Ada apa dengan Saka?
"Eh! Sebentar. Ada telepon dari klien aku. Sebentar ya, Nay, Saka," tutur Edgar seraya bangkit dari duduk.
Pria berkemeja putih itu menjauh dari keduanya. Sejenak hening. Naysilla menatap gelas orange juice yang isinya tinggal separuh. Sementara. Saka memainkan gadgetnya. Tak ingin berada di situasi yang canggung, Naysilla melirik ke pergelangan tangannya lalu beringsut dari duduk.
"Mau ke mana, Nay?" tanya Saka.
"Mau pamit ke Tante Aini. Aku mau pulang," jawabnya seraya meraih tas tangan.
"Pulang? Acara belum selesai, Nay." Saka terlihat keberatan jika perempuan di depannya itu harus pulang.
"Nggak harus menunggu sampai selesai, kan? Maaf, ada hal yang harus aku selesaikan. Permisi, Saka."
"Nay, tunggu!" Saka menggamit lengan Naysilla sehingga dia tak melanjutkan langkah.
"Ada apa?" tanya Naysila.
"Aku pengin kita bicara."
"Bicara apa?"
Saka tampak kesulitan menjawab pertanyaan Naysilla. Bicara apa? Entah. Dirinya sendiri bahkan tak tahu apa yang akan dia bicarakan. Dia hanya tak ingin perempuan di depannya itu tak bisa ditemuinya lagi.
Setelah beberapa pekan tidak melihat senyumnya, Saka merasa ada yang kosong di hatinya? Perasaan macam apa ini? Sial! Tiba-tiba saja dia seperti kehilangan kata-kata ketika manik mereka bertemu.
"Saka? Kamu kenapa? Kamu bilang mau bicara?"
"Ehem! Ada apa ini?" Edgar tiba-tiba muncul saat Saka masih mencari alasan agar Naysilla tetap tinggal.
Perlahan Saka melepaskan tangannya dari lengan Naysilla. Mata Edgar menangkap ada sesuatu dengan antara mereka berdua dan hal.itu membuatnya tersenyum tipis.
"Kamu mau ke mana, Nay?"
"Aku mau pulang, Ed. Mau pamit dulu ke Tante Aini," balasnya seraya merapikan rambut.
"Oke. Sampai ketemu pekan depan ya. Jangan lupa konsep lengkap coffe shop kamu dibawa!"
Naysilla mengangguk. "Pasti!"
"Saka aku balik dulu. Permisi!" tuturnya dengan bibir membentuk pisang.
Dia lalu melenggang melewati Saka dan Edgar menuju tempat Aini dan rekannya. Sementara Saka bergeming menatap kepergian perempuan yang menurutnya kerasa kepala itu.
"Naysilla ... dia smart bukan?" Edgar memecah keheningan di tempat itu.
Saka menarik napas dalam-dalam kemudian mengedikkan bahu.
"Entahlah. Aku sudah lama kenal dia. Mungkin betul dia smart, tapi aku pikir dia sedikit keras kepala," balasnya tersenyum kecil.
Edgar tertawa seraya menggeleng.
"Kamu sedang punya masalah dengan dia?"
Tak menjawab, Saka lagi-lagi mengedikkan bahu.
"Eum ... Ed."
"Ya?"
"Aku tinggal dulu ya. Ada hal penting yang ...."
"It's oke, Saka."
Saka tersenyum kemudian mengangguk. Dia lalu melangkah cepat keluar lokasi pesta sang mama. Tak ingin kehilangan Naysilla dia berlari kecil hingga ke tempat di mana mobil para tamu terparkir. Matanya menyapu ke segala arah hingga dia melihat perempuan itu tengah membuka pintu mobilnya.
"Nay!" panggil Saka seraya berlari.
Mendengar namanya dipanggil, Naysilla menoleh. Desir halus kembali menyapa. Pria kaku yang tak bisa ditebak pikirannya itu berlari ke arahnya. Saka! Dia memang pria menjengkelkan sekaligus bisa membuat dirinya merasa nyaman jika menatap di kedalaman matanya.
"Aku mau kita bicara."
"Aku mau pulang, Saka!"
"Ini penting. Aku mau kita bicara!" Saka mengambil kunci dari tangan Naysilla.
"Balikin, Saka! Aku mau pulang!"
"Nanti aku antar! Mobil kamu biar dibawa sopir keluargaku!"
Naysilla mendengkus.
"Bicara soal apa?"
"Soal ...."
Naysilla memiringkan kepalanya menunggu jawaban Saka.
"Ikut aku!" Saka meraih tangannya mengajak Naysilla menjauh dari tempat itu.
"Pak Jaya! Tolong antar mobil ini," titahnya menyerahkan kunci ke pria paruh baya, "alamat saya kirim di WhatsApp."
"Siap, Mas!" ujar pria itu sopan.
"Ayo ikut!" Kembali dia menarik lembut tangan perempuan itu.
Tak ada pilihan lain dari Naysilla selain mengikuti Saka. Dia lalu berhenti di mobil kuning miliknya kemudian membukakan pintu untuk Naysilla.
"Masuk!" titahnya.
Mata Naysilla menyipit kemudian menggeleng cepat.
"Nggak! Aku mau pulang!" tolaknya.
"Masuk, Nay! Please!"
"Ngapain, Saka?"
"Aku bilang kita harus bicara. Please, Nay!"
Naysilla menarik napas dalam-dalam. Dia lalu mengikuti perintah pria itu. Setelah menutup pintu, Saka memutar dan masuk ke mobil.
"Kamu mau bawa aku ke mana?"
"Ke tempat yang enak buat kita bicara," sahutnya seraya mendekat ke Nasyilla.
Tanpa jarak dengan Saka membuat Naysilla menahan napasnya.
"Kamu mau ngapain?" tanyanya panik dengan kedua tangan menutup wajahnya.
Tanpa menjawab, Saka memasangkan sabuk pengaman untuk perempuan yang membuat dirinya menarik bibir kembali. Menyadari telah over thinking, wajah Naysilla tampak merona. Sementara Saka justru terlihat biasa saja.
"Kamu mau bicara apa sih? Bicara aja sekarang. Nggak perlu seperti ini."
"Aku nggak bisa fokus nyetir kalau sambil ngobrol," balas Saka.
Naysilla menarik napas dalam-dalam mengedikkan bahu.
"Kamu udah lama kenal Edgar?" tanyanya saat mobil mulai meluncur.
Sudut mata Naysilla mengarah ke Saka sejenak kemudian menggeleng.
"Baru aja."
"Tapi kalian seperti sudah kenal lama."
Kali ini sudut bibirnya terangkat.
"Mungkin karena kita satu frekuensi," tandas Naysilla santai.
Saka mengangguk seraya mencoba mengatur napas yang mendadak pendek. Cemburukah dia? Mungkin tidak! Maksudnya tidak mungkin, tetapi kenapa lagi-lagi dia kesal melihat ekspresi Naysilla saat berkomentar tentang Edgar? Sial! Saka kali ini membuang napas kasar.
"Satu frekuensi," tuturnya mengulang.
"Iya. Kebetulan dia juga punya pemikiran yang sama seperti aku. Dia pengen resign dan meneruskan bisnis mamanya," terang Naysilla dengan wajah cerah.
"Jadi cuma karena itu kamu terlihat sangat dekat?"
Naysilla memiringkan kepalanya menatap Saka. Keningnya terlihat berkerut mendengar pertanyaan pria yang tengah menatap lurus ke depan.
"Kenapa emang? Edgar pria baik dan aku merasa harus banyak berdiskusi dan bertukar pikiran dengan dia."
"Kamu kenapa seperti nggak suka?"
Merasa ucapannya membuat Naysilla heran, segera Saka menggeleng.
"Nggak! Bukan itu maksudku. Aku cuma ...."
"Cuma?" Kali ini Naysilla memiringkan tubuhnya mencuba mengamati Saka.
"Cuma apa?"
"Iya, cuma pengin tahu aja. Sebab kamu seperti sudah kenal lama, bahkan nggak seperti kalau kamu sama aku," paparnya tanpa menoleh.
Menarik napas dalam-dalam, Naysilla kembali bersandar menghadap ke depan. Dia hanya tersenyum menanggapi ucapan Saka.
Suasana hening. Lamat-lamat terdengar alunan lagu dari Tulus. Dengan suara lirih Naysilla mengikuti lirik lagu itu seperti tidak sedang bersama Saka.
"Kita ke kafe dekat kantor aku ya. Di sana makanannya enak-enak." Saka menoleh ke perempuan yang asyik bernyanyi kecil itu.
Naysilla hanya menaikkan alisnya dengan senyum manis. Saka menarik bibirnya singkat kemudian kembali fokus mengemudi.
"Kenapa berhenti?" tanya Saka saat Naysilla tak lagi bernyanyi.
Seolah tersadar jika dirinya sejak tadi diperhatikan, Naysilla mengatupkan bibirnya dengan mata membulat.
"Sori! Kamu terganggu ya?"
Saka tertawa kecil seraya menggeleng.
"Nggak! Suara kamu bagus kok!"
Dengan mata membulat, Naysilla menutup mulutnya dengan tangan kanan.
"Sori, Saka. Aku suka aja sama lagunya, jadi ...."
"Kenapa minta maaf sih? Aku nggak terganggu kok!" timpal Saka. "Dulu Nina ...."
"It's oke. Dulu Venina juga sering melakukan hal ini?" potong Naysilla dengan wajah terlihat kesal.
Saka mulai bisa membaca kekesalan di wajah Naysilla. Dia mulai menebak-nebak sebab sikap perempuan itu yang tiba-tiba berubah.
"Kamu marah ke aku, kan, Nay?" tanyanya mulai membelokkan mobilnya ke sebuah kafe bernuansa vintage.
Naysilla tak menjawab. Dia memalingkan wajah ke luar jendela. Kali ini dia tak ingin menyembunyikan perasaan kesalnya pada pria itu. Dia tak peduli bahkan jika Saka marah padanya. Bagi Naysilla, hal ini adalah cara terbaik untuk perlahan melupakan pria di sampingnya itu.
"Aku nggak marah. Aku cuma nggak nyaman maka jika semua yang kulakukan kamu sangkut pautkan sama siapa pun itu!"
Saka mematikan mobilnya. Mereka sudah berada di tempat parkir saat ini.
"Dengan Venina maksudnya?"
Naysilla kembali bergeming.
Saka menarik napas dalam-dalam.
"Kamu marah, kan, Nay? Kamu kesal karena aku selalu menyebut Venina? Hal itu juga yang membuat sikap kamu berubah, kan?"
Hening.
"Aku hanya ingin bercerita tentang dia. Aku hanya ingin berbagi kisah apa itu salah?"
Saka menarik napas dalam-dalam.
"Kamu belum pernah merasakan kehilangan, Nay! Aku bukan orang yang bisa dengan mudah melupakan seseorang yang pernah dekat begitu saja. Aku pikir kamu tahu aku seperti apa, Nay!"
Naysilla masih bungkam.
"Jujur ... aku bahagia kamu datang menguatkan aku."
"Aku pikir ... kamu bisa mengerti aku, Nay. Tapi ternyata ... kamu sama aja dengan yang lain. Bosan. Bosan dengan ceritaku dan dengan semua hal tentang apa pun yang bisa membuat aku merasa Nina masih ada."
Naysilla memberanikan diri menoleh dan mengangkat wajahnya menatap Saka.
"Saka. Aku pikir siapa pun orangnya akan tidak suka jika disamakan dengan siapa pun. Mungkin awalnya aku bisa mengerti dan memahami. Tapi aku punya perasaan, Saka! Aku Naysilla. Aku bukan Venina!"
"Aku tahu, Nay! Apa aku salah jika sekadar mengingat Nina. Karena ada beberapa kesamaan antara kamu dan ...."
"Nggak! Nggak sama, Saka. Aku dan dia berbeda. Itu yang kamu nggak paham! Sudah saatnya aku berlepas diri dari semuanya. Aku nggak bisa berada di bawah bayang-bayang Nina atau siapa pun! Aku Naysilla," potongnya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tahu, aku nggak sebaik dia, tapi kamu juga harus tahu, bahwa dia juga nggak lebih baik dari aku!"
Naysilla menarik napas dalam-dalam kemudian meraih tas tangan di dashboard.
"Aku mau pulang!" tuturnya seraya membuka pintu mobil.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top