Semu
Saka menarik bibirnya singkat kemudian mengedikkan bahu.
"Entah, Nay! Aku sendiri nggak yakin bisa melupakan semua tentang Nina, tapi untuk saat ini aku merasa nasehatmu ada benarnya!"
Nay menyipitkan mata menatap Saka.
"Nasehat yang mana?"
Membuang napas perlahan, Saka berkata, "Bahwa aku dijadikan tumpuan harapan orang banyak. Itu artinya jika aku stuck, maka akan ada banyak orang yang ikut stuck! Betul begitu, kan?"
Kali ini Naysilla tersenyum manis. Dirinya tak menyangka akhirnya pria itu bisa mengerti apa yang dia maksud.
"Ya meskipun aku sendiri mungkin masih harus berusaha untuk bisa lebih memahami kepergian Nina," tuturnya lagi.
"Aku yakin lambat laun semua bisa kamu lewati, Saka," timpalnya lirih.
Tak lama mobil yang membawa keduanya tiba tepat di depan rumah Naysilla.
"Kamu mau mampir?" tawar Naysilla seraya mengemasi barangnya.
Saka menggeleng. "Mungkin lain kali, Nay. Ibu sehat, kan?"
"Sehat." Naysilla mengangguk cepat. "Oke, makasih ya sudah antar aku pulang. Makasih juga makan siangnya!"
Saka mengangguk seraya tersenyum.
"Eum, Nay!" panggilnya ketika Naysilla sudah berada di luar dan hendak menutup pintu mobil.
"Iya?"
Sejenak Saka tersenyum lalu bertanya, "Kalau lain kali aku ajak jalan ke taman favorit aku sama Nina kamu bersedia?"
Naysilla menarik napas dalam-dalam kemudian memamerkan dekikan di pipi.
"Kapan aja kamu butuh, aku usahakan bisa," balasnya kemudian menutup pintu mobil dan melambaikan tangannya.
"Thanks, Nay! Salam buat Ibu ya!"
Perempuan berdagu belah itu masih mematung menatap mobil Saka yang perlahan menghilang.
Kembali dia merasa berat saat lagi-lagi dia berusaha mati-matian menyembunyikan perasaan rindunya yang sudah lama dia pendam. Belum lagi getar halus yang pelan-pelan menyapa nurani hingga membuat Naysilla merasa perasaan indah dulu hadir kembali.
Menarik napas dalam-dalam Naysilla kemudian menggeleng.
"Nggak! Aku boleh terbawa perasaan. Aku nggak boleh!" gumamnya.
"Apa yang nggak boleh, Nay?" sentuhan lembut ibunya di bahu membuat Naysilla terkejut.
"Ibu, sejak kapan Ibu di samping Nay?" tanyanya panik.
Perempuan berwajah lembut itu tersenyum.
"Belum lama, Sayang. Habisnya dari tadi Ibu lihat kamu bengong aja di sini," terang ibunya. "Ada apa, Nak? Siapa yang mengantar kamu pulang?"
"Eum ... Ibu ingat Saka?" tanya Naysilla seraya menggandeng tangan Santi mengajaknya masuk rumah.
"Saka siapa ya?"
"Saka yang dulu beberapa kali main ke rumah waktu Nay kuliah itu, Bu."
Santi mencoba mengingat.
"Sebentar. Saka yang pernah manjat pohon mangga kita itu, bukan?"
Mendengar pertanyaan ibunya, Naysilla tertawa kecil kemudian mengangguk.
"Benar! Ibu masih ingat aja waktu itu!"
"Ibu ingat dong! Waktu itu mangga kita memang berbuah lebat sekali, kan?"
Naysilla mengangguk.
"Sudah lama sekali itu, Nay. Kamu ketemu di mana?" tanya Santi saat mereka sudah berada di ruang tengah.
Menghenyakkan tubuhnya di samping Santi, Naysilla mulai bercerita. Sementara Santi terlihat sangat serius mendengar.
"Tujuan mulia, tapi kamu yakin, kan?" Santi bertanya.
"Yakin? Yakin apa, Bu?"
Perempuan berbaju panjang dengan corak batik itu tersenyum.
"Dulu Ibu mengira kamu memiliki hubungan spesial dengan Saka. Ibu pikir dengan beberapa kali kalian bersama dan Saka ke rumah, ibu merasa ada sesuatu di antara kalian, tapi ternyata Ibu salah," terang Santi.
Mendengar ucapan sang ibu, Naysilla tersenyum singkat lalu menggeleng.
"Nggak ada hubungan apa-apa kok, Bu. Kami berteman baik."
Santi menaikkan alisnya kemudian tersenyum. Sementara Nay meneguk air mineral kemasan yang selalu tersedia di meja.
"Kenapa Ibu berpikir kalau kamu memiliki perasaan khusus padanya ya, Nay?"
Naysilla sontak terbatuk mendengar ucapan Santi.
"Ibu!" rajuknya seraya meletakkan kembali minumannya ke meja. "Ibu apaan, sih!"
Santi tertawa kecil. Sebagai Ibu dia tahu seperti apa putrinya. Mata Naysilla tak bisa menyembunyikan perasaannya pada pria yang baru saja mengantarnya itu.
"Kenapa? Ada yang salah? Nggak ada, kan? Dia nggak punya pasangan, kamu juga, kan?" timpal ibunya.
"Ibu, Nay itu cuma ...."
"Melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Yaitu menolong Saka atas permintaan mamanya, kan?"
Putrinya itu menarik napas panjang kemudian mengangguk.
"Itu nggak menutup kemungkinan yang lain, kan, Sayang? Semuanya hanya soal waktu."
Naysilla terlihat malas menanggapi ucapan ibunya kali ini, meski tak bisa membohongi perasaan yang semakin berbunga ketika ibunya justru mengamini rasa yang sekuat tenaga dia enyahkan.
"Ibu hanya ingin kamu bertemu seseorang yang bisa mendampingi kamu jika Ibu sudah tidak ada, Nay," ujar Santi sambil mengusap lengan sang putri.
"Ibu! Kenapa bicara begitu sih? Ck! Sudahlah, Nay nggak suka kalau ibu mulai bahas itu!" protesnya.
"Nay, Ibu cuma ingin memastikan bahwa pendamping kamu bukan orang yang salah. Itu aja."
"Bu, doakan saja soal itu. Nay percaya dia Ibu akan tembus ke langit!"
Santi tersenyum seraya mengangguk.
"Tanpa diminta, setiap Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya, Nay!"
**
Saka melangkah menuju tangga yang mengantarkan ke kamarnya. Namun, sapaan Aini menghentikan langkahnya.
"Hari pertama masuk kerja? Nggak mau sharing ke Mama?"
Pria yang kini memiliki cambang tak selebat sebelumnya itu tersenyum lalu kembali turun menghampiri mamanya di sofa yang terletak di ruang keluarga.
"Baik, Ma. Semuanya menyambut Saka dengan baik tadi."
"Syukurlah. Mama sama Papa benar-benar bahagia saat tahu kamu mulai bisa keluar rumah," tutur Aini dengan mata berbinar.
Saka menarik napas dalam-dalam.
"Sebenarnya ini karena ucapan Naysilla, Ma."
Kening Aini menyipit menatap penuh tanya pada sang putra. Bibirnya sedikit menyungging mengingat idenya untuk meminta bantuan kepada perempuan berwajah imut itu.
"Mama kenapa senyum begitu?" selidik Saka.
Menyadari putranya mengamati cepat Aini menggeleng.
"Nggak. Mama cuma happy aja kamu udah bisa membuka diri. Kamu udah perlahan mulai bisa menyadari bahwa hidup terus berlanjut," elak Aini.
"Emang dia mengucapkan apa padamu? Mama pengin tahu."
Saka lalu mengulangi apa yang diucapkan Naysilla padanya.
"Aku pikir dia benar, Ma. Banyak orang yang bertumpu di punggung Saka. Bukan cuma satu orang, tetapi mereka masing-masing bersama dengan keluarganya. Saka nggak bisa terus berdiam diri, kan, Ma?"
Aini mengangguk cepat.
"Lalu? Hanya itu alasannya?"
Saka mengedikkan bahu kemudian mengangguk.
"Apa lagi emangnya, Ma? Cuma itu aja. Saka harus bertanggungjawab pada pekerjaan."
Terlihat kecewa terlintas di paras Santi. Ternyata memang tidak semudah itu mengubah keputusan Saka. Akan tetapi, dia cukup bahagia karena sang putra sudah mau keluar dari 'sarangnya.' Meski Aini menginginkan Saka bisa perlahan melupakan Venina.
"Ma? Betulkan?" Saka menatap penuh selidik.
Aini mengangguk.
"Betul, Saka. Mama juga berharap kamu sudah mulai bisa membuka hati untuk mencari calon pendampingmu kelak."
Mendengar ucapan Aini, Saka tersenyum tipis.
"Untuk yang satu itu, Saka belum bisa, Ma. Saka harap Mama paham perasaan Saka."
Aini mengusap punggung putranya.
"Mama paham, Saka. Tapi Mama berharap kamu kelak memiliki istri yang bisa menerima kurangmu. Bukan hanya menerima lebihmu. Seorang perempuan yang bisa paham dirimu sepenuhnya," tutur mamanya.
Saka mengangguk.
"Aamiin, Ma. Mama doakan aja ya."
Saka lalu bangkit dari duduk.
"Saka mau mandi, Ma. Gerah banget!"
Aini mengangguk.
"Eum, Saka!"
"Iya, Ma?"
Terlihat ragu di raut wajah Aini. Perempuan paruh baya itu ingin menyarakan agar putranya bisa lebih dekat dengan Naysilla. Akan tetapi, kembali dia berpikir terlalu cepat untuk mengatakan hal itu.
"Kenapa, Ma?"
"Eum, nggak! Naysilla kapan ke sini lagi?"
Dengan mata menyipit Saka menggeleng.
"Nggak tahu, Ma. Kenapa emang?" tanyanya berbalik menghadap sang mama.
"Nggak apa-apa, Mama pengin tahu aja."
Saka menaikkan bibirnya singkat kemudian kembali melangkah meniti anak tangga menuju kamarnya.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top