Episode 4 Rasanya memalukan

Kiran membalas semua ucapan salam satu per satu dari para seniornya, kemudian setelah ruangan dapur sepi, gadis itu bernapas lega. Astaga, hari yang melelahkan. Sampai kapan siksaan Janesh ini akan berlangsung? Gadis itu melirik tumpukan pan, panci dan piring yang belum dicuci. Ini sudah larut malam, tapi ia masih belum boleh pulang sebelum dapur bersih.

"Demi apa, aku harus turun pangkat begini. Dari pemilik kedai ke cook helper, alias pembantu!" Kiran ngedumel seraya mencuci peralatan yang tadi dipakai memasak.

"Kiran, pasti capek ya?" sapa seseorang dari belakangnya. Rupanya Almira.

Kiran sudah ingin memberikan jawaban palsu seperti biasanya, tetapi tentu saja wajah lelahnya itu sangat kentara. "Hai, Al. Iya lumayan capek."

Almira kemudian memberesi sampah-sampah yang tercecer di lantai maupun di meja dapur yang luas. "Sabar ya. Semua anak baru memang harus kerja kayak gini dulu."

Kiran terkejut saat melihat Almira membantunya bersih-bersih. "Eh, jangan Al. Biar aku aja, kamu kan pasti capek seharian masak!" cegah gadis itu berusaha merebut sapu yang dipegang Almira.

"Udah, nggak papa. Aku dulu pertama kali masuk juga kerja ginian. Udah hapal mana yang harus dibersihkan pake sabun, mana yang harus direbus air panas. Rasanya capek banget waktu itu. Kamu cuci aja dulu semuanya. Aku temenin kamu sampai selesai, ya." Almira tersenyum manis. Kiran sampai tak enak hati karena telah iri pada gadis itu.

"Emang aturan di sini kayak gitu ya? Kalo anak baru mesti bagian bersih-bersih?" tanya Kiran, penasaran.

Almira mengangguk. "Iya, kecuali kamu punya sertifikat Chef bintang satu atau dua Michelin. Selain itu, semuanya harus mulai dari bawah."

Kiran mendengkus. Berarti juara tiga Hard Kitchen sama sekali tak memberikan prestis apa-apa dong di restoran ini. Gadis itu merasa kecewa. Tetapi memang dirinya bukan lulusan sekolah tata boga. Pelatihan dari Chef Rahardi juga bukan prestasi, karena dia sama sekali tak memiliki sertifikatnya.

"Tapi kamu hebat lho, Ran. Kerjanya tangkas. Mungkin kamu nggak butuh waktu lama untuk jadi chef de partie*." Almira tersenyum kepada Kiran. "Aku aja butuh waktu tiga tahun."

"Hah? Iya? Lama banget?" Tiga tahun bersih-bersih, dengan tekanan Janesh yang galaknya bukan main? Kiran menelan ludah.

Almira tergelak, sembari mengibaskan rambut panjangnya. "Iya, aku terlalu lamban untuk belajar. Setelahnya aku rajin belajar masak setiap malam, ketika selesai bersih-bersih. Menguasai resep Teriyaki tadi aja, aku harus belajar selama enam bulan agar sesuai dengan selera Chef Janesh. Hm, kamu tahu kan, orangnya seperti apa?" Almira mengerling ke arah Kiran. Pipi gadis itu memerah.

"Ah, enggak kok. Aku kan ..." Kiran mencoba mengarang alasan. "Anak baru."

"Alah, nggak usah disembunyikan. Chef Janesh udah ngomong kok ke kita semua, sebelum kamu datang." Almira memasang wajah menggoda.

Kiran terbelalak. "Hah? Emang Chef bilang apa?"

"Pacarnya mau ke sini, kerja dan belajar seluk beluk dapur besar dari bawah. Chef Janesh juga minta nggak boleh mengistimewakan kamu, hanya karena kalian pacaran." Almira menaruh sapu dan mencuci tangannya. Dapur kini tampak bersih dan rapi.

Kiran tersipu malu mendengar penuturan Almira. Ya ampun mengapa lelaki itu terang-terangan mengangkat status mereka, padahal gadis itu sudah berusaha menampilkan diri hanya sebagai kolega? Benar-benar memalukan ketika diingat lagi. Kiran bahkan tak sanggup memandang Almira karena itu. Tetapi Almira memang baik, meski pun dia selalu menggoda si anak baru itu.

Setelah dapur bersih, Kiran pun mengelap peluh dari kening dan menuju ruang ganti. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada Almira yang membantu dan menemaninya mengobrol. Sous chef itu tersenyum dan berpamitan pulang. Kiran menghela napas ketika menatap pantulan wajahnya dari kaca wastafel ruang ganti. Sangat kucel dan kusam.

Gadis itu menggosok wajahnya kuat-kuat, seolah ingin mengenyahkan perasaan malu karena rupanya semua orang sudah tahu kalau ia adalah kekasih Janesh. Kiran menggigit bibir. Mengapa rasanya masih memalukan? Bukankah ini adalah hal yang ia impikan sejak lama?

Eh, tunggu. Mengapa dia jadi merasa berdebar seperti ini? Bukankah tadi ia marah kepada Janesh karena perlakuan semena-mena dari lelaki itu? Ah, sudahlah Kiran. Kamu ini memang labil sekali emosinya, umpat gadis itu dalam hati.

Dengan langkah kaki setengah diseret karena kelelahan, Kiran akhirnya mencapai pintu belakang restoran. Gadis itu sudah memastikan semua lampu telah dipadamkan, serta sampah telah dibuang di tempat pembuangan di luar, jadi kini ia bebas untuk pergi.

Tangannya cekatan mengunci pintu belakang, kemudian dia berbalik dan jantungnya seakan melompat keluar ketika melihat sesuatu di belakangnya. "Ya ampun!" pekiknya. Yang kemudian berganti dengan ekspresi wajah jengkel yang teramat sangat ketika mengetahui apa yang membuatnya kaget.

Setangkai bunga berada di hadapannya, diulurkan oleh tangan seorang lelaki yang sedari tadi memenuhi pikirannya.

"Apa ini?" sergah Kiran ketus.

"Bunga. Kamu nggak pernah lihat?" Lelaki itu menjawab dengan nada datar.

"Aku tahu ini bunga, Chef. Tapi buat apa?" timpal Kiran dengan kesal. Dia sudah merasa marah, sekaligus malu karena apa yang sudah dilakukan oleh lelaki itu.

Janesh menarik tangan Kiran dan menaruh bunga di telapak tangan gadis itu. "Kan kamu yang suruh untuk ngasih bunga tiap hari."

Kiran menatap lelaki itu tak percaya. Setelah seharian disemprot, diomeli dan dimaki, sekarang lelaki itu sok-sokan ingin berbuat romantis? Gadis itu tak mengendurkan kekesalan di wajahnya. Tidak, tak akan semudah itu dirinya akan luluh.

"Terus kenapa Chef masih di sini? Bukannya restoran udah tutup dari tadi? Kalo ini cuma karena Chef ingin minta maaf udah marahin aku seharian ini, nggak semudah itu ya. Aku masih marah dan nggak akan luluh cuma karena bunga!" Kiran mengomel dengan nada tinggi. Bunga yang ada di tangannya terayun seiring kata yang muncul dari bibirnya.

Janesh mengangkat bahu, cuek. "Iya, aku tahu. Sekarang aku antar kamu pulang, aku juga capek." Lelaki itu kemudian berjalan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari restoran.

Kiran semakin dongkol. Bukannya merayu agar dimaafkan, tetapi sang chef malah mengabaikan kemarahannya? "Chef!"

Lelaki itu berbalik. "Iya, apa lagi?"

"Aku masih marah, lho!" Kiran mengucapkan kalimat itu, dengan perasaan masygul.

"Iya, kamu masih marah. Dan bunga itu emang bukan buat kamu maafin aku. Apa pun yang aku lakuin sekarang, pasti akan salah di mata kamu karena kamu marah. Jadi, percuma dong aku merayu atau membujuk kamu. Nah, kamu mau pulang atau masih mau ngelampiasin amarah kamu di situ?" tantang Janesh, sembari bersedekap.

Sial, umpat Kiran. Lelaki ini selalu saja punya logika yang tak bisa dibantah oleh gadis itu. Tetapi mengapa sih Chef J tak pernah berusaha atau berjuang agar emosi Kiran mereda?

*Chef de partie adalah urutan di bawah sous chef. Bertanggung jawab atas masakan secara langsung, sesuai dengan pembagian station atau pos sesuai dengan kemampuan dan penempatan oleh Head Chef / Executive Chef.

💍Episode04💍

Assalamualaikum, Keliners!

Gimana kabarnya hari ini? Semoga sehat senantiasa ya. Dan jangan lupa untuk selalu bahagia.

Betewe, mau diapain nih si Janesh nih. Dari kemarin bikin emosi terus ya! 🤣🤣🤣 Ada yang punya pacar yang kayak gini? Ceritain dong di komen. Aku bakal baca kok setiap komen yang masuk. Eh, jangan lupa vote nya ya. Itung-itung biar aku makin semangat nulisnya.

Kalo pengen ngasih motivasi tambahan buat aku, boleh banget lho Keliners. Caranya cukup kunjungi trakteer.id/dhiaz lalu traktir kopi aku sebanyak-banyaknya. He he he. Aku suka ngopi, jadinya makin bulet 🤣🤣🤣 apalagi semenjak #StayAtHome ha ha ha (alasan aja sih ini)

Oke, sampai jumpa besok ya. Semoga pandemi ini segera berlalu.

Love,
DhiAZ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top