-dalam.
"Tapi aku nggak akan pernah membuatmu untuk berhenti. Nggak, Nay!" balasnya. "Aku nggak bisa!"
Naysilla meletakkan cangkir kopinya. Dia merapikan rambut seraya menghela napas.
"Mas, sudah cukup aku bersabar. Sudah cukup aku mengerti, sudah cukup aku mengalah ... sudah cukup, Mas! Aku capek beberapa bulan sejak kita menikah, aku capek! Aku nggak pernah ada di hatimu bahkan mungkin jika aku menebus dengan nyawa pun aku nggak akan pernah jadi sesuatu yang spesial di hatimu, Mas!" Suara Nasyilla bergetar matanya terlihat berkaca-kaca.
"Aku merasa selama ini berjuang sendiri. Aku merasa nggak berguna di matamu, Mas! Nggak berguna!"
Saka membisu. Terdengar helaan napas Naysilla.
"Sebaiknya kita sudahi ...."
"Nggak, Nay! Sampai kapan pun itu nggak akan pernah terjadi!" potong Saka cepat.
Naysilla menggeleng samar, dari matanya mulai terlihat air mata mengalir. Perasaan sakit tak dihargai serta tanpa penjelasan tentang rumah tangganya membuat Naysilla luka. Meski dia telah mencoba menyingkirkan jauh egonya atas nama cinta dan memenuhi keinginan mendiang sang ibu, tetapi tetap saja dirinya tidak mampu jika harus berjuang sendirian.
"Kenapa, Mas? Kenapa Mas nggak mau melepasku? Kenapa!" pekiknya histeris. "Kenapa Mas biarkan aku tersiksa seperti terhukum, sementara aku nggak tahu apa kesalahan yang sudah aku perbuat? Kenapa Mas! Kenapa Mas seenaknya memperlakukan aku seperti istri yang nggak berguna setelah semuanya aku lakukan demi rumah tangga ini? Aku capek, Mas. Capek!" Naysilla bangkit dari duduk kemudian melangkah ke kamar.
Namun, belum sempat dia menjauh, tangan Saka menahannya lembut.
"Tunggu, Nay. Kita belum selesai bicara."
"Apa lagi yang mau dibicarakan? Lepas, Mas. Aku bilang aku capek!"
"Nay!" Saka menarik lembut tubuh sang istri sehingga tubuh mereka berhadapan sangat dekat
"Boleh aku cerita soal Hani?"
Naysilla menggeleng kemudian menunduk.
"Aku nggak mau dengar cerita apa pun tentang siapa pun!"
Saka menarik napas dalam-dalam.
"Nay, aku tahu kamu marah karena dia, kan? Dengarkan aku dulu, Nay."
Kembali perempuan yang pipinya basah itu menggeleng.
"Aku sudah bilang kalau aku nggak mau mendengar apa pun tentang siapa pun!" tegasnya. "Tolong lepas! Aku mau tidur!"
Seolah tak mendengar permintaan sang istri, Saka terus menggenggam tangannya.
"Aku cuma mau nolongin dia, Nay. Ibunya sakit dan dia butuh kerjaan. Kebetulan setelah kutanya dia bisa mengisi posisi Yulia di kantor. Kan kamu tahu Yulia cuti melahirkan dan ...."
Naysilla mengangkat wajahnya menatap Saka. Sambil menggeleng dia berkata, "Itu bukan urusanku, Mas. Aku nggak peduli lagi soal cerita apa pun. Sama seperti Mas yang nggak pernah peduli dengan perasaanku!"
Naysilla menepis kasar tangannya sehingga Saka melepaskan genggaman.
"Selamat istirahat. Permisi!"
**
Semoga masih bisa dinikmati kisah ini yaa.
Terima kasih sudah berkunjung 💚 lope sekebon😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top