Hani
Saka menatap Naysilla lalu sejenak dia menyesap kopi cappucino hangat yang dihidangkan sang istri.
"Ngapain Edgar ke sini?" selidiknya setelah meletakkan cangkir kopi di meja.
"Oh, kami sedang membicarakan kemungkinan untuk membuka gerai coffe shop baru," terang Naysilla seraya menyodorkan sepiring spaghetti kepada Saka.
Pria berkemeja putih itu menatap wajah sang istri tanpa jeda. Membuka cabang baru itu berarti istrinya akan semakin sibuk dan lebih sering bertemu Edgar. Sementara dirinya tentu akan semakin jauh karena sampai saat ini hubungan mereka pun belum sampai pada tahap membaik. Mengingat kondisi rumah tangganya, Saka membuang napas panjang seraya mengusap tengkuk.
"Dimakan, Mas. Itu spaghetti carbonara kesukaanku!"
"Oh ya?"
"Hu umh! Mas pasti nggak tahu apa aja kesukaanku, kan?" tanyanya seraya memamerkan dekikan di pipi.
Saka bergeming kemudian menggeleng.
"Tahu dong! Soto ...."
"Cuma soto mi aja, kan yang Mas Saka tahu?" potongnya masih dengan garis senyum yang sama.
Mendengar ucapan Naysilla, Saka tersenyum singkat seraya mengangguk.
"Nah bener, kan? Ada banyak waktu yang kita nggak bareng-bareng, Mas. Dan di antara waktu itu, aku menemukan beberapa hal yang kusukai dan yang tidak!" terangnya seraya meraih gelas berisi air putih lalu meneguk perlahan.
Saka mengedikkan bahu, dia kemudian menikmati spaghetti carbonara spesial buatan sang istri.
"Emang apa lagi selain spaghetti ini yang kamu suka?"
"Bukannya itu tugas Mas sebagai suami ya?"
"Tugas apa?"
Sambil menaikkan alis, Naysilla berkata, "Mencari apa yang istrinya suka dan apa yang tidak!"
Pria di depannya itu berhenti mengunyah sejenak, dia terlihat tersenyum tipis.
"Gitu ya? Apa perlu serumit itu? Maksudku, apa itu penting?"
Naysilla menarik bibirnya datar lalu menggeleng.
"Tapi kalau Mas Saka rasa itu nggak penting ya nggak apa-apa," timpalnya seperti menyesal mengatakan hal barusan.
"Menurut kamu penting nggak?" Saka kembali melanjutkan makannya.
Menarik napas dalam-dalam, Naysilla kembali tersenyum.
"Penting atau nggak itu tergantung bagaimana cara pria itu memandang sebuah hubungan. Tergantung bagaimana caranya melihat cinta dan bagaimana cara dia menunjukkan perasaannya," tuturnya lirih.
Saka mengangguk setuju.
"Aku lebih suka semua berjalan apa adanya, Nay. Nggak ada yang terpaksa dan nggak ada yang dipaksa. Biarkan semua berjalan sebagaimana mestinya dan ...."
"Aku paham, Mas. Maaf kalau ucapanku tadi terdengar seperti memaksa," selanya menunduk dan masih dengan suara lirih.
Menyadari perempuan di depannya kecewa, Saka menarik napas dalam-dalam. Dia terlihat menyesal telah berkata seperti tadi.
"Nay, maaf, yang barusan itu bukan begitu yang kumaksud. Maksudku tadi ...."
Naysilla menggeleng masih dengan senyum tulusnya.
"Aku paham, Mas. Nggak apa-apa, aku ngerti kok," ujarnya. "Eum ... habis ini Mas mau ke mana?"
Saka menautkan kedua alisnya kemudian menggeleng.
"Aku ke sini, kan, mau jemput kamu pulang, justru aku yang harus tanya kamu mau ke mana setelah ini?"
Menarik napas dalam-dalam, Nasyilla menarik bibirnya.
"Oke, aku mau ke toko buku buku!"
"Toko buku? Untuk apa?"
"Ada buku resep yang aku incar! Mas Saka mau temanin aku, kan?"
Saka mengangguk seraya tersenyum. Sejenak Maya mereka saling bertatapan, tetapi cepat Naysilla memutusnya.
"Thank you! Eum, kalau begitu, aku mau ambil tas di dalam dulu!" Perempuan berbaju panjang sebatas lutut berwarna lilac itu bangkit.
"Eum, Nay!"
"Iya, Mas?"
Mata Saka kembali menatap sang istri lalu menggeleng.
"Nggak apa-apa, aku tunggu! Buruan ambil tasnya!"
Mengangguk, Naysilla gegas menjauh.
"Pak Saka!" Panggilan seorang perempuan membuat Saka menoleh ke arah suara.
"Hani? Kok kamu di sini?"
Perempuan bernama Hani itu tertawa kecil kemudian mendekat. Tanpa dipersilakan, dia duduk di depan Saka.
"Makasih ya, Pak!" ucapnya dengan tatapan kagum.
"Makasih apa?"
"Bapak sudah bantu membiayai ibu di rumah sakit. Saya nggak tahu kalau seandainya saya belum bekerja di tempat Bapak dan nggak ketemu Bapak, mungkin saja ibu saya belum bisa keluar dari sana dan mungkin saya akan ...."
Saka menarik bibirnya singkat kemudian mengangguk.
"Itu tugas saya, Hani. Tugas saya sebagai pimpinan yang nggak mau terjadi sesuatu yang buruk pada karyawan. Itu aja," balasnya.
Hani menatap Saka lekat. Baginya Saka adalah malaikat Tuhan yang datang menjadikan dirinya bisa seperti ini. Andai malam itu dia tidak bertemu Saka, mungkin keputusannya untuk menjadi perempuan bayaran sudah dia jalani. Bukan tanpa alasan dia memutuskan untuk menjadi seperti itu. Tuntutan biaya berobat sang ibu yang dia emban sendiri menjadikan pikirannya sempit.
"Kamu ke sini ada perlu apa?" Saka memecah lamunan Hani.
"Oh itu, eum, saya tadi lihat mobil Bapak. Bapak melupakan sesuatu tadi di rumah saya," jawabnya seraya menyerahkan ponsel kepada pria itu.
"Bapak meninggalkannya di meja tadi, saya lihat dan saya coba mengejar Bapak," terangnya. "Syukurnya terkejar, dan Bapak mampir ke sini, kalau nggak ya mungkin besok baru bisa kembali itu ponsel," imbuhnya dengan bibir melebar.
Saka menepuk dahi sembari menggeleng. Dia lalu mengucapkan terima kasih setelah benda itu berada di tangannya.
"Bapak sering mampir ke sini?" tanya Hani.
"Eum, tempat ini ...."
"Mas Saka?"
Naysilla tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka berdua. Bergantian dia menatap sang suami dan Hani yang duduk berhadapan di depannya. Sementara Saka tampak terkejut demikian pula dengan Hani.
"Nay, kenalin ini karyawan baru aku. Dia baru tiga pekan kerja di kantor," ujar Saka seraya bangkit memperkenalkan Hani.
Perempuan bercelana jeans, berkaus biru sedikit ketat itu ikut bangkit. Dia lalu mengulurkan tangan seraya menyebutkan nama.
"Dia istri saya. Dia yang punya tempat ini, Han," terang Saka.
"Oh jadi, Pak Saka sudah punya istri?" Hani mengerutkan kening dengan mata menyipit. "Maaf, saya pikir ...."
Naysilla menoleh ke Saka. Ada rasa tak nyaman di hati mengetahui Hani tidak tahu jika Saka sudah memiliki dirinya. Perempuan di depannya itu bisa dibilang sangat menarik.
"Sebab Pak Saka pernah cerita soal mendiang Mbak Venina saja. Maaf, Bu."
Menarik napas dalam-dalam, Naysilla menatap Hani, sekilas mengingatkan dia pada sosok yang begitu dicintai sang suami. Menyadari itu, ada sisi hati yang menggelegak ingin berontak. Ada kekhawatiran yang muncul dengan berbagai alasan di kepala.
"Eum nggak apa-apa ... kalau masih ada yang mau dibicarakan, silakan. Kalian duduk aja lagi. Kamu mau pesan apa, Hani?" Naysilla menekan nama Hani ke perempuan itu.
"Oh nggak, Nay! Kebetulan ini tadi, Hani ...."
"Iya, Bu. Ini saya kebetulan lewat dan melihat Bapak ada di sini jadi saya mampir menyapa," sela Hani menatap Saka khawatir.
Naysilla yang melihat gesture Hani, hanya menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
"Oke, bukan masalah buat saya," tegasnya.
"Kalau begitu saya pamit pulang. Permisi, Bu, Pak. Maaf kalau mengganggu," pamitnya lalu bergegas pergi.
Setelah perempuan berambut sebahu itu berlalu, Naysilla menatap Saka yang terlihat canggung.
"Di mirip Venina, kan, Mas?" tanyanya. "Sangat mirip, mungkin tinggal beberapa style dia aja yang harus diubah," sindir Naysilla kemudian mengayun langkah cepat meninggalkan Saka.
"Nay! Tunggu, Nay!" setengah berlari dia mendekati sang istri yang sudah berada di luar coffe shop.
"Nay kamu kenapa sih? Katanya tadi mau ke toko buku?" Saka menahan lengan istrinya.
"Nggak jadi! Aku mau pulang!"
"Kenapa nggak jadi?"
"Aku capek, Mas!"
"Nay, kamu kenapa sih?"
"Aku mau pulang dan aku nggak mau ribut di coffe shop milikku!"
Naysilla lalu menarik lengannya yang masih dalam cekalan Saka. Sementara Saka hanya bisa diam membiarkan istrinya berlari kecil menjauh darinya.
"Nay! seru Saka. "Tunggu! Kamu mau pulang naik apa? Aku lihat kamu nggak bawa mobil, kan?" Kembali orianitu mengejar istrinya.
"Ada banyak taksi online!"
"Nay, please! Dengarkan aku dulu. Jangan seperti ini, Nay," mohonnya.
Naysilla menarik napas dalam-dalam kemudian menoleh.
"Mas, aku mau pulang. Aku capek!"
"Oke. Kita pulang. Please, jangan main kabur ninggalin aku seperti tadi."
**
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Naysilla memilih bungkam sementara Saka sesekali melirik ke arah sang istri yang sejak tadi menatap ke luar jendela.
Bukan tanpa alasan jika Naysilla kecewa padanya, terlebih saat tahu jika Hani tak mengetahui dirinya sudah memiliki Naysilla.
Saka paham itu, akan tetapi dia memang belum sempat saja untuk menyampaikan soal dirinya yang sudah menikah kepada karyawan baru yang memiliki paras sekilas seperti Venina itu.
Ada banyak hal yang membuat Saka bersimpati pada Hani. Sejak pertemuan pertama yang tak disengaja kala mobilnya mogok kala itu, Saka selalu bersikap baik dan tidak pernah berpikir untuk melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan.
Meski beberapa kali terkadang dia seperti terjebak pada kenangan terhadap Venina, tetapi dirinya masih bisa berpikir jernih untuk itu.
"Nay," panggilnya memecah keheningan di mobil.
Tak ada reaksi dari Naysilla. Hatinya telanjur luka dan dipenuhi oleh aneka kesimpulan yang membuat dirinya semakin tenggelam dalam nestapa. Semakin dia mencoba menerima Saka dengan segala kekurangan, semakin pula pria itu memberinya 'kejutan' yang sama sekali tak pernah dia duga.
Jika sudah seperti ini, terkadang Naysilla merasa tidak ada lagi yang perlu dipertahankan. Bahkan wasiat ibunya pun sudah tak lagi bisa dia jadikan alasan untuk bertahan. Akan tetapi, saat ini bukankah harga dirinya yang harus dia bela?
**
Terima kasih sudah setia dengan kisah Saka💜
Colek aja kalau typo yaa.
Salam hangat 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top