Saka
Naysilla menarik bibirnya singkat kemudian mengangguk. Ucapan Tante Aini membuatnya bimbang. Satu sisi tentu dia bahagia akan bertemu dan berinteraksi kembali dengan Saka, tetapi di sisi lain dia takut tak bisa mengendalikan perasaan cintanya.
Walau bagaimanapun perasaan yang sudah dia lipat tak mungkin bisa terus begitu jika sering bertemu. Namun, mendengar cerita mama Saka, membuat dirinya tak punya pilihan lain selain menyetujui untuk membuat pria bermata tajam itu kembali dan bisa menatap harinya.
Saka benar-benar sampai pada titik depresi. Dia bahkan memilih tak keluar rumah dan tak ingin bertemu siapa pun.
"Sudah hampir satu tahun. Tante nggak tahu harus berbuat apa. Belum lagi Om Hendra, dia selalu marah melihat Saka yang berubah seperti itu."
"Tolong, Saka, Nay. Tante tahu kalian dulu dekat banget." Aini meletakkan tangannya di atas tangan Naysilla.
Perempuan berdagu belah itu kembali menarik napas dalam-dalam.
"Apa kamu sudah memiliki pasangan? Apa Tante bisa bicara ke pasanganmu supaya dia mengizinkan kamu untuk ...."
Naysilla menggeleng. Tangannya menangkup tangan Aini.
"Nay akan bantu, Tante. Nay akan bantu semampu Nay."
Helaan napas lega dan ucapan syukur keluar dari bibir Aini. Berulang kali dia mengucapkan terima kasih pada perempuan berambut sebahu di sampingnya.
"Saka pasti senang melihat kamu, Nay."
Naysilla bergeming. Terakhir dia bertemu Saka saat wisuda. Saat itu Saka dengan wajah bahagia memamerkan desain undangan pertungannnya dengan Venina.
Meski hati terasa hancur, tetapi tetap dia menyambut gembira kabar itu. Terlebih ketika Venina muncul di tengah-tengah mereka.
"Pokoknya aku bahagia untuk kalian! Selamat ya!"
"Rencananya dua bulan lagi kami bertunangan, Nay! Kamu datang ya!" Saka melepas tasselnya.
Tak ingin mata kecewanya terbaca, Naysilla mencebik menatap keduanya.
"Maaf, Nina, Saka, aku nggak bisa karena aku harus ke Surabaya untuk urusan kerjaan. Sori ya."
"Dua bulan lagi, Nay. Masa kamu nggak bisa?" tanya Saka seraya meraih bahu Venina.
"Maaf. Aku kerja sama orang, Saka. Aku nggak bisa. Nanti aja kalau kalian menikah! Aku janji pasti datang!"
Naysilla memang telah bekerja di semester akhirnya. Pekerjaannya jugalah yang menyebabkan dia harus ke Surabaya secepatnya setelah wisuda.
Itulah pertemuan terakhir dia dengan Saka dan Venina. Setelah itu dia berpikir untuk berhenti memikirkan Saka dengan cara mengganti nomor telepon. Sehingga sama sekali tak pernah saling kontak. Hanya Lusi sahabatnya yang seringkali meng-update kabar keduanya kepada Naysilla.
"Nay? Kamu melamun?" sentuhan di bahu Naysilla membuat dia tersadar dari lamunan.
"Nggak, Tante. Baiklah, jadi kapan Nay bisa ketemu Saka?"
"Bagaimana kalau besok? Kan besok hari Minggu?"
Naysilla mengangguk setuju.
**
Menarik napas perlahan Naysilla melangkah menuju bangku taman. Melihat punggung Saka membuat dia kembali mengingat betapa pria itu pernah menjadi semestanya meski hanya di angan.
Sejenak dia menghentikan langkah. Naysilla terlihat ragu, tetapi kilas kenangan saat mereka masih sering berbagi kisah saat kuliah membuat dia menarik bibir lalu kembali melangkah.
"Saka!" panggilnya perlahan.
Tak ada jawaban dari pria itu. Dia tetap menatap kolam renang di depannya seperti tidak mendengar suaranya.
"Nay, Tante minta bantuanmu ya. Tante mohon banget. Mungkin Saka masih belum banyak merespon atau bahkan mengabaikanmu, tapi Tante mohon kamu sabar ya, Nay?"
Terngiang suara mama Saka saat dia baru saja menjejakkan kaki di rumah ini.
"Saka. Apa kabar?" Kali ini dia berdiri tepat di samping pria itu.
Saka tak menggerakkan badan, hanya manik cokelatnya saja yang bergerak memindai Naysilla. Perempuan berambut sebahu itu menarik bibirnya perlahan mencoba menahan getar rindu yang seakan ingin melompat dari hatinya.
"Hai! Apa kabar?" sapanya mengulang.
Masih tak ada sahutan, tetapi Saka menggeser tubuhnya seakan memberi ruang untuk Nay duduk di sampingnya. Menarik napas dalam-dalam, Nay mendekat dan duduk di sebelah Saka.
"Seperti yang kamu lihat. Kamu sendiri apa kabar?" tanyanya datar.
"Baik. Aku baik."
"Kapan datang?" tanyanya tanpa menatap.
Naysilla tak menjawab, sebenarnya dia sudah cukup lama pulang ke kota ini, karena dia sudah dipindahkan kembali ke tempat ini. Akan tetapi, dia hanya tak punya nyali untuk sekadar menyapa Saka. Jika saja Aini--mama Saka tidak memintanya, tentu sampai saat ini dia belum berada di depan Saka.
"Melamun?" Suara Saka mengejutkannya.
"Nggak! Aku tiga hari yang lalu. Iya, tiga hari yang lalu sudah di sini," balasnya gugup.
"Tiga hari yang lalu dan kamu baru menemuiku hari ini?" Saka masih tak menatap.
Sudah diduga. Pria itu pasti kesal karena dia tak segera datang kepadanya. Naysilla sangat tahu seperti apa Saka.
"Maaf, Saka. Aku ...."
"Sibuk? Sampai kamu nggak tahu kabarku? Atau memang nggak mau tahu?"
Naysilla sontak menggeleng.
"Bukan begitu, Saka. Aku takut!"
Naysilla memejamkan matanya menyadari kesalahan ucapannya barusan. Takut! Iya, dia memang benar-benar takut. Takut jika perasaannya kembali muncul dan bertambah subur.
"Takut?" Kali ini Saka menoleh dan memindai paras Naysilla.
Sejenak mereka bertukar pandang. Benar kata Aini, Saka benar-benar tak lagi mengurus penampilannya. Cambangnya panjang dan rambut pun ikut panjang. Sementara Saka yang dia kenal selalu rapi meski bercambang.
"Takut apa? Kenapa kamu takut?"
"Eum ... bukan itu, tapi aku khawatir kamu nggak mau nemuin aku, karena ...."
"Sejak kapan aku nggak mau nemuin kamu? Bahkan saat kamu ganti nomor telepon dan aku nggak bisa menghubungimu sama sekali, aku tetap berharap kamu datang," potong Saka yang sudah kembali menatap kolam renang.
Tenggorokan Naysilla seperti tercekat mendengar penuturan Saka. Tak disangka, ketika dia sama sekali ingin menutup akses komunikasi dengan Saka, pria itu masih berbaik sangka padanya.
"Kenapa diam? Masih takut?"
Nay mencoba membasahi tenggorokannya. Tuhan! Andai dia tahu seperti apa perasaannya saat ini. Cuma ada dua kemungkinan, antara Saka akan mentertawakan atau marah karena dia tidak jujur.
"Terima kasih sudah mau menemuiku. Aku turut berduka. Aku juga berharap kamu baik-baik aja, Saka," lirihnya.
Terdengar helaan berat dari pria berbaju hitam di sampingnya itu. Tentu saja ucapannya salah, karena jelas Saka tidak dalam kondisi mental yang baik.
Perasaan cintanya yang sangat dalamlah yang membuat dirinya menjadi seperti ini. Nay mendesah, menyesal mengucapkan kalimat barusan. Entah kenapa tiba-tiba saja dia kehabisan kalimat saat berada di dekat Saka.
"Makasih, Nay! Tapi sori, aku nggak bisa merasa baik-baik saja. Kamu tahu seperti apa perasaanku ke Nina, kan?"
"Iya. Kamu sangat mencintainya," jawabnya lirih nyaris tak terdengar.
Hening.
"Tapi hidupmu nggak bisa terus seperti ini, Saka."
"Kamu nggak bisa terus begini. Mau sampai kapan? Sementara ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya padamu."
Saka menarik bibirnya miring.
"Sok tahu kamu, Nay!"
Naysilla menarik napas dalam-dalam. Dia harus berhati-hati merangkai kata kepada pria depresi di sampingnya itu. Salah sedikit, bisa-bisa Saka mengusirnya.
"Bukan sok tahu, Saka, tapi aku tahu kamu punya banyak karyawan yang juga harus diperhatikan. Dengan kamu terus berdiam diri di rumah, bagaimana dengan kelanjutan hidup mereka? Perusahaanmu, semua yang kamu usahakan?"
"Hidup kamu harus berlanjut, Saka!" tuturnya lagi.
Saka mengubah duduknya. Pria itu memajukan tubuhnya lalu meletakkan tangannya dengan bertumpu di paha.
"Berlanjut? Untuk siapa?" Saka membuang napas kasar.
"Percuma aku bekerja mengurus semua yang kini aku miliki jika impianku hidup bersama Nina tak bisa terwujud! Percuma aku memiliki banyak karyawan jika aku tetap saja sepi!"
Nay tak menjawab. Ingin rasanya dia bangkit dan berdiri di depan Saka kemudian mengatakan perasaannya dengan lantang. Namun, tentu saja itu tidak mungkin dilakukannya.
"Ada banyak orang yang bersandar padamu, Saka. Setidaknya jika kamu merasa hidup tak lagi berguna, coba kamu lihat mereka yang bekerja untukmu. Betapa mereka menaruh banyak harap dengan bekerja padamu. Bukan hanya mereka, tapi anak dan istri mereka. Keluarga mereka. Kamu nggak boleh egois, Saka!" tuturnya panjang lebar.
Mendengar perkataan Naysilla membuat Saka menoleh dan kembali memindai wajah perempuan bermata bening itu.
"Kamu nggak sedang menceramahiku, kan?"
Nay membulatkan mata dan mengatupkan bibir. Lagi-lagi dia merasa canggung, ketika manik cokelat itu menatapnya.
"Enggaklah! Aku hanya mengatakan apa yang harus aku katakan. Itu aja."
**
Buat yang mau baca lebih dulu, bisa baca di KBM App ya. Akun Scarlett. Makasih 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top