Mencoba abai
"Kenapa semalam nggak tidur?" tanya Naysilla saat sudah selesai dengan dirinya.
Saka yang tengah bersandar di sofa hanya tersenyum tipis.
"Aku nggak bisa tidur."
"Ada masalah di kantor?"
"Nggak juga," sahutnya seraya menarik napas dalam-dalam. "Kalau masalah kerjaan itu nggak ada habisnya."
Naysilla tersenyum singkat.
"Aku cuma ... cuma sedang berpikir soal ...."
"Soal apa?" potong Naysilla kemudian duduk di kursi menghadap Saka.
"Aku."
Keningnya mengernyit mendengar jawaban Saka. Pria itu masih mengenakan pakaian kerja dan sangat berantakan.
"Kenapa? Ada apa denganmu, Mas?"
Saka mengusap tengkuknya lalu menggeleng.
"Bukan apa-apa. Sepertinya aku harus mandi dulu." Dia kemudian bangkit.
"Mau aku siapkan baju ganti?" tawarnya.
Sejenak Saka bergeming lalu tersenyum dan mengangguk. "Boleh, tapi kamarku berantakan. Nggak apa-apa ya?"
Naysilla memamerkan dekikan di pipi seraya mengangguk. Mereka berdua memang tidak tidur di kamar yang sama. Tidak ada kesepakatan apa pun, hanya saja baik Saka maupun Naysilla merasa belum saatnya untuk tidur seranjang.
"Konon kamar laki-laki labil seperti itu sih. Aku paham, kok!" sindirnya.
"What? Kamu bilang apa barusan?" Mata Saka menyipit menoleh ke arah sang istri.
Masih dengan senyum, Naysilla menggeleng seraya berkata, "Nggak bilang apa-apa. Udah sana mandi! Ini hari Minggu, aku mau buat kue untuk Ibu juga Mama! Kamu mau ikut ke rumah mereka atau di rumah aja?"
Wajah Saka berubah seperti anak kecil yang hendak ditinggal ibunya.
"Kamu mau ninggalin aku?"
"Aku, kan tanya? Siapa yang mau ninggalin coba?"
"Jadi kamu nggak akan ninggalin aku, kan?"
Mata Saka mengunci paras Naysilla yang tampak kikuk dengan pertanyaannya.
"Udah sana mandi," balasan mencoba keluar dari suasana canggung.
Wajah Saka terlihat cerah, dia lalu mengangguk kemudian kembali melangkah ke kamar. Sementara Naysilla mengekor di belakangnya.
Wajah cantik Naysilla kembali muram ketika melihat bingkai kecil di atas meja di kamar Saka. Pria itu masih belum berubah. Benar apa yang dipikirkannya, Saka hanya kasihan dan merasa berhutang budi padanya.
Venina benar-benar masih menjadi dunianya bahkan setelah pria itu mengucapkan ijab kabul di hadapan banyak saksi beberapa waktu lalu.
Menarik napas dalam-dalam, Naysilla melangkah ke lemari menyiapkan baju untuk sang suami meski dengan hati luka.
**
Naysilla menyodorkan secangkir kopi capuccino hangat ke Saka. Pria itu menerima dengan mengucapkan terima kasih. Seperti yang ditebak oleh Naysilla, pembalut yang dibeli Saka menurut pria itu adalah benda yang biasa digunakan Venina. Meski merasa kesal karena lagi-lagi nama itu yang disebut, tetapi dia mencoba memahami sekali lagi.
"Kamu perlu obat pereda nyeri?" tanyanya setelah menyesap kopi buatan sang istri.
"Nggak perlu," jawabnya singkat kemudian duduk di kursi berkaki panjang yang ada di coffe corner tak jauh dari Saka.
"Kalau Nina dulu nyerinya akan reda setelah ...."
"Aku bukan Nina, Mas!"
Saka menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
"Ya, aku tahu. Maaf."
"Nggak apa-apa. Aku paham, lagipula aku udah terbiasa, cuma terkadang aku merasa nggak pernah berarti apa pun di matamu, Mas," balasnya tanpa menoleh.
"Kamu nggak menyesal dengan pernikahan ini, kan?"
Naysilla mengangkat bibirnya singkat. Dia lalu bangkit menuju lemari es yang tak jauh dari tempat mereka berdua duduk. Tangannya meraih kotak jus jambu merah dan menuangnya di gelas pendek.
"Sepagi ini kamu minum dingin?"
"Aku hanya ingin mengingatkan bahwa aku bukan Venina yang punya selera sama denganmu."
"Nay."
Naysilla bergeming. Kembali ucapan ibunya terngiang. Akan tetapi, bukankah dalam rumah tangga harus ada saling? Bukan hanya satu saja yang menghormati? Tentu akan timpang dan tidak adil jika hanya dia yang mencoba memaklumi apa pun tindakan Saka sementara Saka sama sekali tidak pernah mencoba memahami dirinya.
Naysilla melangkah ke dapur, mengabaikan panggilan Saka. Pria itu tidak kembali memanggil sang istri, tetapi matanya mengikuti gerak-gerik perempuan berbaju rumahan berwarna kuning cerah itu.
Seolah tak ingin memperpanjang obrolan, Naysilla mengambil beberapa bahan untuk membuat kue. Tangannya sigap menimbang tepung, mentega dan piranti lainnya yang diperlukan. Masih seperti tadi, saka mengamati dari tempat duduknya.
Naysilla menepuk dahinya seperti lupa sesuatu.
"Kenapa, Nay?"
"Cream cheese! Aku lupa nggak beli kemarin!" sahutnya dengan menggigit bibir.
"Kita beli sekarang? Aku antar?" tawar Saka seraya bangun dari duduk. "Beli di mana?"
Mata Nasyilla beralih menatap Saka yang berdiri tak jauh darinya.
"Yakin mau nganterin aku?"
"Iya. Kenapa?" Saka balik bertanya.
"Nggak apa-apa. Aku mau siap-siap dulu!" balasnya lalu meninggalkan dapur menuju kamar.
**
Mobil berhenti tepat di depan toko perlengkapan kue. Naysilla bergegas turun setelah mengucapkan terima kasih.
"Kamu nggak ngajakin aku ikutan belanja?" tanya Saka dengan mata menyipit.
Perempuan yang kini rambutnya mulai memanjang itu menggeleng cepat. Dengan mengulas senyum dia menjawab, "Nggak usah. Aku sebentar aja kok! Lagian di dalam sana cuma ada perlengkapan kue, bukan yang lain."
Saka menarik bibirnya singkat kemudian mengangguk. Naysilla lalu menutup pintu mobil dan mengayun langkah meninggalkan Saka yang tak melepas pandangannya dari sang istri.
Mata Nasyilla berbinar melihat jajaran bahan kue yang dicari. Satu tepukan di bahu membuatnya menoleh. Matanya membulat tak percaya.
"Edgar?"
Pria yang memiliki rahang kukuh itu menarik bibirnya seraya mengangguk.
"Kenapa? Kok heran gitu?" tanyanya santai.
Naysilla menatap dari ujung rambut hingga ujung kaki kemudian melihat sekeliling seperti sedang mencari jawaban.
"Kamu ...."
"Sendiri," jawabnya seolah tahu kalimat yang akan dilontarkan perempuan di depannya.
"Sendiri? Mau beli apa?" Naysilla masih heran.
Edgar tertawa kecil.
"Aku nggak beli apa-apa."
"Terus? Kalau nggak beli kenapa ...."
"Kumat cerewetnya, kan?" canda pria berkaus hitam itu.
"Edgar! Aku serius!" Wajah Naysilla merona mendengar celoteh Edgar.
"Aku mau ketemu sama pemilik toko ini. Kemarin dia sempat minta tolong ke Mama karena urusan finansial soal pengelolaan toko ini," paparnya. "Aku nggak sengaja tadi lihat kamu jadi ... aku sapa. Nggak apa-apa, kan?" Edgar menaikkan alisnya dengan mata memindai Naysilla.
"Nggak apa-apa dong!"
"Cari apa di sini?"
"Cream cheese!"
Edgar mengangguk paham. Matanya tanpa sengaja menatap cincin yang pernah dia beri beberapa waktu lalu. Benda itu masih melingkar di jari telunjuk sebelah kanan Naysilla.
"Makasih ya, Nay."
"Makasih untuk apa?"
Edgar menggeleng seraya tersenyum. "Dua hari yang lalu aku ke coffe shop kamu."
"Aku? Bukan aku, Ed! Kita. Kan kita join!" protesnya dengan bibir sedikit dimajukan.
Edgar tertawa kecil.
"Lusa aku mau lihat. Aku pikir udah selesai sih, tinggal menunggu bakernya sama pelayan."
"Untuk baker, aku rasa kamu udah mumpuni, Nay. Lagipula untuk coffe shop, nggak perlu banyak-banyak buat menu, kan?"
Naysilla mengangguk.
"Untuk pramusaji, aku udah janji soal itu. Kapan kita bisa ketemu untuk bicara lagi?"
Kali ini bibir Naysilla tertarik lebar. Pria di depannya itu selalu sopan padanya.
"Lusa! Kamu ada waktu?"
"Selalu ada kalau buatmu!"
"Nggak kerja?"
"Nah itu kamu tahu kalau lusa itu hari kerja. Kenapa tanya?"
Naysilla tak sanggup menahan tawa mendengar jawaban Edgar. Spontan tangannya menepuk bahu Edgar, tetapi cepat dia tarik kembali setelah sadar.
"Bukannya kamu udah ngajuin resign beberapa waktu lalu?"
"Iya. Udah kok. Cuma masih ada beberapa hal yang membuat aku masih harus bolak-balik ke kantor."
"Mbak, Mas, kalau ngobrol jangan di sini. Ini toko kue bukan kafe!" Seorang ibu bertubuh subur menyela pembicaraan mereka. Dia seperti tengah mencari cream cheese yang juga dibutuhkan Naysilla.
"Maaf, Bu. Silakan," ujar Naysilla seraya memberi tempat ibu tersebut.
Sementara Edgar mengulum senyum dan sedikit memberi isyarat agar Naysilla mengikutinya menjauh.
"Kamu sih! Ngajakin aku ngobrol!" gerutunya.
"Dih, bukannya kita terlibat pembicaraan dua arah ya?" tangkis Edgar masih dengan tawa.
"Iya sih."
"Lama nggak ketemu kamu, jadi ...."
"Jadi apa, Ed?"
Pria itu lalu menggeleng. Kangen! Itu kata yang hendak di lontarkan, tetapi segera dia tahan, setelah menyadari kesalahannya. Pria macam apa dia? Jika merindukan perempuan bersuami?
"Sama Saka, kan, ke sini?" Dia mengalihkan pembicaraan.
Perempuan bermata indah itu mengangguk.
"Salam sama dia ya," tuturnya sembari tersenyum. "Eum ... aku mau lanjutin urusan dulu.
Naysilla mengangguk menatap punggung Edgar yang perlahan menjauh.
"Lusa aku hubungi kamu, Nay," serunya menoleh sejenak lalu kembali menjauh.
Sementara di pintu kaca seorang pria menatap tak berkedip padanya. Pria itu lagi-lagi merasa tidak bisa membuat Naysilla tertawa lepas seperti dengan Edgar.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top