Perasaan Saka

Dua pekan setelah insiden waktu itu Naysilla tak pernah bertemu dengan Saka. Keduanya juga tidak pernah saling menghubungi.

Naysilla merasa 'tugasnya' telah selesai karena Saka sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Bahkan menurut Lusi, beberapa waktu lalu dia melihat pria itu sedang asyik kongkow di sebuah kafe di pusat kota.

Kabar dari Lusi tentu cukup membuatnya lega, meski tak dipungkiri ada terselip kerinduan di dasar hatinya.

"Lo kangen ya?" Lusi meledek.

"Apaan sih, Lus! Gue bukan siapa-siapa. Udah ah! Nggak perlu dibahas soal ini," tangkis Naysilla saat Lusi menggodanya.

"Jangan bohong deh, Nay! Gue berteman sama lo udah cukup lama. Gue tahu lo lagi happy, atau lagi sedih. Udah nggak usah pura-pura deh! Lo kangen, kan sama dia?" ledeknya dengan mimik muka menggoda.

Naysilla menggeleng cepat lalu kembali menghadap laptopnya. Menatap layar tujuh belas inci, tetapi pikirannya berkelana. Lusi benar, dirinya memang rindu.

Akan tetapi, sudah cukup bagi Naysilla menemani Saka. Mungkin Tuhan memang tidak memberi nama Saka  suratan takdirnya. Mungkin bagi Tuhan cukup Saka menjadi teman baiknya seumur hidup. Mungkin hanya itu. Sekali lagi ... mungkin!

Naysilla masih tercenung memainkan mouse laptop tanpa tahu apa yang akan dilakukan. Hal itu tentu saja diketahui oleh Lusi. Menggeleng seraya mengulas senyum, dia membiarkan sahabatnya itu berbuat semaunya.

"Nay!"

"Ya?"

"Ngaku deh kalau lo kangen dia, kan?"

"Nggak!"

"Yakin nggak?"

Naysilla menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng.

"Udah, Lusi! Kalau gue bilang nggak ya nggak!"

Lusi kemudian mengedikkan bahu menahan tawa. Tanpa dijawab sebenarnya dia tahu apa yang dirasakan sahabatnya itu. Mungkin bisa saja dia mengabarkan hal ini pada Saka, tetapi dia sendiri tidak mengenal pria itu.

"Lusi!"

"Ya?"

"Besok ikut gue yuk!"

"Ke?"

"Belanja bahan kue!"

"Oke!"

**

Saka memasuki sebuah toko kue yang cukup ternama. Besok adalah hari ulang tahun mamanya, dan toko kue ini adalah langganan Aini. Ownernya adalah sahabat sang mama.

Dia berniat untuk memesan cake dengan custom sesuai yang diinginkan untuk memberi kejutan di hari spesial sang mama.

Namun, matanya menangkap sosok perempuan yang beberapa pekan belakangan ini dia coba untuk hindari. Saka melihat Naysilla tengah berbincang dengan Edgar yang dia tahu adalah putra pemilik toko kue tersebut dan mereka pernah satu SMA kala itu.

Dari gerak-geriknya dia menangkap jika keduanya sudah sangat dekat. Sesekali tampak Naysilla menutup mulutnya menahan tawa.

Tak ingin kehadirannya diketahui, segera Saka mengurungkan niatnya untuk melangkah. Gegas dia berbalik badan meninggalkan tempat itu.

Hampir tiga pekan dia tak bertemu perempuan itu. Sejak Naysilla mengatakan bahwa dirinya yang salah dan sejak mamanya mengatakan bahwa dia telah membuat hati Naysilla luka, sejak itu dia berusaha menjauh dari perempuan bermata indah itu.

Dia sendiri sampai saat ini tidak mengerti maksud sang mama. Mamanya justru memintanya untuk mencari tahu apa yang dirasakan Naysilla. Mungkin lebih tepatnya tak mau mencari tahu.

Menjauh dari Naysilla menurutnya adalah yang paling baik saat ini. Berusaha menjauh dan bisa! Dia bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Naysilla. Dia juga bisa untuk tidak cari tahu tentang perempuan itu. Akan tetapi, mengapa hatinya memanas ketika melihat Edgar bersama Naysilla?

Saka menarik napas dalam-dalam seraya mencengkeram kemudi. Sial! Ada apa dengan hatinya? Jelas di pandangan Saka, bahasa tubuh keduanya menggambarkan bahagia. Tunggu! Kalau Naysilla bahagia, tentu dia juga harus merasakan hal itu, bukan? Tetapi kenapa ini sebaliknya? Kenapa dia merasa ada yang salah dari dirinya?

"Ck! Kenapa aku jadi memikirkan hal seperti itu? Aku sama Nay nggak ada urusan lagi."

Saka kembali keluar dari mobil dan melangkah masuk ke toko tersebut. Sudut matanya tak lagi menangkap Naysilla, dan hal itu cukup membuatnya lega. Akan tetapi, Edgar juga tak ada di sana. Lalu ke manakah mereka? Mendadak pikiran Saka liar berkelana hingga dia tak mendengar sapaan dari pelayan di depannya.

"Oh iya, Mbak. Eum ... saya mau pesan kue ulang tahun untuk ibu saya besok."

Ramah pelayan itu menunjukkan berbagai contoh model kue ulang tahun kepada Saka. Akan tetapi, pikiran pria itu ternyata sedang kacau. Entah kenapa isi kepalanya berisi berbagai pertanyaan tentang Naysilla dan Edgar.

"Yang mana, Mas? Atau Mas mau pesan custom sendiri bisa kami fasilitasi itu."

Saka bergeming. Matanya menatap booklet di depannya, tetapi tidak dengan otaknya.

"Mas?"

"Oh iya. Eum, saya pesan dengan custom sendiri. Untuk modelnya ...."

"Saka!"

Sebuah tepukan di bahunya membuat Saka sedikit terkejut. Sontak dia berbalik ke belakang.

"Edgar!"

Keduanya lalu saling berjabat tangan. Pria berkemeja putih dengan lengan digulung hingga siku itu tersenyum ramah lalu mengajak Saka duduk di sofa yang tak jauh dari mereka berdiri. Saka sendiri masih mencoba mencari sosok Naysilla yang tadi dilihatnya.

"Udah lama juga nggak ketemu! Bagaimana kabarmu, Saka?"

"Baik, Ed! Kamu sendiri? Masih di Jogja?"

Edgar menggeleng seraya tersenyum.

"Nggak. Aku sekarang sedang mencoba mengembangkan produk Mama untuk lebih modern lagi, cabang di Jogja sementara dipegang adikku. Jodi," terangnya ramah.

Saka mengangguk paham.

"Kamu ini sudah memegang jabatan penting di Bank swasta masih sempat ngurusin bisnis juga ya?"

Edgar terkekeh.

"Aku malah berencana resign! Tapi setelah semua yang aku rencanakan selesai. Jadi seperti itulah!"

"Hebat! Boleh nih kita kerja sama nanti untuk produk-produk unggulan kamu nanti."

"Boleh! Sangat boleh!"

Sejenak mereka saling diam.

"Ngomong-ngomong ... ke sini mau ...."

"Ah iya! Aku sampai lupa! Besok Mama ulang tahun, Ed. Dan aku ...."

"Aku tahu ini. Tenang, untuk Tante Aini ... aku bisa buatkan yang spesial."

"Kamu?"

Lagi-lagi Edgar tertawa.

"Bukan aku. Aku mana bisa," tuturnya. "Percayakan ke aku. Untuk costum kamu ketik aja kirim ke nomorku ya."

"Oke!"

"Eum ... Edgar."

"Ya?"

Saka diam, sejenak dia berpikir untuk bertanya soal Naysilla, tetapi cepat dia urungkan hal itu.

"Nggak. Nggak apa-apa. Jadi besok aku ambil sebelum jam makan siang ya."

"Oke! Sekalian Mama pasti juga ke rumah kamu!"

Saka mengangguk lalu mengucapkan terima kasih.

**

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Naysilla masih berkutat di dapur dengan oven dan perlengkapan kue lainnya.

"Masih lama, Nay?"

"Ibu? Kok belum tidur?"

Santi tersenyum seraya duduk di kursi tak jauh dari Naysilla berdiri.

"Ibu baru saja menyelesaikan laporan penilaian, Nay."

Naysilla menarik napas dalam-dalam.

"Besok hari Minggu, Bu. Ngapain keburu-buru, sih?"

"Besok ada undangan pengajian di rumah Bu Niar. Anaknya mau nikah lusa," jelas Aini.

Naysilla mengangguk paham. Pekan lalu dia ditelepon Aini yang mengundangnya untuk datang ke rumah saat ulang tahunnya. Tak enak hati untuk menolak undangan tersebut, akhirnya dia menyanggupi untuk datang.

"Kamu buatin apa untuk Tante Aini?"

"Cheese cake strawberry aja, Bu. Kebetulan Nay udah dapet materi ini dan cake ini enak banget loh, Bu. Ini Mau buat dua!"

"Dua?"

Naysilla mengangguk antusias.

"Kok dua, Nay?"

"Satu untuk Tante Aini, satu lagi untuk Ibu!"

Santi melebarkan bibirnya. Naysilla selalu bisa membuat dirinya bahagia. Meski dia tahu putrinya itu kini sedang mati-matian mencoba mengenyahkan rasa dan pikirannya untuk Saka.

Sebenarnya apa yang dipikirkan Santi itu gak lepas dari ketidaksengajaannya membaca tulisan Naysilla di secarik kertas yang dia dapatkan saat hendak membersihkan kamar putrinya tersebut. Selain tulisan itu, beberapa waktu lalu dia juga membaca diary yang terbuka di meja kerja Naysilla.

Tak ingin sang putri malu karena rahasianya diketahui, Santi memilih untuk berpura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi pada putrinya.

"Nay."

"Iya, Bu?"

"Saka apa kabar?"

Naysilla menghentikan aktivitasnya. Wajahnya berubah muram, tetapi tak lama dia kembali tersenyum.

"Nay sudah lama nggak ketemu dia, Bu."

"Kenapa? Kalian bertengkar atau ...."

"Nggak, Bu. Cuma Nay merasa tugas Nay udah selesai. Itu aja."

Santi menghela napasnya kemudian mengangguk.

"Ibu ke kamar dulu ya. Kamu nggak apa-apa sendirian?"

Naysilla memamerkan baris giginya yang rapi.

"Nggak apa-apa, Bu. Ibu istirahat aja."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top