Naysilla


Saka tersenyum tipis.

"Kamu kapan balik ke Surabaya?"

"Aku nggak balik ke sana lagi. Sekarang aku kembali di tempatkan di sini," jelasnya.

Saka mengangguk. Kembali keheningan tercipta. Situasi yang sungguh membuat dia menjadi seperti pesakitan yang sama sekali tak beralasan. Lagi-lagi Nay kehilangan kata-kata untuk memulai pembicaraan.

Tiba-tiba saja dia teringat makanan kesukaan mereka berdua saat kuliah. Terbesit di kepalanya untuk mengajak pria itu ke sana. Meski dia tidak yakin karena menurut keterangan Aini, sejak kepergian Nina, Saka sama sekali tidak keluar rumah.

"Saka."

"Ya?"

"Aku pengin makan soto mi langganan kita kuliah dulu deh! Kita jalan yuk!" ajaknya meski terlihat ragu.

Saka tertawa kecil kemudian kembali bersandar di kursi.

"Kamu belum ke sana setelah tiga hari di sini?"

Naysilla menggeleng. Hatinya berharap pria beralis tebal itu tak menolak.

"Kamu ngajakin aku ini sengaja, kan?"

"Sengaja? Maksud kamu?"

Saka mengedikkan bahu seraya tertawa kecil.

"Sengaja supaya aku mau keluar rumah. Iya, kan?"

Merasa niatnya ketahuan, Nay menggeleng sambil tersenyum masam.

"Nggak kok! Ya aku cuma ...."

Saka menggeleng lalu memiringkan kepalanya menatap Naysilla.

"Maaf, Nay! Aku nggak bisa. Atau lebih tepatnya aku nggak mau untuk saat ini. Maaf ya."

Nay menggigit bibirnya mencoba memaklumi keadaan.

"Oh nggak apa-apa, Saka. Aku paham kok. Nanti biar aku ke sana sendiri aja. It's oke!"

Saka masih di posisi semula. Berteman dengan Naysilla beberapa tahun membuatnya mengerti bagaimana pintarnya perempuan itu menyembunyikan kecewa. Seperti saat ini, dia sangat tahu bahwa Nay sedang kecewa karena penolakannya.

"Lain kali aja ya, Nay. Aku harap kamu nggak menolak jika suatu saat aku ajak makan di sana seperti waktu kita kuliah."

Naysilla mengangguk setuju. Sudut bibirnya terangkat. Setidaknya Meski saat ini belum bisa mengajak pria itu keluar rumah, tetapi dari kalimat yang diucapkan Saka bisa dipahami jika suatu waktu nanti dia akhirnya akan keluar juga.

"Kamu masih suka baca, Nay?"

Naysilla tersenyum samar lalu mengangguk.

"Masih."

"Masih cengeng kalau baca novel?"

Naysilla kembali menarik bibirnya singkat.

"Nggak! Eum ... maksudku, nggak secengeng dulu," balasnya disambut senyum tipis oleh Saka.

Kembali suasana senyap. Dia teringat ucapan Lusi yang menyarankan agar tidak terlalu lama di rumah Saka. Sahabatnya itu khawatir jika Saka merasa bosan atau malah risih dengan kehadirannya di sana.

"Eum, aku balik dulu ya. Kalau kamu nggak keberatan aku ke sini lagi untuk membawakan croissant cokelat keju kesukaanmu. Kamu masih suka croissant, kan?"

Saka mengedikkan bahu kemudian berkata, "Masih. Aku masih suka. Kamu mau bawakan untukku?"

Nay mengangguk.

"Itu kalau kamu nggak keberatan kita ketemu lagi."

Kali ini alis tebal Saka terangkat satu sisi.

"Tentu saja nggak keberatan, Nay. Thanks sudah datang."

Nayla mengulurkan tangan menjabat pria itu. Matanya menangkap cincin pertunangan Saka masih melingkar di jarinya.

'Bahkan kematian pun tak bisa melunturkan perasaan Saka padamu, Nina. Kamu harus bahagia jika tahu soal ini,' batinnya.

"Makasih ya, Nay! Makasih kamu sudah datang."

Naysilla mengangguk kemudian membalikkan badan.

"Oh ya, Nay!"

Suara Saka menghentikan niatnya untuk melangkah. Perempuan berkaki jenjang itu kembali berbalik.

"Ya? Ada apa?"

Bibir Saka terlihat tertarik ke samping.

"Kamu nggak pengin kasi nomor ponselmu ke aku?"

Kali ini Naysilla tersenyum lebar. Dia tak menyangka Saka masih memiliki selera humor yang meski harus dibalut rasa gengsi. Masih dengan bibir melebar, Nay menyerahkan ponselnya ke Saka.

"Kamu tulis nomor kamu di situ, nanti aku misscall!" pintanya saat Saka mengambil benda itu dari tangannya.

Tak menunggu lama ponsel Nay kembali kepadanya. Kali ini suasana terasa tak sekaku tadi, terlebih melihat mata Saka yang ikut cerah saat dia menelepon nomor yang dituliskan Saka.

"Hubungi aku kalau kamu udah mau makan soto mi di warung Mang Karim ya!"

Saka menaikkan alisnya kemudian mengangguk.

**

"Sampai kapan kamu berdiri di situ terus, Nay?" Suara ibunya membuat dia menoleh.

"Ibu? Ibu bilang tadi mau ke rumah Bu Ratih, kan?"

Perempuan paruh baya yang telah puluhan tahun berjuang sendiri membesarkannya itu tersenyum teduh melangkah mendekat.

"Ibu sudah dari tadi pulang. Bu Ratih nggak di rumah," tutur Santi-ibunya. "Katakan! Apa yang kamu pikirkan sampai tidak sadar kalau langit sudah berubah hitam?"

Naysilla menarik bibirnya singkat kemudian menggeleng.

"Nggak ada, Bu. Nay cuma senang aja berdiri di sini, sambil mengawasi bunga-bunga koleksi Ibu," elaknya.

Santi mengerutkan kening. Dengan senyum dikulum dia berkata, " Yakin cuma itu?"

Naysilla mengangguk, meski dia tahu ibunya tak akan percaya alasannya. Karena selain malam sudah menjelang, tentu saja bunga-bunga ibunya itu tak terlihat seindah sore tadi.

Tak dipungkiri memang, dalam hidup hanya ibunya yang paling tahu siapa dirinya. Setelah sang ayah pergi untuk selamanya lima belas tahun lalu, dia hanya hidup berdua dengan sang ibu.

Ibunya adalah seorang kepala sekolah di sebuah Sekolah Menengah Atas. Sejak ditinggal pergi saja ayah, ibunya tidak pernah sekalipun mengutarakan niat untuk menikah lagi meski ada beberapa pria mendekat.

Menurut Ibu, ayahnya adalah satu-satunya pria dan tak akan pernah tergantikan oleh pria manapun.

"Kamu ada masalah di kantor, Nay?"

"Nggak ada, Bu."

"Lalu? Ibu tahu kamu sedang memikirkan sesuatu. Kamu belum mau cerita?"

Naysilla menghadap ibunya kemudian menggeleng.

"Nay lapar, Bu. Bik Tini masak apa untuk makan malam?"

Santi tersenyum seraya mengusap puncak kepala putrinya.

"Semur daging kesukaanmu. Mau makan sekarang? Ayo kita ke ruang makan!"

Naysilla mengangguk seraya mengikuti langkah ibunya keluar dari kamar.

**

Aini menatap sang putra yang sedang berada di ruang gym pribadinya. Ini adalah hari pertama Saka kembali menyentuh peralatan gym-nya. Kini treadmill, rowing machine, lat pulldown machine dan yang lainnya kini mulai kembali tersentuh.

"Mbok," panggil Aini saat perempuan bertubuh subur itu melintas di sampingnya.

"Iya, Nyonya?"

"Kamu sudah siapkan jus jeruk tanpa gula seperti biasa buat Saka?"

"Sudah, Nyonya. Tadi pagi-pagi sekali Mas Saka meminta saya membuatkan."

Aini mengangguk.

"Sepertinya dia sudah mulai berubah ya, Mbok."

"Iya, Nyonya. Tadi juga dia bilang minta disediakan baju untuk ke kantor," papar Mbok Darmi.

"Kamu serius, Mbok?"

"Iya, Nyonya. Saya juga sudah siapkan bajunya di kamar."

Aini sontak mengucap syukur. Dia merasa semua ini ada hubungannya dengan kehadiran Naysilla.

"Sejak Mbak Nay datang tempo hari, Mas Saka saya perhatikan jadi sering masuk ke ruang kerjanya, Nyonya."

"Oh iya?"

"Iya. Mas Saka juga sekarang sering membuka laptop di taman. Duduk di bangku panjang itu," jelasnya lagi.

Beberapa hari belakangan memang Aini dan Hendra berada di luar kota untuk urusan bisnis. Hal itu menyebabkan keduanya tidak menyadari perubahan sang putra.

"Papanya harus tahu ini, Mbok!" timpal Aini antusias. "Oke, Mbok. Saya ke kamar dulu. Mau kasi tahu hal ini ke Mas Hendra."

Mbok Darmi mengangguk setuju.

**

Naysilla masih berada di belakang meja. Matanya mengawasi layar tujuh belas inci di depannya. Sesekali dia menggerakkan mouse kemudian mengetikkan sesuatu di sana.

Bekerja di bagian marketing sebuah perusahaan properti membuat dia selalu harus berinovasi dalam memasarkan produk yang dia jual.

"Lo nggak makan siang, Nay?" Lusi mendekat. "Gue udah kenyang, Lo masih aja melototin komputer!"

"Iya. Nanti sebentar, lagi tanggung, Lus."

Lusi menaikkan alisnya kemudian menyerahkan styrofoam kepada rekannya itu.

"Sepertinya mulai sekarang lo nggak perlu susah untuk keluar cari makan siang deh, Nay!"

Perempuan yang mengenakan blazer berwarna kuning itu mengangkat wajahnya menatap Lusi. Matanya menyipit melihat kotak styrofoam di tangan sahabatnya.

"Apa itu? Lo beliin gue makan siang? Tumben! Ada angin apa?" tanyanya saat styrofoam beralih tangan ke tangannya.

"Soto mi? Lo beli di mana? Jangan bilang ini soto mi yang aku rekomendasikan ke lo waktu itu, Lus!"

Lusi memutar bola matanya. Dengan wajah masam dia berkata, "Gue beliin lo? Yang bener aja, Nay. Lo tahu ini udah tanggal setengah mampus. Yakali gue baik banget!"

Naysilla menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap.

"Terus? Ini dari siapa?"

Wajah Lusi berubah antusias. Dengan mata menggoda dia berkata, "Sepertinya Lo berhasil membuat dia kembali ke dunia nyata, Nay!"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top