Keraguan
Naysilla memekik memanggil sang ibu ketika perempuan itu dinyatakan sudah pergi untuk selamanya. Santi bahkan tidak pernah membuka mata setelah pingsan sejak di peresmian coffe shop milik putrinya kala itu.
Tangisannya menyayat membuat iba semua yang hadir di ruangan itu. Dalam pelukan Aini, Naysilla menumpahkan air matanya hingga dia merasa kakinya tak mampu menyangga bobot tubuh langsingnya.
"Saka!" seru Aini merasa tak sanggup menyangga sendiri bobot tubuh menantunya.
Saka bergegas meraih tubuh sang istri.
"Nay, sabar, Nay. Ikhlaskan, biarkan Ibu tenang di sana," bisiknya tepat di telinga sang istri.
Keluarga Naysilla tampak datang, mereka juga sama sekali tidak mengetahui perihal kondisi Santi. Lusi dan kekasihnya juga tampak di sana. Tak lama muncul Edgar.
"Oke, kita siap-siap mengantar Ibu ke pemakaman setelah semua beres ya, Nay. Kamu harus kuat," imbuh Saka masih mendekap tubuh istrinya.
Urusan administrasi sudah diselesaikan dan setelah menunggu tidak begitu lama, Santi selesai dimandikan.
Naysilla masih terisak tak percaya akan secepat itu kehilangan ibunya. Masih tergambar jelas wajah bahagia Santi mengetahui coffe shop impiannya terwujud. Masih terdengar nyaring ucapan ibunya yang berpesan untuk selalu bersikap baik kepada Saka dan keluarganya.
"Mereka semua orang baik, Nay. Ingat, kamu ibu ajarkan semua kebaikan yang seharusnya dilakukan. Maka sekarang saatnya kamu menjalankan semua itu. Kamu harus sabar, karena hidup tak selalu seperti yang ada di khayalan. Terlebih dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Ingat, menikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang, Nay. Bersabarlah! Ibu tahu itu nggak mudah, tapi juga tidak sulit untuk seorang Naysilla. Ibu percaya! Kamu pun harus percaya."
"Kamu sudah bersuami, jangan pernah keluar rumah tanpa izinnya. Jangan pernah bertemu berdua pria mana pun meski itu untuk urusan pekerjaan. Libatkan Tuhan dalam langkahmu, niscaya Tuhan juga akan menyelamatkanmu."
Naysilla menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ucapan terakhir ibunya yang begitu mempercayai bahwa dia akan bisa melalui pelik pernikahan membuat dia merasa sesak. Tak ada lagi perempuan yang bisa menenangkan hatinya, tak ada lagi perempuan yang menyambut dengan senyum ketika dia bercerita betapa dia begitu lelah bekerja.
Sentuhan lembut di bahunya membuat Naysilla mengangkat wajahnya. Saka berdiri di depannya.
"Kita ke pemakaman sekarang. Kamu siap?" tanyanya seraya mengulurkan tangan.
Naysilla mengangguk seraya menyambut uluran tangan Saka kemudian mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar bersama dengan yang lainnya.
**
Tepekur di sisi nisan yang di taburan bunga, Nasyilla seolah tak bertulang. Bibirnya tak henti memanggil ibunya diselingi dengan zikir. Merasa anak yang tidak memerhatikan sang ibu, Naysilla berulangkali mengucapkan kata maaf dan penyesalan.
"Nay, sudah sore, kita pulang ya," ajak Saka menggamit lengan istrinya.
"Tinggalin aku, Mas. Aku masih mau di sini."
Menarik napas dalam-dalam, Saka merengkuh bahunya.
"Hari sudah sore, Nay. Kamu nggak mungkin di sini terus. Besok kamu bisa datang lagi ke sini, kan?"
Naysilla mengusap air matanya. Dia lalu menoleh ke samping seraya mengangguk. Saka bangkit, perlahan membantu istrinya.
"Bu, Nay pulang dulu ya. Besok Nay ke sini lagi," tuturnya sebelum melangkah menjauh.
**
Semenjak ditinggal ibunya, Naysilla lebih sering menghabiskan waktu dengan melamun. Tak jarang sepulang kerja, dia memilih pulang ke rumah masa kecilnya. Hal itu membuat Lusi khawatir, sementara Saka memilih mengikuti Naysilla.
Malam itu Naysilla duduk di teras menatap gerimis yang turun. Meski tidak lebat, tetapi cuaca malam itu begitu menggigit. Sesekali dia merapatkan sweater rajutan tangan sang ibu lalu kembali melipat kedua tangannya ke dada.
Saka yang sejak tadi mengamati sang istri dari pintu melangkah mendekat. Secangkir teh hangat dia sodorkan kepada Naysilla.
"Dingin, semoga ini bisa menghangatkan," tuturnya saat cangkir sudah berpindah tangan.
"Makasih."
Saka mengangguk lalu duduk di kursi kosong di sebelah Naysilla yang terpisahkan dengan meja.
"Sudah berapa lama kamu murung, Nay. Aku rasa andai ibumu tahu, beliau pasti nggak suka kamu seperti ini," ujar saka membuka pembicaraan.
Naysilla bergeming. Dia masih menatap rinai yang jatuh di depannya. Ternyata begini rasanya kehilangan. Seluruh dunia seolah senyap dan menggelap. Merasa sendiri melangkah di jalan panjang yang tak bertepi. Sejak kecil bersama ibu, kini tanpa aba-aba, dia harus melangkah sendirian. Sendirian, iya sendirian. Karena Saka baginya masih sangat jauh untuk bisa menemaninya. Dia tahu Saka hanya melakukan tugasnya sebagai suami.
Pikirannya melayang mengingat bagaimana Saka yang nyaris tak bisa melanjutkan hidup kala ditinggal Venina. Mungkin beda kasus, tetapi dia tahu kini bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang istimewa dan sangat berarti di dalam hidup.
Pada posisi ini, Naysilla semakin paham kenapa Saka seperti itu. Tentu saja tidak lain dan tidak bukan karena pria itu begitu dalam mencintai Venina. Kecintaannya pada perempuan yang telah tiada itu begitu besar sehingga mengaburkan perasaan cinta Naysilla padanya.
Perlahan Naysilla menarik napas dalam-dalam. Jika semua cinta Saka telah habis untuk Venina, itu berarti tak ada lagi cinta yang tersisa untuknya. Saka hanya iba. Iya, dia hanya kasihan padanya.
Bermonolog dengan hati atas semua kejadian, menimbulkan rasa sesak. Kembali dia menarik napas panjang.
"Mas."
"Ya?"
"Apa seperti ini yang kamu rasakan saat kehilangan dia?" tanyanya tanpa menoleh.
Paras Saka berubah serba salah. Dia tampak berusaha rileks dengan menyadarkan tubuhnya di punggung kursi dan menatap rinai seperti yang dilakukan istrinya.
"Aku paham sekarang. Aku paham bagaimana sakitnya hatimu dan bagaimana sulitnya bangkit dari rasa ini," imbuh Naysilla tanpa menunggu jawaban.
Saka masih bergeming.
"Maafkan aku yang waktu itu memaksa membuatmu untuk melupakan yang sudah pergi. Maafkan aku, Mas."
"Kalau aku tahu seperti ini rasanya kehilangan, aku nggak akan mau menerima permintaan Mama."
Mendengar penuturan Naysilla, Saka sontak menoleh. Dengan kening berkerut dia menatap intens ke samping.
"Permintaan Mama?"
Sadar dirinya salah ucap, Naysilla mengunci bibirnya. Dia hanya menggeleng.
"Mama meminta apa padamu? Mama memintamu untuk menemaniku? Memintamu membantu aku supaya ...."
"Sekarang aku sudah bisa memahami. Kamu bebas memilih apa yang kamu inginkan, karena aku tahu butuh waktu lama untuk mengeringkan luka," potongnya.
Hening sejenak.
"Nay. Jika benar yang kamu lakukan saat itu adalah permintaan Mama, kenapa baru sekarang kamu bilang?"
Naysilla membisu.
"Aku pikir kamu tulus. Ternyata aku salah," imbuhnya dengan nada kecewa.
"Kamu bilang aku nggak tulus, Mas? Kamu berpikir aku memiliki pamrih begitu?" sengitnya merasa tersindir.
Saka tersenyum miring.
"Andai Mama tidak memintamu apa kamu akan melakukannya? Apa kamu akan melakukan apa yang kamu lakukan waktu itu, Nay?"
Naysilla memejamkan mata sejenak kemudian menarik napas dalam-dalam. Bukankah pria di sampingnya itu tahu seperti apa perasaan Naysilla padanya? Mengapa dia bertanya seperti itu? Apa harus Naysilla kembali mengatakan perasaannya?
"Aku nggak yakin kamu melakukan itu. Iya, kan?" sambungnya.
"Berhenti menghakimiku, Mas. Mas pikir apa yang aku lakukan selama ini pamrih? Apa Mas nggak bisa membedakan tulus dan tidak?" Naysilla membalas tatapan sang suami. "Terserah seperti apa penilaian Mas terhadapku. Aku sudah pada titik berserah! Kehilangan terberat masih aku rasakan, jadi jika Mas hendak memikirkan soal pamrih ... aku siap apa pun keputusannya!"
'Bahkan jika harus kembali aku kubur perasaanku padamu,' batinnya.
Saka mengusap wajahnya. Pria itu kemudian bangkit.
"Aku kecewa, Nay. Kenapa aku harus tahu sekarang. Kamu nggak seharusnya mengorbankan waktumu saat itu."
Saka menarik napas dalam-dalam kemudian melangkah menuju pintu.
"Mungkin kita memang butuh jeda untuk memikirkan ini semua. Sudah malam, sebaiknya kamu istirahat. Oh iya, aku pulang ke rumah kita malam ini. Ada hal yang harus sama-sama kita pikirkan."
**
Bram tertawa kecil mendengar penuturan Saka. Pria berkacamata itu kemudian menggeleng seraya berkata, "Kalau ada kategori pria aneh, mungkin kamu akan jadi salah satu nominatornya."
Saka menatap malas lalu kembali menyandarkan kepalanya di bahu kursi.
"Saka, dengar! Coba kamu pikir mana ada di hari gini perempuan yang mau mengorbankan waktunya hanya untuk membuat pria sepertimu move on?"
"Lagian kalau nggak salah kamu pernah cerita kalau ibunya berkata bahwa dia sangat mencintaimu, bukan?"
"Tapi itu waktu kami sama-sama kuliah, Bram dan itu sudah lama sekali, kan? Bisa jadi dia sudah bertemu pria lain yang lebih dari aku dan terpaksa harus melepaskan karena permintaan Mama," tangkisnya.
Bram kembali menggeleng.
"Kamu payah, Bro! Kamu cocok jadi seorang novelis dengan sejuta analisis itu!"
Saka melirik Bram dengan wajah gusar.
"Kamu hanya kurang peka mengamati istrimu. Dari semua yang kamu ceritakan, aku yakin dia tulus mencintaimu!"
"Sok tahu!" balas Saka.
Bram kembali tertawa.
"Ya kalau kamu nggak yakin, itu terserah! Tapi kamu tahu, Saka? Kalau seorang perempuan sudah diam dan tidak lagi menyangkal apa pun yang dituduhkan padanya ... itu artinya kamu harus siap-siap kehilangannya!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top