Lelah
Menghabiskan hari Minggu dengan berjalan-jalan di mal atas permintaan Saka membuat Nay harus kembali berusaha menjaga agar suasana canggung menjadi seperti tak terjadi apa-apa pada hatinya.
Menyusuri lorong sepanjang pusat perbelanjaan dan saling mengobrol santai seolah mereka bak pasangan yang sangat mengasyikkan.
"Kita ke sana yuk!" ajak Saka seraya menunjuk ke sebuah toko buku.
"Oke!" Perempuan yang mengenakan celana denim biru gelap dan kemeja bergaris lengan panjang yang digulung hingga siku itu mengangguk.
"Sudah lama aku nggak ke sini," ujar Saka saat mereka berada mulai masuk. "Terakhir dua bulan sebelum Nina masuk rumah sakit. Setelah itu aku seperti nggak punya keinginan apa pun selain berdiam diri," sambungnya seraya mengambil salah satu novel best seller yang dipajang di bagian depan.
Seperti biasa, jika Saka sedang bercerita tentang Nina, dia hanya mendengar tanpa ingin memotong atau mengalihkan pembicaraan. Hal itu dia lakukan karena pernah dia dianggap Saka bosan dengan ceritanya.
Mungkin benar dia bosan dan merasa tak dianggap kehadirannya. Bagaimana tidak, semua yang Saka temui dan semua yang pria itu lakukan seolah tak pernah jauh dari segala kenangan dengan Nina.
Mata Naysilla menyipit melihat buku yang disodorkan Saka padanya.
"Buat aku?" tanyanya heran seraya mengulurkan tangan mengambil buku itu dari tangan Saka.
Pria berkaus polo putih itu mengangguk.
"Kamu masih suka genre roman nggak?" balasnya tanpa melihat ekspresi Naysilla.
"Suka! Masih suka!"
"Kalau begitu buku itu cocok buat kamu!"
Nay menarik bibirnya singkat. Tentu saja buku-buku karya Nicolas Sparks selalu terbaik. Setidaknya ada dua buku yang dia miliki.
Naysilla masih bergeming menatap sampul novel dari penulis idolanya. Sejenak memorinya berkelana ketika Saka tak henti meledek karena menyukai kisah roman yang menurut pria itu hanya sekadar buatkan sang penulis.
"Kamu udah punya judul itu?"
Naysilla menggeleng cepat lalu mendekap novel itu di dadanya.
"Belum!"
Menaikkan alisnya Saka tersenyum.
"Kirain udah punya."
"Belum. Aku sudah lama pengin beli, tapi nggak pernah sempat mampir ke toko buku," jelasnya.
"Nina sering mengajakku ngobrol soal bacaan yang sedang dia baca. Salah satunya ya novel-novel roman seperti yang kamu pegang itu salah satunya."
Venina lagi. Lagi-lagi tentang perempuan itu. Pelan Naysilla menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
"Ternyata setelah semua berlalu, aku sepakat dengan para penulis roman itu, Nay!"
"Sepakat? Soal apa?"
"Soal cinta!" balasnya dengan tawa. "Mungkin kali ini aku terdengar cengeng, tapi ... setidaknya memang seperti itu cinta. Seperti aku dan Venina."
Naysilla tersenyum getir. Mata Saka tak pernah berdusta soal perasaannya pada perempuan bernama Venina itu. Meski sudah tak lagi ada di dunia ini, tetapi cinta untuk Venina masih tumbuh subur di hatinya.
"Kita ke sebelah sana yuk! Ada buku tentang bisnis yang mau aku beli!" ajaknya menunjuk dua lorong dari tempat mereka berdiri.
Naysilla mengangguk mengekor di sebelah Saka.
"Kamu sendiri, Nay?" Saka menoleh ke arahnya.
"Aku? Kenapa?" tanya Naysilla dengan kening berkerut.
"Apa kamu pernah jatuh cinta?" tanyanya seraya mengambil buku yang dia maksud, "seingat aku selama kuliah kamu nggak pernah cerita atau terlihat dekat dengan pria mana pun. Selain aku, sih!" Kali ini dia menatap hangat pada Naysilla.
Ditatap sedemikian rupa membuat Naysilla susah menyembunyikan wajahnya yang merona. Saka tertawa kecil melihat ekspresi Naysilla. Dia tahu perempuan di sampingnya itu sedang menutupi rasa malunya karena pertanyaan barusan.
"Oke, aku nggak akan tanya lagi soal ini sampai kamu mau cerita. Aku pikir, mungkin perempuan itu lebih pandai menutupi perasaannya. Begitu, kan?"
Perempuan yang memakai bando berwarna putih itu tersenyum tipis kemudian mengangguk. Tentu bakal Naysilla tidak akan pernah mengutarakan apa pun kepada pria itu.
Karena selama ini cuma saka yang selalu memenuhi semestanya meski dia tahu kala itu adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Namun, bagaimana jika saat ini? Mungkinkah ataupun masih jauh dari mungkin? Memikirkan hal itu Naysilla menarik bibirnya singkat kemudian menggeleng. Sampai kapan pun Saka tidak boleh tahu perasaannya. Tidak boleh!
"Nay? Kok bengong?"
"Ya? Eh nggak kok. Aku nggak bengong," elaknya dengan tangan merapikan rambut.
Saka menaikkan alisnya kemudian tersenyum tipis.
"Kamu sedang memikirkan seseorang yang spesial? Atau jangan-jangan dia marah kalau tahu aku sama kamu ....."
"Eum ... bisa ganti topik pembicaraan?" potong Naysilla.
Lagi-lagi Saka menaikkan alisnya.
"Sori, Nay. Oke, aku nggak bicara soal itu lagi, tapi aku siap membantu kalau kamu ada masalah dengan siapa pun!" tuturnya seraya mengangkat kedua tangannya.
Naysilla mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Keduanya lalu kembali menyusuri setiap lorong hingga akhirnya Saka memutuskan untuk keluar dari toko.
"Kamu tunggu di sana aja. Aku antre di kasir dulu!" titahnya menunjuk ke pintu toko.
"Oke."
"Oh iya, Nay! Setelah ini kita ke kafe langganan aku. Mau, kan?"
Naysilla mengangguk setuju.
**
Mengambil duduk di dekat jendela yang langsung berhadapan dengan taman, Saka dan Naysilla memesan steak daging lengkap dengan minumannya. Suasana resto yang tidak begitu ram sehingga pengunjung bisa lebih menikmati waktu di tempat apik itu.
"Enak steak-nya?" tanya Saka di tengah-tengah keduanya menikmati makan siang itu.
"Enak! Kamu sering ke sini?"
Saka mengangguk.
"Aku nggak nyangka tempatnya hidden gem banget, tapi makanannya enak!"
"Betul, Nay! Tempat ini aku tahu juga dari Nina! Kami dulu sering ke sini. Dan sejak ini adalah makanan yang selalu dia pesan kalau kita ke sini!"
Venina lagi! Dan tentu saja Naysilla harus bisa mengerti dan memahami, meski dia harus banyak-banyak menyadari dan berbesar hati. Toh Saka tidak tahu apa yang ada di hatinya. Saka tidak mengerti jika Naysilla begitu mencintainya.
"Nay? Melamun lagi?"
Terperanjat karena tangannya disentuh oleh Saka, Naysilla cepat menepisnya pelan.
"Kamu sedang memikirkan sesuatu, Nay? Ada apa sih?" tanyanya menyelidik.
"Nggak! Aku cuma ... mau ke toilet sebentar."
Menghela napas panjang, Saka mengangguk. Matanya hanya mengawasi langkah perempuan itu hingga menghilang di balik tembok menuju toilet.
"Lagian, kan gue bilang lo jangan melibatkan perasaan lo dulu, Nay!" suara Lusi terdengar gemas di seberang sana.
"Kayak gini nih yang bikin puyeng!" sambungnya lagi.
"Gue tahu gue salah, Lusi. Tapi lo juga pasti juga nggak bisa memohon diri sendiri kalau lo ada di posisi gue." Naysilla menahan air mata yang hendak jatuh.
"Eh, sebentar! Lo di mana ini?"
"Di toilet. Di kafe yang biasa didatangi ....."
"Saka juga Venina! Betul begitu?"
"He emh!"
"Udah! Lo kembali sekarang ke meja lo! Hapus itu air mata! Jangan cengeng!"
"Ingat! Lo sendiri yang menyanggupi ke Tante Aini, jadi lo harus tanggung jawab untuk itu ke beliau!"
Naysilla bergeming. Dia menatap cermin besar di toilet itu. Kilas wajah memohon dari Aini muncul di sana.
"Kan sebelumnya lo bisa menolak kalau lo mau." Kembali Lusi berceloteh.
"Oke, Lus. Gue harus bisa. Nggak boleh main perasaan!"
"Bagus! Kalau memang dia jodoh lo, dia nggak akan ke mana-mana. Jadi sekarang, lo kudu jadi Nay yang hanya menjalankan tugas dari mamanya!"
"Bikin dia bucin, Nay!" Kelakar Lusi sebelum menutup telepon.
Naysilla merapikan rambut dan sedikit memoles lipgloss di bibirnya.
"Aku nggak boleh jatuh cinta lagi padanya!" gumamnya seolah menguatkan hati.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top