Kekesalan Naysilla


Nasyilla tersenyum mendengar canda dari papa Saka. Pria paruh baya itu benar-benar bisa mencairkan suasana. Saka memenuhi permintaan Hendra untuk bertemu dengan Naysilla.

Dari pertemuan itu terlihat baik Nasyilla maupun Hendra seperti sudah kenal lama. Keduanya berbincang topik apa pun dan selalu bisa memecah kekakuan. Pun demikian dengan Aini. Perempuan berwajah ramah itu senang dengan pembawaan Naysilla yang bisa menyesuaikan diri.

"Jadi croissant ini buatanmu, Nay?"

"Iya, Om. Semoga rasanya nggak mengecewakan," balas Nay seraya mengulas senyum.

"Kamu suka bikin kue, Nay?" tanya Aini.

"Suka, Tante. Beberapa bulan ini Nay ikutan kursus gitu. Hobi, sih, Tante."

"Wah, hebat dong!" pujinya seraya melirik ke arah Saka yang sejak tadi hanya fokus ke gadgetnya. "Saka!"

Saka mengangkat wajahnya menatap Aini.

"Iya, Ma?"

"Ternyata Naysilla pinter bikin kue loh! Mama pikir, pasti beruntung nanti pasangannya. Iya, kan?" Aini memindai wajah sang putra.

Mendengar penuturan mamanya Saka hanya menarik bibirnya singkat kemudian menaikkan kedua alisnya. Tampak Aini tidak suka dengan ekspresi yang ditunjukkan sang putra barusan.

"Naysilla ini udah baik, cantik dan Mama rasa multitalenta loh," imbuhnya lagi.

Saka mengedikkan bahu kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Zaman sekarang semua orang memang dituntut untuk memiliki keterampilan, Ma. Banyak kok yang seperti Naysilla. Ya, itu karena memang tuntutan udah seperti itu.  "Venina dulu juga begitu, kan, Ma? Dia jago mendesain interior dan eksterior rumah, dia juga ikut kursus masak karena dia berpikiran untuk membuka katering untuk vegetarian dan mengisi untuk makan siang di kantor-kantor. Mama ingat, kan?" paparnya menatap Aini.

"Jadi memang bukan hal yang luar biasa lagi sih, Ma. Begitu, kan, Nay?" Saka menoleh ke Naysilla yang duduk di sebelah mamanya.

Sejenak Naysilla menarik napas dalam-dalam mencoba untuk tidak terprovokasi oleh ucapan Saka. Meski sejujurnya dia kesal jika kembali disamakan dengan Venina.

"Iya, Tante. Sekarang setiap orang memang dituntut untuk bisa melakukan apa pun. Nggak ada yang istimewa sebenarnya, karena itu tuntutan zaman," jelasnya kepada Aini.

Meski tak terungkap, tetapi Aini bisa melihat gurat kecewa di mata perempuan berbaju hijau di depannya. Naysilla sejak tadi memang terlihat selalu mencoba menguasai keadaan. Aini tahu jika Naysilla tidak suka jika dibandingkan dengan Venina. Tidak hanya Naysilla, dia pun juga kesal jika putranya itu selalu mengaitkan dengan perempuan yang telah tiada itu.

Sebenarnya tidak salah bagi Saka untuk mengenang Venina mengingat hubungan mereka yang hampir saja menikah, tetapi bukan berarti semua hal selalu dihubungkan dengan perempuan itu. Setidaknya Aini ingin Saka tidak terpaku pada kenangan masa lalunya.

"Iya, Mama tahu, tapi Mama pikir kalau hobi kamu ini dikembangkan dan bisa kerjasama dengan Saka itu akan lebih baik loh!"

"Kamu bisa mengisi hidangan di cottage miliknya, Nay," tuturnya lagi kali ini kembali melirik ke Saka. Akan tetapi, putranya itu terlihat  tengah menerima telepon dari seseorang. Saka bangkit lalu meninggalkan tempat itu.

"Nay masih pemula,kok, Te. Jadi masih harus belajar banyak," ujarnya merendah.

"Gimana, Om? Enak croissant-nya?"

Mengangguk yakin, Hendra mengacungkan jempol.

"Enak banget! Enak banget, Nay! Ini kamu yang buat, kan? Kamu tadi nggak mampir ke toko roti, kan?"

Naysilla tertawa kecil kemudian menggeleng.

"Nggak, Om. Ini buatan Nay sendiri. Syukurlah kalau Om suka dan enak!" ujarnya.

Aini tersenyum lebar lalu ikut menikmati kue buatan Naysilla itu.

"Emang enak kok! Eum ... ini rasanya mirip seperti croissant di toko bakery langganan Mama deh!" Aini menyelidik.

Naysilla memamerkan dekikan di pipi seraya mengangguk.

"Nay ikut kursus di sana, Ma. Di De Flavour Bakery, kan? Itu nama toko kue langganan Mama?"

Mata Aini melebar kemudian mengangguk.

"Kamu kursus di sana? Itu Jeng Hetty yang punya toko itu sahabat Mama, Nay!" serunya antusias.

Perempuan paruh baya itu kemudian bercerita tentang persahabatannya dengan pemilik toko bakery itu. Tak lama kemudian, terlihat Saka masuk.

"Saka! Kamu harus coba croissant buatan Naysilla! Papa yakin kamu suka!" Hendra memberi isyarat agar putranya duduk dan menikmati kue tersebut sepertinya.

Pria berkaus hitam itu menaikkan satu alisnya lalu mengikuti titah sang papa.

"Gimana? Enak, kan?" tanya Hendra.

Saka tersenyum tipis kemudian mengangguk.

"Boleh juga," ujarnya singkat.

"Yang cokelat juga enak loh, Saka," timpal Aini.

Saka menoleh ke mamanya kemudian menggeleng.

"Naysilla tahu Saka penyuka croissant di toko itu sejak lama, kan, Nay?" tanyanya memiringkan wajah ke arah Naysilla.

Mendengar ucapan Saka, wajah Aini berseri-seri.

"Jadi kamu bikin ini sengaja mau buat surprise untuk Saka, begitu, Nay?"

"Nggak, Tante. Ini croissant perdana buatan Nay yang sukses, sebelum sebelumnya kacau," paparnya dengan senyum dikulum.

"Eh tapi serius enak loh. Betul, kan, Saka?" Aini kembali menatap putranya.

Saka hanya menaikkan alisnya kemudian tersenyum.

**

"Kamu serius mau menekuni dunia baking, Nay?" tanya Saka saat perjalanan pulang mengantar Naysilla.

"Iya. Sepertinya begitu," balasnya seraya merapikan rambut.

"Bagus itu. Venina juga dulu begitu. Seperti yang aku ceritakan tadi. Dia bahkan sudah mulai merencanakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Dia sudah memikirkan cara bagaimana memasarkan produk dia, dia juga sudah beberapa kali berkonsultasi bagaimana kemasan produk dia agar bisa menarik dan bisa bersaing di pasar saat itu." Saka terlihat menarik napas dalam-dalam.

"Jadi  aku sarankan kamu ikutin deh seperti apa dulu Venina menyusun strategi pemasarannya. Karena aku pikir nggak ada salahnya, kan mengadopsi sesuatu yang baik dari siapa pun. Terlebih basic pendidikan Venina itu ...."

"Cukup, Saka! Cukup! Aku tahu apa yang harus aku lakukan!"  potong Naysilla dengan wajah menahan kesal.

Saka menyipitkan mata melihat ekspresi perempuan di sampingnya.

"Ada yang salah, Nay?"

Naysilla mengangguk cepat tanpa menoleh, dia berkata, "Ada! Yang salah itu aku!"

Tak mengerti dengan reaksi Naysilla, Saka menepikan mobilnya.

"Kamu kenapa, Nay? Ada yang salah dari ucapanku?" tanyanya dengan mata menyipit.

"Nggak ada. Semua yang kamu ucapkan itu benar, Saka. Aku yang salah!" balasnya tanpa menatap.

"Nay, aku nggak ngerti. Sejak tadi kamu nggak melakukan sesuatu yang salah. Ini ada apa sebenarnya?"

Naysilla menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan. Dia lalu menoleh menatap pria yang juga tengah menatapnya.

"Aku salah, Saka. Aku yang salah karena ...."

"Karena apa?"

Naysilla bungkam. Hatinya berontak ingin mengatakan jika dia hadir kembali karena mama Saka yang meminta. Namun, itu semua tidak mungkin. Toh dia juga setuju dengan permintaan itu.

"Karena apa, Nay? Kenapa kamu diam?"

Naysilla menelan ludahnya menahan gejolak emosi hati. Perasaan cintanya begitu kuat hingga mengalahkan rasa kesal.

"Nggak apa-apa. Aku turun di sini aja!"

"Nay?"

"Rumahku sudah dekat, kan? Aku bisa jalan, Saka. Terima kasih."

Dia kemudian membuka pintu mobil lalu beranjak pergi. Heran dengan tingkah Naysilla yang tiba-tiba berubah, Saka ikut turun dari mobil.

"Naysilla! Tunggu!"

Langkahnya terhenti mendengar panggilan Saka.

"Katakan ada apa!"

Masih pada posisi membelakangi, Naysilla menggeleng lalu melanjutkan langkahnya. Saka merasa harus mendapatkan penjelasan dari perempuan itu. Segera dia berlari kecil dan merah lengan Naysilla sehingga mereka saling berhadapan.

"Kamu kenapa? Apa ucapanku soal pemasaran tadi menyinggungmu?"

Menggeleng, Naysilla mencoba melepaskan lengannya dari cekalan Saka.

"Aku mau pulang!"

"Maafkan aku kalau ...."

"Kamu nggak salah, Saka. Aku yang salah! Lepas!"

Menarik napas dalam-dalam, Saka melepaskan tangannya.

"Makasih. Maaf!" tutur Naysilla setelah itu kembali melangkah pulang.

**

Saka kembali ke rumahnya dengan wajah lesu. Sepanjang perjalanan dia terus berpikir apa yang terjadi pada Naysilla.

"Saka."

"Iya, Ma?"

"Sudah nganterin pulang Naysilla?"

Saka mengangguk.

"Duduk sini!" titah Aini.

Tak membantah, Saka melangkah malas mendekati mamanya.

"Kamu kok lesu gitu? Kenapa?"

"Nggak apa-apa, Ma. Capek aja mungkin," sahutnya asal.

Aini menarik bibirnya kemudian menggeleng.

"Berantem sama Naysilla?"

Saka menggeleng. "Nggak kok. Dia aja yang tiba-tiba aneh."

"Aneh?"

Saka menghela napas lalu menceritakan apa yang terjadi tadi. Mendengar penuturan putranya, Aini kembali tersenyum.

"Kamu tahu, Saka? Apa kamu pernah berpikir kalau kamu telah melukai hatinya?"

Saka sontak menoleh ke Aini. Dengan mata menyipit dia bertanya, "Saka melukai hati Nasyilla?"

Aini mengangguk.

"Enggak, Ma. Saka nggak pernah menyakiti hatinya. Lagian di bagian mana Salah menyakiti hatinya? Dia baik, Ma. Sangat baik!"

Bibir perempuan paruh baya itu kembali melebar.

"Justru karena dia teramat baik itu yang kamu hampir tidak bisa menyadari bahwa dia sudah sangat terluka, Saka."

**












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top