Perhatian
Mencintaimu itu seperti menunggu, tetapi tak tahu apa yang ditunggu dan bertahan, tetapi tak tahu apa yang dipertahankan. *No name*
**
Lusi menatap Naysilla resah. Melihat tatapan sendu sahabatnya membuat dia serba salah. Sejak pulang kantor tadi, Naysilla menolak untuk segera pulang.
Satu pekan setelah pernikahannya, perempuan itu datang kembali ke kantor dengan senyum tipis seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Sebagai sahabat, tentu saja menggelitik perasaannya untuk segera bertanya, tetapi Naysilla menutup mulutnya rapat-rapat.
Langit mulai berwarna saga, sementara mereka berdua masih di kafe favorit mereka jika ingin menghabiskan waktu di luar.
"Nay! Lo ngajakin gue ke sini cuma mau ngajak gue bengong, gitu?"
Naysilla mengalihkan pandangannya ke Lusi kemudian meneguk smoothies strawberry favoritnya.
"Lo kalau mau pulang, pulang aja deh, Lus."
Menarik napas panjang, Lusi menggeleng.
"Lo kenapa sih, Nay? Lo berantem sama Saka?"
Naysilla menyangga dagu dengan tangannya. Mata indah perempuan itu sejenak menerawang.
"Dia nggak cinta sama gue, Lus!" lirihnya.
"What!" Kening Lusi berkerut, "maksud lo, Saka? Saka nggak cinta sama lo? Lo tahu dari mana? Dia bilang ke elo?" cecarnya.
Kembali Naysilla menarik napas.
"Lo lupa gue pernah cerita soal ini, kan?" balasnya malas.
Lusi mengangguk pelan.
"Tapi lo berhak bahagia dengan perasaan cinta lo, Nay."
"Meski bertepuk sebelah tangan?"
"Gue nggak yakin Saka nggak cinta sama lo! Gue yakin banget kalau dia punya perasaan yang sama, tapi mungkin dia hanya butuh waktu."
Naysilla bergeming.
"So, gue harus apa, Lus?"
"Lo harus bisa bikin suami lo jatuh cinta ke lo! Lo nggak boleh nyerah cuma karena bersaing dengan orang yang sudah nggak ada lagi di dunia ini, Nay!"
"Jadi gue harus bersikap seperti selayaknya ...."
"Seorang istri pada suaminya!" potong Lusi.
Naysilla masih menyangga dagu dengan tangannya seperti tidak setuju dengan ucapan Lusi.
"Kenapa? Lo nggak mau? Kalau lo nggak mau, lo dosa, Nay!"
"Bukan begitu, Lusi! Ini nggak adil tahu nggak?" elaknya.
"Nggak adil? Mungkin, tapi itu kewajiban elo, Nay. Lagian, Saka, kan, hanya meminta jeda untuk memastikan perasaannya?"
"Tapi ini sulit dan ...."
"Lalu? Apa ada cara lain selain yang aku ucapkan tadi"
"Lo mau ibu lo sedih? Nggak mau, kan?"
Naysilla kembali menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan. Tentu saja dia tak ingin mengecewakan sang ibu. Benar kata Lusi, buat apa berhenti hanya karena perempuan yang kini sudah tak ada lagi di dunia. Dia adalah istri sah yang berhak atas segalanya yang ada di diri Saka. Naysilla mengangguk samar, dirinya merasa memang harus mengikuti saran Lusi untuk menjadi sebagimana istri sesungguhnya.
Naysilla menoleh ke luar kafe. Langit tak lagi berwarna saga. Mentari sudah benar-benar kembali ke peraduan.
Dering telepon genggam membuyarkan lamunannya.
"Halo."
"Kamu di mana?'
"Masih di kafe bareng Lusi. Kenapa?"
"Kenapa nggak langsung pulang?"
"Ada sedikit urusan."
"Oke. Aku juga masih di luar rumah. Mungkin malam baru pulang."
"It's oke! Take your time!"
Obrolan berakhir. Naysilla meletakkan lagi ponselnya ke meja diiringi tatapan heran dari Lusi.
"Flat banget nggak sih, Nay?"
"Apanya?"
"Lo sama Saka! Yakali pengantin baru kayak gitu?"
"Oke! Aku rasa gue harus pulang!"
Kali ini mata Lusi menyipit.
"Kenapa?"
"Lo mau gue bersikap seperti perempuan bersuami pada umumnya, kan?"
Lusi mengangguk kemudian ikut bangkit dari duduk dan melangkah mengikuti Naysilla.
**
Naysilla mengangkat bibirnya singkat melihat hidangan yang sudah siap di meja. Sesekali dia melirik jam tangan kemudian kembali merapikan piring di meja makan.
"Kata Lusi aku bisa bikin kamu jatuh cinta. We will see. Setidaknya aku udah mencobanya supaya ibu bahagia," gumamnya kali ini dengan bibir melebar.
Menunggu adalah perbuatan yang membosankan dan kini dirasakan Naysilla. Sudah hampir tiga jam dia mondar-mandir duduk di ruang tengah, balik ke meja makan, lalu ke ruang baca dan kembali ke ruang tengah, hingga akhirnya berjalan menuju jendela berharap Saka tiba. Namun, sampai jam menunjukkan pukul sepuluh malam, pria itu tak juga muncul.
Naysilla mulai gelisah, berkali-kali dia membuka ponselnya berharap sang suami memberi kabar, tetapi hening. Berkali-kali juga dia menghubungi, tetap sama, tidak ada jawaban dari Saka.
Menarik napas dalam-dalam, Naysilla kembali ke meja makan. Semur daging, perkedel, dan tumis brokoli sudah tak lagi menggoda seperti tadi. Tak ingin berkubang kecewa, dia membereskan meja makan dan menyimpan aneka hidangan itu ke lemar es. Meski perutnya terasa lapar, Naysilla enggan untuk menikmati makan malam sendirian. Sebuah apel di kulkas dia gigit untuk mengganjal perut malam ini.
Raut kecewa tergambar di sana, meski begitu ada segaris senyum samar tercetak. Dia teringat ucapan Bu Hetty kala itu. Mama dari Edgar itu mengatakan jika ingin disayang suami, manjakan perutnya. Beri dia makanan yang enak dan lezat. "Tetapi, tentu saja manjakan juga bagian bawah perutnya." Mengingat ucapan terakhir, Naysila bergidik lalu melangkah ke kamar setelah memastikan semua jendela dan pintu terkunci.
**
Naysilla membuka pintu kamar perlahan. Dia tahu Saka sudah datang karena semalam samar dia mendengar mobil masuk ke garasi. Dia melihat Saka meringkuk di sofa masih dengan pakaian kerja yang tentu saja sudah berantakan.
Hari masih sangat pagi saat dia keluar kamar. Naysilla berniat untuk ke minimarket terdekat yang biasa buka 24 jam. Jadwal menstruasi yang lebih awal datang sementara tidak ada pembalut memaksanya harus keluar pagi itu.
Langkahnya semakin perlahan ketika melewati sofa tempat Saka merebahkan diri.
"Nay?"
Langkahnya terhenti, mata indahnya membulat mendengar sapaan suaminya.
"Iya?" jawabnya seraya membalikkan badan.
"Ke mana?"
"Mau ke ...."
"Kok jalannya mengendap-endap gitu?"
"Aku khawatir kamu terbangun."
"Aku belum tidur."
"Hah? Belum tidur?"
Saka menarik bibirnya singkat kemudian bangkit mendekat. Naysilla mundur mencoba membuat jarak.
"Maaf ya. Semalam aku pulang larut malam."
Mengangguk, Naysilla tak punya keberanian menatap mata pria yang sangat dicintainya itu.
"Kemarin waktu aku telepon, sebenarnya aku mau bilang kalau aku dalam perjalanan ke luar kota. Ada proyek yang sedikit bermasalah di sana, tapi mendengar suara kamu sedang nggak mood sepertinya, jadi aku putuskan untuk nggak bilang. Maaf ya."
Naysilla mengangguk pelan. Dia kembali mengingat percakapan di telepon sore menjelang senja kemarin. Dia memang malas-malasan menjawab telepon dari Saka.
"Aku yang harus minta maaf. Kemarin aku ...."
"Nggak apa-apa, Nay," potongnya tersenyum, "sekarang kamu ke mana? Kok pakai sweater?"
"A ... ku, aku mau ke minimarket depan komplek," jawabnya seraya merapatkan baju tebal itu ke tubuhnya.
"Sepagi ini? Di luar masih gelap, kan?" cecarnya dengan kening mengernyit.
Naysilla tersenyum samar seraya mengangguk.
"Mau beli apa emang?"
"Eum, aku ... aku mau beli ...."
"Beli apa?"
"Pembalut! Aku mau beli pembalut," tukasnya menggigit bibir menahan nyeri perut yang muncul kembali setelah subuh tadi.
Mata Saka menyipit. Dia mengangkat dagu Naysilla dengan ujung jemarinya sehingga mereka saling menatap. Sejenak pria itu teringat Venina. Sama seperti Naysilla. Venina juga kerap sakit perut saat datang bulan. Setidaknya mantan kekasihnya itu sering mengeluhkan hal itu saat silam.
"Kamu di sini aja. Biar aku yang belikan!" titahnya seraya menurunkan tangannya dari dagu sang istri.
"Jangan, Mas! Biar aku aja. Nggak apa-apa, kok!" tolaknya.
"Aku juga nggak apa-apa, kok! Masa aku tega membiarkan kamu keluar pagi buta dengan kondisi perut yang sakit seperti itu?" balas Saka seraya meninggalkan Naysilla yang masih berdiri mematung.
"Kamu mau merek apa?"
"Terserah!"
"Merek terserah nggak ada!"
Senyum Naysilla terbit mendengar jawaban Saka. Pria itu sudah berdiri di depan pintu dengan kunci mobil di tangan.
"Kenapa malah bengong, Nay? Kamu mau beli pembalut merek apa?" ucapnya dengan penampilan berantakan.
Kali ini Naysilla bisa melihat sisi lain dari pria itu. Saka mungkin kadang terlihat tak berperasaan, tetapi saat ini sisi hangatnya kembali hadir, dan entah mengapa Naysilla menyukai pria itu meski dengan penampilan kacau.
"Nay?"
Tergagap, dia segera kembali menarik bibir.
"Kamu yakin mau beliin aku pembalut?"
"Ck! Banyak tanya ah! Aku belikan sekarang. Tapi kalau salah merek, jangan ngambek!" ujarnya kemudian membalikkan badan meninggalkan rumah.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top