Mendadak berubah



Saka menyipitkan matanya menatap sang mama.

"Menyesal, Ma?"

"Iya. Nggak akan kamu bisa temui perempuan seperti Naysilla, Saka."

"Kamu tahu, Tante Hetty bahkan ingin Edgar mendekati dia."

"Mendekati Naysilla? Untuk apa, Ma?"

Kali ini wajah Aini terlihat kesal.

"Kamu ini! Ya supaya Naysilla mau jadi menantunya!"

"What?"

"Kenapa? Kaget? Mama nggak kaget. Karena itu wajar bagi orang tua untuk mengharapkan kebaikan dan memberi yang terbaik untuk putranya, meski tahu jika putranya bisa memilih sendiri."

Mendengar jawaban Aini, Saka terkejut. Edgar! Pria itu memang terlihat memiliki ketertarikan pada Naysilla. Tampak dari cara dia bicara dan menatap pada Naysilla. Entah kenapa mendengar penjelasan Aini soal Edgar membuat dia cemas.

Cemas jika dirinya gak lagi bisa sewaktu-waktu bertemu perempuan bermata bening itu. Cemas jika dirinya gak lagi mendapatkan perhatian seperti waktu lalu. Dan menurut Saka ada banyak alasan baginya untuk menghentikan perasaan dan ide Tante Hetty untuk putranya. Egois? Mungkin, tetapi hidup itu pilihan bukan?

"Jadi benar tulisan Naysilla itu, Ma?"

"Kamu masih nggak percaya? Buka ponsel Mama. Bu Santi mempersilakan mengambil gambar tulisan tangan Naysilla."

Saka mengambil ponsel Aini yang tergeletak di meja.

"Ibunya Naysilla bilang jika dia tahu lama soal ini, dia hanya diam karena dia juga bisa mengerti dan memahami jika kamu sudah memilih orang lain."

"Jika Naysilla sekian lama memilih sendiri tanpa pasangan bukan berarti dia nggak disukai pria, tetapi memang sepertinya memiliki banyak alasan untuk membina hubungan dengan orang lain," papar Aini.

Saka menatap foto tulisan Naysilla soal perasaannya. Tidak banyak memang yang bisa dibaca di galeri foto sang mama, tetapi ada kalimat yang benar-benar menunjukkan jika perempuan itu mencintainya.

"Mama harap kamu pertimbangkan usulan Mama, Saka," pungkas mamanya. "Meski Bu Santi meminta pada Mama agar membiarkan putrinya memilih dan mengambil keputusan."

Mengingat obrolan itu, Saka menarik  bibirnya singkat. Jika selama ini ternyata Naysilla mencintainya, itu berarti tentu saja Naysilla tidak akan menolak usulan mamanya.

Saka yang sejak tadi menimang ponselnya kemudian mencoba menghubungi Naysilla.

"Halo?"

"Hai. Sudah siap?"

"Sudah."

"Oke! Aku jemput sekarang!"

Bibirnya melebar, lalu bergegas Saka merapikan rambut,  kemudian keluar kamar dan berlari meniti anak tangga.

**

Naysilla gelisah menunggu kedatangan Saka. Tak biasanya. Kali ini dirinya terlihat sangat nervous mungkin karena cerita ibunya tentang keinginan orang tua Saka untuk menjadikan dia pasangan putra mereka.

Santi sore tadi bercerita soal keinginan keluarga Saka. Perempuan paruh baya itu juga mengatakan sesungguhnya dirinya tanpa sengaja tahu soal perasaan Naysilla sejak putrinya itu kuliah.

"Sebagai Ibu, Ibu tahu bagaimana sikapmu dan cara kamu menata Saka, Nay. Ibu paham bagaimana kamu."

"Kamu masih mencintainya hingga saat ini, kan?"

Meski awalnya Naysilla mengelak, tetapi akhirnya dia mengakui apa yang dipendam sekian lama.

Ada sisi bahagia yang menjalar ke hatinya, tetapi ada juga kekhawatiran soal perasaan Saka padanya. Dia tahu Saka bukan pria yang mudah jatuh cinta meski pesonanya membuat banyak perempuan bertekuk lutut.

Bertekuk lutut? Mungkin terdengar berlebihan, tetapi memang begitu yang terlihat. Selain tampan, Saka juga pekerja keras dan memiliki banyak usaha.

Naysilla kembali merapikan rambutnya. Gaun berlengan panjang berwarna kuning gading yang membungkus tubuhnya terlihat sangat pas dikenakan Naysilla. Tas tangan hitam dan pulasan makeup yang tidak berlebihan membuat dirinya terlihat anggun.

"Nay."

"Iya, Bu?"

"Ibu tahu kamu tidak nyaman karena ini kali pertama kamu bertemu dengan Saka setelah kamu tahu keinginan keluarganya. Tapi sekali lagi, ibu dan keluarganya tidak memaksa. Keputusan tetap padamu meski ibu tahu kamu mencintai dia."

Wajah Naysilla merona.

"Naysilla cuma nggak yakin, Bu. Tapi ini bukan kewajiban, kan?"

"Kewajiban?"

"Artinya Naysilla bisa meminta waktu untuk berpikir lagi, kan, Bu?"

"Tentu saja, Nay."

Nasyilla menarik napas dalam-dalam kemudian bangkit saat mendengar suara mobil berhenti. Dia lalu menoleh ke Santi yang juga menoleh ke arahnya.

"Nay pergi dulu ya, Bu."

Mengangguk perempuan paruh baya itu berpesan agar berhati-hati.

**

Saka tersenyum lebar membukakan pintu untuk Naysilla. Setelah mengucapkan terima kasih dia masuk ke mobil. Setelah menutup pintu, Saka melangkah masuk mobil dan duduk di belakang kemudi.

Sejenak dia memiringkan kepala melihat Naysilla.

"Kenapa kamu tegang gitu, Nay?"

Perempuan berdagu belah itu menarik bibirnya singkat kemudian mengedikkan bahu.

"Karena kamu aneh!" balasnya.

Saka tertawa kecil kemudian menggeleng.

"Aneh gimana?" tanyanya seraya mulai menginjak gas.

Mobil mulai meluncur menjauh.

"Kamu pasti tahu apa yang sudah diusulkan orang tuaku, kan?"

Naysilla menelan ludah menetralisir degub jantung yang di rasa semakin cepat.

"Ibumu pasti sudah bicara banyak, kan?"

Naysilla hanya mengangguk pelan.

"Lalu bagaimana pendapatmu?"

"Pendapat apa?"

Saka menaikkan sudut bibirnya kemudian menoleh sejenak setelah itu kembali menatap lurus.

"Kita menikah!"

Seketika Nasyilla merasa jantungnya tak lagi berada di tempat. Dengan santai Saka mengatakan itu padanya. Datar tanpa ada keraguan.

"Aku rasa nggak ada salahnya kalau kita ikuti saja keinginan mereka. Gimana?"

Naysilla mengangkat wajahnya menatap Saka. Dengan kening berkerut dia bertanya, "Kamu sadar apa yang kamu katakan?"

Saka menaikkan alisnya kemudian mengangguk.

"Sadar. Emang kenapa? Salah?"

Naysilla tak menjadi, dia lalu menatap ke luar jendela menyembunyikan wajahnya dari Saka yang terlihat merona.

"Kita makan di tempat itu ya. Kamu ingat tempat itu, Nay?"

Saka membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan yang tentu saja masih begitu lekat diingatannnya. Di tempat itu dia untuk pertama kali saling sapa dengan Saka. Kala itu, dia tengah terlibat kegiatan kampus untuk menggelar aksi sosial. Mereka waktu itu masih sama-sama mahasiswa baru dan belum saling kenal.

Selain Saka lebih suka diam, Naysilla pun lebih memilih berbincang dengan temannya. Perkenalan mereka bermula saat tak Saka meminjam pulpen kepada perempuan itu. Semenjak itu mereka jadi saling sapa dan lebih sering bertukar pikiran.

"Kok diem? Nggak mau turun?" Suara Saka mengejutkannya.

Pria itu ternyata sudah membuka pintu untuknya. Lagi-lagi Naysilla terjebak dalam kenangan di saat pertama kali mereka saling tatap beberapa tahun silam.

"Turun ya?" tanya Naysilla seraya mencoba mengalihkan pandangannya.

Saka tertawa kecil.

"Iya turun. Ayo!"

Mengangguk, dia lalu meraih tas tangan dan dengan mengucapkan terima kasih dia turun dari mobil.

**

Saka menarik kursi kemudian mempersilakan Naysilla duduk. Diperlakukan istimewa, semakin hati Naysilla tak keruan. Jujur dia justru takut jika Saka hanya berpura-pura baik padanya. Terlebih setelah dia mengingatkan jika dirinya tak ingin disamakan dengan Venina.

"Kamu ingat tempat ini, Nay?" tanya Saka setelah dia duduk tepat berhadapan dengan Naysilla.

"Iya ingat," balasnya singkat dengan kepala menunduk.

Saka lalu melambaikan tangan pada pelayan.

"Kamu masih suka bistik daging di sini?"

Naysilla mengangguk. Dia heran kenapa Saka begitu mengingat makanan kesukaannya di tempat ini. Pria itu lalu memesan dua porsi bistik daging lengkap dengan minumannya.

"Nay."

"Iya?"

"Kenapa kamu berpura-pura?"

Perempuan berkulit bersih itu mengangkat wajahnya sedikit dengan mata tak berani menatap.

"Berpura-pura soal apa?"

"Kenapa kamu menyembunyikannya diriku?"

"Aku nggak ngerti kamu bicara apa, Saka."

"Kenapa kamu melakukannya?"

Ucapan Saka tak dimengerti oleh Naysilla.

"Maksud kamu?"

"Apa kamu sudah jujur dengan perasaanmu, Nay?"

Masih bergeming, Naysilla menatap pelayan yang baru datang membawakan pesanan Saka.

"Nay."

"Ya?"

"Kenapa kamu sembunyikan perasaan kamu sekian lama?"

"Perasaan? Perasaan yang mana?" Dia balik bertanya.

"Cinta?"

Naysilla merasa tenggorokannya kering seketika mendengar pertanyaan pria di depannya. Dari mana Saka tahu soal itu? Selama ini Naysilla memilih diam dan menyimpan semua.

"Kamu bicara apa sih, Saka? Aku nggak ngerti!" elaknya.

saka menarik bibir singkat kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan dengan tangan terulur meraih jemari Naysilla.

"Aku tahu kamu mencintaiku, Nay," ucapnya. "Kamu nggak perlu menutupinya."

Naysilla semakin menunduk. Bagaimana mungkin Saka bisa tahu? Pikirannya melayang mencari jawaban, tetapi otaknya sekali gak bisa diajak berpikir.

"Sekarang tatap aku."

Merapikan rambut, perlahan Naysilla mengangkat wajahnya.

"Saka. Tujuan kamu ngajak aku ke sini untuk apa dan ...."

"Untuk tahu seperti apa perasaan kamu ke aku."

"Semua perhatianmu dan akhirnya berujung pada kemarahanmu ke aku. Aku ingin tahu kenapa kamu lakukan itu semua?"

"Aku ... aku cuma mau kamu bahagia. Itu aja, Saka," lirihnya masih tak menatap. "Aku cuma ingin kamu tahu kalau hidup kamu masih terus berlanjut."

Saka menghela napasnya dengan bibir tertarik.

"Apa kamu masih ingin membuatku bahagia?"

Kali ini Naysilla mencoba mengangkat wajahnya sedikit.

"Untuk apa kamu tanyakan itu?"

"Agar aku yakin untuk memutuskan sesuatu."

"Memutuskan apa?"

"Kita menikah!" sambung Saka menatapnya hangat. "Aku setuju dengan usulan Mama dan Papa. Apa kamu bersedia?"

**




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top