Pulang


Mencepol rambutnya, Naysilla kembali menatap laptop. Hari ini dia cukup santai, karena setelah menunggu lama akhirnya surat pengunduran dirinya diterima. Meski dengan beberapa catatan. Bos memintanya agar Naysilla membimbing penggantinya agar bisa bekerja seperti dirinya. Hal itu disambut baik oleh Naysilla, karena dia bisa leluasa mengontrol coffe shop miliknya.

Sudah dua pekan, baik Naysilla maupun Saka tidak bertemu dan tidak saling memberi kabar. Saka memilih pulang sementara Naysilla menempati rumah masa kecilnya. Hal itu dia lakukan karena ucapan Saka malam itu. Saka mengatakan bahwa mereka butuh jeda agar tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Tak ingin Saka berpikir dirinya terkesan mengemis, Naysilla memilih membiarkan pria itu tenggelam dalam pikirannya. Bukan karena dirinya tak lagi cinta, tetapi agar Saka bisa mengerti apa arti cinta yang dia miliki untuk pria itu.

Bunyi bel pintu terdengar, disertai suara cempreng Lusi membuat bibir Naysilla membentuk pisang. Melihat ke jam dinding dia tersadar matahari sudah hampir tenggelam.

"Ya Tuhan, Nay! Iya gue tahu lo udah nggak ngantor, udah punya bisnis sendiri, tapi hari gini lo masih belum mandi dan see! Mana make up lo?" cecar Lusi dengan mata membeliak saat dia membuka pintu.

Lusi adalah rekannya yang paling bawel soal penampilan sementara dia termasuk orang yang moody soal dandan dan mematut lama di depan kaca.

"Masuk ah, lo udah ngomel-ngomel aja!"

Lusi menarik napas dalam-dalam sambil melangkah mengekori Naysilla.

"Lagi ngapain, Nay?" tanyanya saat melihat laptop menyala.

"Lagi nyari resep pizza yang paling oke!" sahutnya mendekat dengan membawa dua gelas jus mangga dingin.

"Pizza? Lo mau bikin gerai pizza atau ...."

Naysilla mengedikkan bahu. "Belum kepikiran ke situ sih, gue cuma mau nambahin menu di coffe shop, Lus. Kalau beragam, kan lebih asyik gitu," terangnya.

Lusi mengangguk kemudian mengambil minuman yang dihidangkan sahabatnya.

"Kemarin gue sempat bicarakan soal ini ke Edgar, dan dia setuju. Dia nyerahin ke gue seperti apa pizza yang akan kami sediakan di sana nanti."

Mendengar nama Edgar, bola mata Lusi membesar seolah ingin menyelidiki lebih jauh.

"Lo sering ketemu dia, Nay?" tanyanya meletakkan gelas yang sudah tersisa separuh ke meja.

Menarik napas dalam-dalam, Naysilla menaikkan alis kemudian meneguk minumannya.

"Nay! Lo sadar nggak sih kalau lo itu salah?"

Meletakkan gelas di meja, Naysilla mengatupkan bibirnya seperti enggan menanggapi.

"Nay! Lo itu masih jadi istri Saka, dan lo sekarang dekat sama Edgar! Lo nggak mikir bagaimana kalau ...."

"Gue nggak sejahat itu, Lusi. Please! Lo tahu gue, kan? Gue tahu, Lus. Gue tahu apa yang boleh dan yang tidak," potongnya.

"Kalau lo tahu, kenapa kalian pisah rumah? Apa lo nggak khawatir kalau mertua lo tahu soal ini?" selidiknya.

Naysilla menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap laptop yang menyala. Dia paham bahwa apa yang dilakukan ini tidak benar. Bahkan jika ibunya tahu pun dia tetap akan disalahkan. Akan tetapi, apa jadinya jika hanya dirinya saja yang mempertahankan sementara Saka tidak?

"Nay!"

"Ya?"

"Ck! Bengong deh jadinya. Gue tahu, lo juga sebenarnya nggak mau ini terjadi, kan?"

"Ini permintaan Saka, Lus," keluhnya seraya bersandar di bahu sofa.

"Permintaan Saka?" tanyanya dengan kening berkerut. "Jadi Saka yang minta supaya kalian pisah rumah?"

Naysilla menggeleng cepat. "Bukan begitu, tapi ...."

"Tapi apa?" desak Lusi.

"Dia mengatakan butuh jeda untuk menelaah semua yang terjadi. Dia bilang agar kita masing-masing sendiri dulu," paparnya.

"Sampai kapan? Emang kalian udah dapat jawabannya?" Lusi semakin heran.

Naysilla kembali menggeleng, kali ini dengan menarik napas dalam-dalam.

Lusi mengembuskan napas kasar. Bukan karena dia ingin terlalu ikut campur dalam urusan Naysilla, tetapi dia merasa turut bersalah karena ikut memberi keyakinan pada Naysilla bahwa Saka pasti juga bisa mencintai sahabatnya itu.

"Nay, lo nggak ingin mempertahankan rumah tangga lo?" Lusi menoleh menatap Naysilla intens. "Lo bilang lo cinta dan ibu lo berpesan bahwa ...."

"Kalau cuma gue yang bertahan apa bisa, Lusi? Kalau cuma gue yang mencintai dia sementara dia nggak apa bisa rumah tangga berjalan dengan baik, Lusi?" selanya. "Gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan sekarang!"

Lusi tercenung. Dia membenarkan apa yang diucapkan Naysilla, tetapi dia juga tahu bagaimana perasaan sahabatnya itu pada Saka.

"Jadi loe nyerah? Lo mau mengakhiri hubungan kalian?"

Perempuan bermata indah itu membisu. Mengakhiri hubungan dengan Saka tentu tidak semudah yang diucapkan Lusi. Dia harus berhadapan dengan janjinya sendiri pada sang ibu, dan tentu saja menjaga nama baik almarhumah ibunya adalah salah satu janji yang harus dia tunaikan.

Akan tetapi, jika saja ibunya masih ada, Naysilla yakin tidak ada seorang ibu di dunia ini yang rela perasaan tulus anaknya dipermainkan oleh pria.

Lalu bagaimana pula dengan reaksi keluarga Saka? Mama Aini yang begitu perhatian dan sayang dan tentu saja Papa Hendra yang juga sangat bangga memiliki menantu sepertinya.

"Lo bingung, kan, Nay?"

"Apa lo punya saran? Apa ada jalan keluar untuk semua masalah ini?"

"Lo harus punya keyakinan itu intinya, Nay."

Naysilla memiringkan kepalanya menatap Lusi.

"Keyakinan apa?"

"Keyakinan kalau lo bisa mewujudkan permintaan almarhumah ibu lo!"

**

Saka mematikan alarm ponselnya kalau menyibak selimut. Semalam dia tidur dini hari setelah banyak ngobrol dengan Bram. Masih dengan mata mengantuk dia lalu beranjak dari ranjang. Ada jadwal meeting dengan investor hari ini yang membuat dia harus bergegas pagi ini.

Setelah merapikan dasi, Saka memutar kenop pintu kamarnya. Akan tetapi, ada hal yang membuat keningnya berkerut. Suara penyedot debu terdengar dari luar kamar. Sesekali dia mendengar suara seseorang terbatuk-batuk dan dia sangat mengenali pemilik suara itu.

"Naysilla?" gumamnya dengan cepat membuka pintu kamar.

Matanya menatap perempuan yang tengah mengenakan masker dan sibuk membereskan ruang tengah. Seolah tak peduli dengan kehadirannya, Naysilla merapikan buku yang berserakan di lantai untuk diletakkan kembali di rak. Baru saja Saka hendak menyapa, seperti teringat sesuatu, perempuan berdagu belah itu menepuk dahinya bergegas ke pantry.

"Hai, morning! Udah mau berangkat? Sarapan dulu! Ada lemon hangat sama ini, aku baru buat semalam di rumah dan aku pikir nggak ada salahnya kalau kamu jadi pencicip pertama untuk menu coffe shop aku," ucap Naysilla bersemangat.

Saka memerhatikan gerak-gerik sang istri yang sigap menyiapkan hidangan makan paginya.

"Duduk dulu. Aku udah panaskan pizza-nya!" imbuhnya lagi dengan bibir melebar.

"Mau aku temani atau ...."

"Nay," seru Saka menahan lengan sang istri yang hendak kembali membersihkan ruang baca.

Dicekal sedemikian rupa membuat badannya berbalik menghadap Saka hampir tak berjarak.

"Kenapa? Aku salah?" tanyanya dengan suara pelan.

Saka menggeleng. "No! Makasih ya kamu udah mau kembali," balas pria beraroma perpaduan woody dan black pepper itu dengan suara lembut tepat di telinganya.

Mencoba menenangkan debar jantung yang semakin cepat berdetak, Naysilla menarik bibirnya datar lalu membuat jarak. Seraya mengangguk dia berkata, "Aku pikir Mas butuh seseorang untuk menyiapkan sarapan dan ...."

Saka mengusap puncak kepala Naysilla lalu memberi isyarat agar sang istri duduk.

"Kamu keberatan kalau aku meminta untuk ditemani sarapan?"

Menarik napas dalam-dalam Naysilla mengangguk kemudian duduk di kursi mini bar mereka. Dia duduk agak jauh dari Saka. Naysilla tak ingin terlihat nervous di mata pria itu.

"Enak nggak?" tanyanya setelah Saka menggigit pizza buatan sang istri.

Saka mengunyah seraya menyipitkan matanya.

"Nggak enak ya?" Wajah Nasyilla terlihat khawatir.

"Kamu mau aku komentari, kan?"

Perempuan yang memakai apron kuning itu mengangguk.

"Jujur ini rasanya seperti pizza supreme favorit aku!"

Mata Nasyilla membulat mendengar jawaban Saka.

"Serius?"

"Hu umh! Serius," balasnya seraya terus melanjutkan sarapan. "Cuma mungkin next keju mozzarellanya ditambah ya, pelit amat!"

Naysilla tertawa kecil mendengar canda Saka. Dia lalu mengangguk cepat.

"Oke, noted! Thank you udah kasi masukan."

Saka mengangguk kemudian meneguk habis minumannya.

"Jadi ... gimana kamu bisa masuk ke rumah ini?" selidik Saka menghadap istrinya.

"Aku punya kunci duplikat. Mas lupa?"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top