Mencoba menjadi yang semestinya
Saka tersenyum kemudian mengangguk.
"Oke, aku ke kantor dulu, kamu ...." Saka menggantung ucapannya.
"Mungkin nanti siang sebelum ke coffe shop aku ke kantor untuk mengecek kerjaan Erina, karyawan pengganti aku," papar Naysilla seraya merapikan cepolan rambutnya.
"Kamu jadi resign akhirnya?"
Perempuan itu mengangguk.
"Aku lebih nyaman begini, jadi bisa lebih fokus ke jualan kopi," tuturnya santai seraya memamerkan dekikan di pipi.
"Jualan kopi?"
"Iya, bahasa sederhananya begitu, kan?"
Saka mengangguk paham dengan bibir melebar.
"Sore nanti kamu di mana?"
Naysilla mengedikkan bahu sambil menggeleng dia berkata, "Aku usahakan sudah di rumah sebelum Mas sampai rumah."
Saka tertegun mendengar penuturan istrinya. Naysilla sedang serius berusaha memperbaiki hubungan mereka? Atau hanya tak ingin kedua orangtuanya tahu kisruh rumah tangganya?
"Mas? Teleponnya bunyi tuh!" Suara Nasyilla mengejutkannya.
"Oh iya!" Merogoh kantong celananya, Saka menerima panggilan tersebut.
"Halo, Hani?"
Saka menjauh dari ruangan itu. Sambil meraih tas kerjanya, dia melangkah menjauh. Sementara Naysilla menyipitkan matanya mengikuti langkah sang suami.
"Hati-hati ya, Mas."
Saka menoleh, kemudian mengangguk.
"Thank you, Nay. Aku berangkat dulu ya."
"Tunggu!"
"Ada apa?" tanyanya membalik badan menghadap sang istri.
Tak menjawab, dia meraih tangan Saka dan mencium punggung tangan pria itu. Kali ini Saka benar-benar dibuat terkejut. Lagi-lagi Naysilla memperlakukan dia begitu manis.
"Sekalian aku izin, nanti setelah dari kantor, ada hal yang harus aku bicarakan soal coffe shop sama Edgar. Mas nggak keberatan, kan?"
Mendengar nama Edgar, Saka tampak berpikir.
"Edgar ya? Cuma berdua?"
Senyum Naysilla terbit.
"Nggak, kita meeting bareng karyawan. Kenapa?"
Saka mengedikkan bahu lalu mengangguk.
"Nggak apa-apa. Oke, aku pergi dulu ya."
Naysilla mengangguk dan kembali berpesan agar suaminya berhati-hati.
**
"Jadi kamu happy sekarang?" Bram bertanya dengan nada menyindir. "Sudah kubilang, istrimu itu perempuan baik."
Mereka berdua memilih menghabiskan waktu makan siang di sebuah restoran saat jeda meeting.
Saka membuang napas perlahan.
"Venina juga baik, Bram. Dia tulus," balasnya.
"Apa kamu masih berpikir istrimu itu nggak tulus?" selidik Bram seraya bersandar di bahu kursi. "Kamu kenapa masih saja ragu sih? Dan kenapa masih saka Venina yang kamu bahas?"
Saka bergeming.
"Atau jangan-jangan ... ini ada hubungannya dengan Hani?" Mata Bram memindai paras rekannya mencoba mencari tahu.
"Saka! Analisisku benar, kan? Asisten kamu itu mulai membuat kamu gila, kan?"
Saka tertawa kecil kemudian menggeleng.
"Kamu gila, Bram!"
"Aku nggak gila, bukannya kamu pernah bilang kalau Hani itu punya selera yang sama dengan Venina? Betul, kan?"
Kali ini Bram tertawa meledek.
"Kamu nggak bisa jawab. Itu artinya iya! Iya kalau kamu mulai berpikir soal Hani."
"Aku nggak sebusuk itu, Bram!" balasnya kesal.
"Lalu? Apa lagi alasannya? Kalau masih dengan alasan yang sama, itu udah basi!"
"Semua tentang Venina nggak pernah basi! Kamu harus tahu itu!" tegasnya. "Dia akan selalu ada, Bram!"
"Oke, aku paham. Tapi kamu tahu, Saka? Ada banyak orang di muka bumi ini yang memiliki kisah hampir sama denganmu, dan mereka bisa me-restart hidup mereka. Aku nggak bilang kamu nggak bisa, kamu bisa cuma ... kamu nggak mau!"
"Udahlah, sebaiknya kamu ingat apa yang pernah aku bilang beberapa waktu lalu. Kamu sudah punya perempuan baik yang sangat mencintaimu, sebaiknya jangan terlalu egois!" imbuh Bram.
Saka kembali diam. Dia hanya menatap rekannya kemudian beralih ke cangkir berisi white coffe baru saja dia habiskan.
Egois? Iya, mungkin dia egois. Akan tetapi, bukankah Naysilla juga begitu? Dia bahkan tidak merasa jika dirinya tidak suka dengan Edgar yang masih saja dekat dengan istrinya itu. Meski dia tahu Edgar adalah rekan bisnis sang istri, tetapi tetap saja dia tidak bisa menganggap hal seperti itu. Dia tahu Edgar memiliki perasaan khusus pada Naysilla.
Belum lagi perkataan Naysilla tentang permintaan sang mama yang memintanya untuk menemani Saka saat berada di titik terendah kala itu. Semuanya menurut Saka adalah kumpulan dari sebuah kebimbangannya kali ini.
Namun, dia teringat ucapan almarhumah Santi. Ibu dari Naysilla itu berulang kali mengatakan bahwa Naysilla begitu mencintainya dan memiliki harapan besar dia bisa membahagiakan Naysilla. Selain itu tentu saja dia juga telah terikat janji dihadapan Santi untuk menjaga sang istri.
Saka mengembuskan napas dalam-dalam. Iya, benar Bram! Dia memang egois, tapi dia tetap punya alasan untuk bersikap seperti itu hingga dia yakin tentang perasaan dia yang sebenarnya pada Naysilla dan demikian pula sebaliknya.
"Jadi kamu mau melamun aja di sini?" Bram menepuk bahu rekannya. "Tuh! Hani udah datang. Kita lanjut meeting lagi!"
**
Edgar tertawa seraya kembali menyuap potongan pizza ke mulutnya.
"Jadi Saka udah nyobain dan dia suka?"
Naysilla mengangguk seraya tersenyum. "Setahuku Mas Saka itu agak pilih-pilih soal makanan, agak cerewet!"
Pria berkaus putih dan bercelana denim biru muda itu mengangguk paham.
"Jadi aku yakin pizza pertamaku ini, beneran oke!" Mata indah Naysilla mengerjap antusias.
"Emang oke, kok! Aku malah kurang. Besok bikin lagi ya!"
Naysilla memamerkan baris giginya yang rapi.
"Nay."
"Ya?"
"Gimana kalau pizza kamu ini kita bedakan."
"Maksudnya?"
"Dia punya gerai sendiri! Bahkan di coffe shop ini."
Kening Naysilla mengerut membalas tatapan Edgar.
"Menarik, tapi kita harus kenalin dulu ke pengunjung, kan?"
Edgar mengangguk. Dia punya ide bagus untuk melebarkan sayap bisnis mereka.
"Itu pasti, setidaknya ideku ini kamu terima dulu."
"Tapi itu kan butuh waktu dan biaya, Ed. Aku nggak punya banyak uang untuk itu," ungkapnya seraya meraih gelas berisi lemon dingin di depannya.
"Untuk masalah itu mudah, Nay. Kamu nggak perlu pusing. Intinya kita sepakat aja dulu. Gimana?"
"Oke!"
"Deal!"
Keduanya lalu tertawa lebar bersama. Edgar selalu suka melihat paras cantik perempuan di depannya itu terlebih saat rona merah pipi Naysilla tampak. Di mata Edgar, Naysilla adalah gambaran sempurna seorang perempuan dan seorang istri.
Akan tetapi, dia tahu soal itu Saka tidak menyadari sepenuhnya. Setidaknya beberapa kali Edgar memergoki suami Naysilla itu berdua saja dengan perempuan yang dia tidak tahu. Meski begitu, dia tak ingin berprasangka walaupun gesture si perempuan yang dia lihat kala itu tampak berbeda dari sekadar rekan kerja.
"Ed?" Suara Naysilla mengejutkannya.
"Ya, Nay?"
"Kamu kenapa?" Naysilla memindai dengan mata menyipit.
"Aku? Kenapa?" Dia balik bertanya.
"Kok ngelamun gitu? Ada yang salah atau ada yang ...."
Edgar cepat menggeleng.
"Nggak apa-apa, Nay. Eum ... aku mau ke toko Mama. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di sana. Kamu mau ikut?"
Sejenak Naysilla berpikir.
"Sebenarnya aku udah lama nggak ketemu Tante Hetty sih, kangen juga, tapi ... nggak deh. Mungkin besok aku mampir."
Pria di depannya itu tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Oke, see you, Nay!"
"See you, Ed!"
Baru saja Edgar keluar dari pintu kaca ditemani Naysill, tampak Saka keluar dari mobil. Matanya langsung mengarah kepada dua orang yang terlihat asyik mengobrol dan sesekali tertawa. Baik Naysilla maupun Edgar tidak menyadari kehadirannya.
"Nay."
"Ya?"
"Aku boleh tahu sesuatu?"
"Boleh. Apa?"
Edgar menarik napas dalam-dalam kemudian memiringkan kepalanya menatap Naysilla. Bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian dia menggeleng.
"Nggak jadi. Kamu jangan diri baik-baik ya!"
Naysilla menyipitkan matanya.
"Ada apa, Ed?"
"Nggak apa-apa. Aku balik dulu ya."
"Ehem! Mau balik, Ed? Udah selesai meetingnya?"
Saka muncul di tengah-tengah mereka. Sontak keduanya menatap ke arah yang sama.
"Hai, Saka! Iya. Udah selesai kok. Oke, Nay, Saka. Aku balik dulu. Bye!"
Naysilla melambaikan tangannya kepada Edgar hingga pria itu menghilang dari pandangan.
"Sepertinya kamu bahagia banget, Nay."
Naysilla memiringkan kepalanya menatap sang suami.
"Maksudnya? Aku nggak boleh bahagia?"
Saka menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan.
"Bukan itu. Aku lihat kamu happy banget berdua sama Edgar," sindirnya.
Tak menanggapi Naysilla hanya menaikkan alisnya.
"Mas mau minum kopi dulu?" tanyanya.
"Terserah kamu aja!"
Bibir Naysilla tertarik lebar kemudian mengajak Saka mengikuti langkahnya menuju tempat duduk yang berada di sudut ruangan.
"Aku ambilkan ya. Mau makan apa?"
"Kamu pilihin aja," sahutnya datar.
**
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top