Rahasia Ibu


Saka bergeming menatap mertuanya. Perempuan bijak itu tersenyum setelah mengungkapkan semuanya. Santi menceritakan tentang kondisinya belakangan ini yang kian menurun. Penyakit yang dialami Venina ternyata dialami pula oleh mertuanya. Penyakit yang jadi momok bagi semua orang.

"Ibu tahu kamu butuh waktu untuk bangkit dan melupakan Venina, tapi ibu juga tahu sedalam apa rasa cinta Naysilla untukmu, Saka."

Pria berkemeja putih dengan lengan digulung hingga siku itu menggerakkan bola matanya ke satu-satunya perempuan menjadi sandaran Naysilla. Saka tahu bagaimana Naysilla mencintainya, meski dirinya masih menyimpan banyak pertanyaan atas pernikahan yang dirasa semakin membuatnya tak nyaman itu.

"Ibu juga tahu kamu pria baik yang Ibu yakin dan berharap bisa menemani anak Ibu. Mendampinginya saat nanti Ibu tak lagi bisa memberi perlindungan untuknya," imbuh Santi dengan bibir tertarik singkat.

Perempuan itu telah lama menyembunyikan penyakitnya. Dia tak ingin Naysilla bersedih karena dirinya. Meski berulangkali sang putri bertanya soal perubahan dirinya yang semakin kurus, Santi selalu memiliki jawaban yang membuat Naysilla tak lagi bertanya lebih lanjut.

"Kalau kamu berpikir Ibu terlalu ikut campur dalam urusan hati, itu lebih karena Ibu ingin Naysilla bahagia. Itu sebabnya Ibu mengajakmu bertemu di tempat ini, Saka."

Saka mengusap wajahnya kemudian mengangguk.

"Cintai dia seperti Ibu mencintainya. Naysilla mungkin sedikit keras kepala, tapi Ibu yakin kamu bisa melunakkan hatinya."

"Semenjak kalian dekat beberapa tahun silam, Ibu sudah merasa ada hal berbeda di hati anak Ini, dan ternyata benar. Meski Naysilla berusaha menutupi perasaan sesungguhnya, tapi sebagai seorang Ibu, Ibu tahu apa yang ada di pikiran anaknya."

Santi menarik napas dalam-dalam. Perempuan di depannya itu telah melakukan kemo berulangkali tanpa diketahui Naysilla, hingga akhirnya dia memutuskan untuk berhenti. Berhenti karena penyakitnya sudah menjalar ke organ vital lainnya.

"Bu, apa tidak sebaiknya Naysilla tahu soal kondisi Ibu? Saya tidak bisa membayangkan kalau dia tahu belakangan, Bu."

Santi menggeleng cepat.

"Nggak, Saka. Tolong sembunyikan hal ini, hingga Ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini."

"Ibu, jangan bicara ...."

"Cepat atau lambat itu pasti akan terjadi. Ibu hanya berpesan tolong, jaga Nasyilla. Sayangi dia dengan tulus."

**

Naysilla tersenyum lebar saat coffe shop miliknya esok hari akan dibuka. Semua persiapan sudah seratus persen selesai. Sebuah coffe shop kecil dengan konsep modern minimalis sesuai yang diimpikan sudah menjelma nyata di hadapannya.

"Kamu suka, Nay?" Edgar mendekat dan berdiri di sebelahnya dengan tatapan di titik yang sama dengan Naysilla.

"Suka banget, Ed!" balasnya seraya menarik napas dalam-dalam, "Ibuku harus hadir besok. Dia pasti senang melihat ini semua!"

Edgar mengangguk.

"Dia pasti bangga memiliki putri sepertimu," timpal Edgar melirik ke arah Naysilla.

"Semua ini juga karena bantuan darimu, Ed!" Kali ini dia menoleh ke pria berkemeja biru gelap yang tengah menatapnya. "Thank you, ya. Kamu sahabat yang paling baik!" imbuh Naysilla.

Edgar menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Saka udah tahu besok grand opening?"

Naysilla mengedikkan bahu. Belakangan ini suaminya itu sering pulang larut malam. Jika akhir pekan pun, Saka lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Jika ditanya, jawaban yang sama selalu yang dia dapat. Urusan kerjaan, cuma itu.

"Nay?"

Naysilla menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Iya. Nanti aku kasi kabar ini ke dia. Eum ...." Naysilla menahan kalimatnya seraya menggigit bibir.

"Kenapa, Nay?"

"Nggak apa-apa. Oh iya, sepertinya segelas jus jeruk enak nih! Kita cari minum yuk!" ajaknya mengalihkan pembicaraan.

Edgar menaikkan alisnya kemudian mengangguk.

**

Menjelang senja, Naysilla tiba di rumah. Keningnya berkerut saat mendapati mobil Saka sudah berada di garasi. Setelah menutup pagar, dia mengayun langkah menuju pintu.

"Aku telepon tadi nggak diangkat?" Suara Saka membuat jantungnya hampir lepas. Pria itu ternyata berada di pintu masuk rumah mereka.

Menghela napas lega, Naysilla mengusap dadanya seraya berkata, "Mas ngagetin banget sih!"

"Dari mana? Telepon aku nggak diangkat. Kata orang di kantor, kamu sudah pulang lebih awal tadi," cecarnya.

Naysilla menarik napas dalam-dalam kemudian masuk melewati Saka. Dia menjatuhkan diri ke sofa setelah meletakkan tas cokelat besar berisi berkas dan perlengkapan kerjanya.

"Mas, bisa tanya baik-baik? Aku baru saja datang, dan aku capek," ungkapnya.

Saka terlihat menyesal, dia lalu ikut duduk di sofa tak jauh dari sang istri duduk.

"Sori, Nay, tapi aku khawatir banget tadi. Kamu nggak bisa dihubungi sama sekali sementara ...."

"Aku tadi pulang kantor langsung ke coffe shop," potongnya seraya mencepol rambutnya yang kini memanjang.

Gerak-gerik Naysilla dipindai lekat oleh Saka. Perempuan bermata indah itu membalas tatapan sang suami.

"Besok sore grand opening. Aku berharap Mas bisa datang besok. Aku juga berencana mengajak Ibu untuk ...."

"Aku bisa datang! Jam berapa besok? Biar aku yang jemput Ibu. Kamu nggak perlu repot ke rumah Ibu!" tandasnya.

Nasyilla mengernyitkan dahinya. Sejenak dia berpikir kenapa Saka begitu perhatian terhadap ibunya? Setidaknya belakangan ini, seringkali suaminya itu sering membelikan makanan kesukaan sang ibu.

"Nay? Kok ngelamun?"

"Oh iya. Eum ... besok jam empat sore. Mas bisa, kan?"

Saka menaikkan alisnya kemudian tersenyum.

"Kamu lupa aku tadi bilang apa?"

Bibir Naysilla membentuk huruf O kemudian mengangguk.

"Oke. Aku mau mandi lalu masak. Mas mau makan malam pake apa?" Nasyilla bangun dari duduk menatap sang suami.

"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi," balasnya datar.

"Kenapa nggak terima teleponku? Sibuk?"

Menarik napas dalam-dalam, Nasyilla menjawab, "Ponsel di dalam tas dan aku silent."

"Kenapa harus di-silent? Sengaja mau bikin aku bingung?" cibirnya.

"Ck! Kamu kenapa sih, Mas? Oke aku salah karena mengaktifkan mode silent. Aku janji nggak ngulangi lagi!"

Ada garis bibir terukir datar di sana.

"Di coffe shop kamu sama siapa? Edgar?" selidiknya.

Naysilla menyipitkan matanya membalas tatapan intens sang suami.

"Iya. Mas, kan tahu proyek coffe shop itu kerjasama aku sama dia."

Saka mengedikkan bahunya lalu bangkit dari duduk.

"Mau ke mana, Mas?"

"Ke ruang kerja. Kamu mau mandi, kan?" balasnya lalu beranjak pergi.

Menarik napas dalam-dalam, Naysilla berseru, "Mas mau makan malam apa?"

"Apa aja."

**

Mengenakan baju berlengan panjang berwarna lilac sebatas lutut, rambut berhias bando warna putih dan sepatu flat berwarna serupa, Naysilla terlihat segar dan memesona sore itu.

Edgar dan dirinya sibuk dibantu oleh beberapa karyawan yang sedianya akan diperkerjakan di tempat itu. Tampak juga Lusi yang mengajak kekasihnya ikut turun tangan membantu.

"Suami lo mana, Nay?" tanya Lusi saat mereka berdua merangkai bunga di vas besar yang akan diletakkan di dekat pintu masuk.

"Sebentar lagi juga sampai. Dia bilang mau jemput Ibu."

"Tante Santi?" Kening Lusi mengernyit.

"He emh," balasnya tanpa menoleh.

"Saka baik ya sama Ibu lo. Nggak nyangka gue."

"Sebenernya gue juga begitu. Nggak nyangka, tapi ...."

"Nay, ponsel kamu bunyi!" seru Edgar dari balik meja pantry.

Naysilla bangkit meninggalkan Lusi begitu saja. Dia berjalan cepat mendekati tasnya.

"Halo, Mas?"

"Sori, Nay. Aku sepertinya terlambat. Ada sedikit masalah. Maaf ya."

Wajah Nasyilla berubah murung. Tak ingin kecewanya terbaca oleh Saka di seberang sana, dia menarik napas dalam-dalam.

"Nggak apa-apa, tapi Ibu ...."

"Aku tetap ke sana. Ibu aku jemput. Nggak apa-apa,kan kalau telat?"

"Ibu biar aku jemput aja, Mas. Aku nggak mau kamu repot."

"Aku nggak repot. Aku tahu kamu di sana juga sedang repot, kan? Udah kamu fokus aja di sana. Ibu biar sama aku."

"Mas, tapi ...."

Obrolan diputus oleh Saka menyisakan beragam tanya di benak Naysilla. Tak ingin berpikir lebih, segera dia menghubungi ibunya. Namun, hingga panggilan kesekian kali, tak kunjung sang ibu menerima teleponnya.

"Ck! Ibu ke mana sih?" gumamnya dengan wajah cemas.

"Kenapa, Nay?" Edgar memiringkan kepalanya menatap perempuan berkulit bersih di depannya.

"Nggak apa-apa, Ed. Eum ... yuk ah, kita lanjutkan persiapannya!"

Edgar mengedikkan bahu lalu mengangguk.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top