Pernikahan abu-abu

Senyum Aini merekah menyambut Saka dan Naysilla.

"Pagi, Ma, Pa," sapa Saka dan Naysilla bersamaan.

Hendra dan Aini membalas hangat lalu mempersilakan mereka berdua duduk. Gak lama asisten rumah tangga keluarga Saka muncul membawa nampan berisi lemon hangat untuk membuka sarapan pagi itu.

Cekatan Naysilla mengoleskan selai cokelat kacang ke roti gandum yang sudah disediakan. Kemudian dengan senyum merekah, dia meletakkan ke piring milik Saka.

"Makasih," tuturnya seraya tersenyum disambut anggukan oleh Naysilla.

Aini dan Hendra ikut tersenyum melihat interaksi keduanya yang terlihat baik. Selanjutnya mereka berempat menikmati makan pagi.

Setelah menyelesaikan sarapannya Hendra menanyakan soal bulan madu.

"Itu belum Saka bicarakan ke Naysilla. Saka sih terserah Nay aja mau ke mana." Saka melirik ke istrinya kemudian meneguk minuman yang disediakan.

"Tuh, Nay. Kamu mau menghabiskan satu pekan ini ke mana?" Aini menatap menantunya antusias.

Menarik napas dalam-dalam, Naysilla tersenyum.

"Nay nggak punya bayangan, Ma," balasnya seraya meletakkan garpu ke piring. "Sebab Nay bukan tipe yang suka jalan-jalan, Ma."

Aini menaikkan alisnya masih dengan bibir melebar.

"Mungkin memang bukan tipemu, Nay, tapi kamu harus menikmati pernikahan ini dan merayakannya secara privat bersama suamimu."

"Atau gini aja deh, kalian diskusi dulu ke mana tujuan bulan madu kalian," imbuhnya memalingkan wajah ke Saka. "Kamu sih, sejak sebelum nikah kemarin, Mama, kan udah bilang kalau sebaiknya kamu langsung pilih tujuan bulan madunya. Lagian Mama rasa Naysilla tentu akan menyukai ke mana pun kalian pergi, iya, kan, Nay?"

Tarikan di bibir Naysilla terlihat datar.

"Iya, Ma. Nanti kita bicarakan soal ini. Eum, nanti Saka ajak Nay ke rumah Saka ya, Ma, Pa."

Hendra dan Aini mengangguk bersama.

"Seperti yang pernah Saka bilang ke Mama Papa, kelak kalau Saka sudah menikah, Saka bakal tinggal di rumah itu, dan Saka rasa sekarang waktunya."

Aini mengangguk.

"Kamu sudah pernah diajak ke rumah Saka, Nay?"

"Belum, Ma."

Aini kemudian bercerita jika rumah itu sudah cukup lama dibeli oleh putranya dari hasil keringat sendiri. Perempuan paruh baya itu tampak sangat bahagia. Aini mengungkapkan angan-angannya jika kelak mereka memiliki cucu dari Saka.

"Mama nggak bisa bayangin betapa Tuhan sangat baik pada keluarga kita!" pungkasnya masih dengan mata berbinar.

Sementara Saka terlihat hanya menarik bibirnya singkat kemudian kembali meneguk minuman hingga tandas.

"Nay."

"Ya?"

"Kita pergi sekarang?"

Perempuan berdagu belah itu hanya mengangguk menanggapi. Dia lalu bangkit seraya berkata, "Aku siap-siap dulu ya."

Saka tersenyum kemudian mengangguk. Setelah memohon diri meninggalkan meja makan, Naysilla melangkah meniti anak tangga menuju kamar.

**

Saka melihat ke arah Naysilla. Perempuan itu sejak tadi memilih diam menatap bunga melati yang tengah mekar di hadapannya. Bibirnya seperti terkunci begitu masuk mobil hingga mereka sampai di kediaman pribadi Saka.

Rumah asri yang dipenuhi tanaman bunga itu terbiasa sejuk, tetapi tentu tidak dengan hati Naysilla. Hunian tersebut berada mengusung tema cluster, jadi tidak ada pagar pembatas antara satu rumah dengan rumah yang lain. Menurut Aini, putranya itu memilih rumah dengan konsep seperti itu karena tingkat keamanan yang sangat bisa diandalkan.

Saka menarik napas saat melihat kembali ke Nasyilla. Perempuan yang mengenakan blouse putih dengan celana denim berwarna biru langit itu seperti masih enggan ikut masuk melihat isi dalam rumah.

"Nay," sapanya pelan menghampiri sang istri.

"Hmm," sahutnya tanpa menoleh.

"Kita masuk yuk! Rumah ini rumah kita. Semoga kamu suka dengan lingkungan di sini."

Naysilla menoleh sejenak kemudian menarik napas dalam-dalam kembali menatap kuntum melati yang bermekaran.

'Jaga nama baik suamimu dan keluarganya, Nay.' Ucapan ibunya kembali terngiang.

Menarik napas dalam-dalam, Naysilla mulai mencoba menenangkan hatinya. Petuah sang ibu adalah hal yang harus dia lakukan. Naysilla sadar dia adalah harga diri ibunya. Jika sedikit saja dia melakukan kesalahan, tentu saja sang ibu yang akan terkena imbasnya. Dia tak ingin ibunya sedih apalagi kecewa.

"Nay? Kamu sakit?" Suara Saka kembali menyapa kali ini mencoba menyentuh keningnya.

"Aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu bersikap seperti itu!" Naysilla menjawab seraya menghindari tangan Saka.

Lirih Saka mengucapkan maaf, dan hanya ditanggapi lirikan dari sang istri.

"Kamu mau ngajak aku masuk, kan?"

Saka mengangguk kemudian membuka pintu. Seperti rumah pada umumnya, ruang tamu lapang dan nyaman menyambut mereka. Sofa besar berwarna kuning gading dengan lukisan pemandangan pantai nan indah tampak tergantung di dinding. Tak terlalu banyak perabot di ruang tamu itu. Selain sofa besar dan meja, di sudut ruangan terdapat meja kecil yang di atasnya terdapat vas  yang masih belum ada isinya.

"Kamu suka?"

Naysilla hanya menarik bibirnya singkat. Matanya kemudian menyisir ruang yang lain. Dia melangkah lebih dalam. Ada ruang televisi yang langsung terhubung dengan coffe corner dan ada sudut baca. Dia tahu dari jajaran buku yang terdapat di rak kecil di tempat itu.

Tak jauh dari coffe corner ada dapur yang cukup luas untuk beraktivitas di sana. Meski rumah itu jarang ditempati oleh Saka, tetapi setiap hari ada orang yang dipercaya untuk membersikan. Sehingga kediaman Saka terlihat selalu bersih.

Seolah tak mempedulikan Saka, Naysilla melangkah menuju sudut baca. Ada sofa kecil, tetapi nyaman tersedia di sana. Selebihnya beberapa bantalan kecil beraneka warna berserak di atas karpet cokelat muda. Naysilla menjelajahi buku-buku itu dengan tangannya. Gerakannya berhenti tepat di satu novel roman karya penulis kesayangannya.

"Kamu koleksi novel roman juga?" tanyanya tanpa menoleh.

Senyum Saka melebar.

"Ya karena aku tahu, akan ada perempuan yang hobi baca novel roman di rumah ini," sahutnya.

Kali ini bibir Naysilla sedikit melebar.

"Nay."

"Ya?"

"Aku harap kamu nggak salah paham soal yang kemarin malam."

"Yang mana?" Naysilla menghenyakkan tubuh di sofa seraya membuka novel yang ada di tangannya. Dia sengaja mengacuhkan ucapan Saka, meski dia tahu arah pembicaraan pria itu.

Saka melangkah kemudian duduk di kursi berukir tak jauh dari tempat istrinya duduk.

"Soal ...."

"Pernikahan kita yang sedang mencari formatnya?"

Saka menaikkan bibirnya kemudian menggeleng.

"Nay, kita sekarang suami istri. Itu formatnya."

"Iya. Tapi kamu tidak memiliki landasan yang semestinya, Mas."

"Tapi aku akan belajar untuk itu, Nay!"

"Belajar mencintaiku atau aku yang akan kamu bentuk agar seperti orang yang kamu cintai?" tandasnya seraya menyerahkan selembar foto yang ada di dalam novel yang tengah dia buka.

"Kamu begitu mencintainya, kan? Dan aku bukan perempuan yang kamu inginkan, kan?"

Saka membisu.

Naysilla tampak menarik napas dalam-dalam lalu bersandar di punggung sofa.

"Dengar, Mas. Katakan apa yang kamu inginkan dariku? Kamu ingin aku bersikap seperti Venina?"

Pria berkaus polo berwarna hitam itu masih mengunci rapat mulutnya. Meski begitu tergambar wajah muram di sana.

"Kenapa kamu tanyakan itu?" tanyanya lirih.

"Karena aku tahu apa yang kamu inginkan, Mas. Karena aku tahu kamu nggak sepenuh hati menerimaku ... bahkan sama sekali tidak ada secuil hatimu untukku."

"Nay!"

"Baik! Aku terima semua yang kamu utarakan kemarin malam. Pernikahan ini hanya raganya saja tadi tidak hatinya. Kita bersama, tetapi tidak dengan hati, kan?"

"Tapi kamu bilang kamu mencintaiku?"

Naysilla tersenyum.

"Sekarang aku paham, ternyata memang cinta tidak selalu harus memiliki. Setidaknya biarkan aku menyimpan rasa itu, Mas. Dan kamu ... katakan kapan aku bisa menjauh dari hidupmu."

"Nay! Apa-apaan sih!"

"Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan, Mas! Itu apa? Terus itu yang di meja dekat televisi apa? Bahkan setiap sudut ruangan ini penuh dengan dirinya, Mas!"

Naysilla sedikit menaikkan suaranya. Sementara Saka menatap tempat yang ditunjuk sang istri. Dia sebenarnya sudah ingin menyimpan foto Venina, tetapi hatinya masih enggan melakukan itu.

"Oke aku memang akan singkirkan semuanya, Nay. Aku, kan sudah bilang, bantu aku untuk ...."

"Aku nggak janji, tapi aku akan melakukan karena ingin menjaga nama baikmu dan keluargamu seperti pesan ibuku. Itu aja!"

Saka mengusap wajahnya lalu menarik napas dalam-dalam.

"Kamu benar, Nay. Aku belum sepenuhnya bisa lupa dengan masa lalu, tapi aku sadar aku nggak bisa terus begini, kan?"

"Lalu?"

"Bantu aku. Setidaknya aku tahu kamu mencintaiku."

Hening. Naysilla memalingkan wajah ke arah lain saat Saka menatapnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top