Episode 23 Kesempatan
Janesh melangkah keluar dari mobil, raut wajahnya tampak penat dan lelah. Rapat dengan timnya sama sekali tak membuahkan hasil yang memuaskan. Benar-benar memusingkan. Baru saja mereka mengumumkan hubungan Janesh dan Kiran, kini mereka harus bergulat dengan alasan yang tepat mengapa mereka harus berpisah.
Seandainya Janesh bisa, ia ingin tutup mulut selamanya, sembari melupakan gadis yang sudah menghantui pikirannya selama empat tahun ini. Sayangnya tidak. Langkah kakinya buru-buru menuju rumah, seakan tak sabar untuk merebahkan punggungnya ke atas ranjang yang empuk.
Lampu terasnya menyala, menampilkan dengan paripurna sesosok gadis yang baru saja ia pikirkan. Ini aneh, batinnya. Apa aku mulai halu dengan melihat Kiran di depan rumahku?
"Chef." Suaranya bahkan terdengar nyata dan jelas. Janesh menghela napas, berusaha untuk mengingatkan dirinya nanti agar membuat janji dengan psikiater.
Lelaki itu berusaha mengabaikan bayangan gadis manis tersebut, tetapi cengkeraman pada lengan kirinya jelas tak bisa diabaikan. "Kiran?"
"Chef. Aku mau bicara." Kiran menatap Janesh dalam-dalam.
Barulah Janesh menyadari bahwa keberadaan gadis itu bukan khayalannya. "Kamu ... di sini? Sejak kapan?"
Bibir Kiran terlihat kering. "Seharian. Aku sampai ... tadi pagi."
Janesh tercekat, lalu bergegas membuka pintu rumah. "Kenapa nggak tunggu di dalam? Kamu bisa bilang pada Bu Lastri untuk telpon aku, biar kamu nggak harus nunggu di sini." ART Janesh hanya bekerja sampai pukul enam sore, setelah itu mereka pulang. Lelaki itu jarang sekali berada di rumah, sehingga ia tak merasa perlu punya ART yang harus bekerja 24 jam.
"Gak papa. Aku yang mau nunggu. Biar Chef nggak repot. Aku ... nggak lama kok." Kiran tampak gugup dan kikuk. Seminggu yang lalu mereka berpisah dan gadis itu pergi berurai air mata, sekarang untuk menyampaikan maksudnya jelas ia merasa susah payah.
"Paling nggak, kamu minum dulu. Dan makan? Apa kamu sudah makan?" Janesh berlari menuju lemari es yang ada di dapurnya, mengambil beberapa botol air minum dan segera menyodorkannya kepada Kiran.
"Nggak usah repot, Chef. Beneran aku nggak papa," tolak Kiran secara halus.
"Aku yang apa-apa. Wajahmu pucat, bibir kamu kering, pasti kamu nggak nyiapin apa-apa buat ke sini!" Janesh segera mengeluarkan beberapa makanan cepat saji dari kulkasnya dan segera memasukkan ke dalam microwave. Makanan itu yang biasa ia makan ketika dirinya sedang sibuk, hingga baru bisa makan saat sampai di rumah.
"Chef, aku mau ngomong, penting!" sergah Kiran, ketika akhirnya Janesh selesai menghidangkan makanan yang mengepulkan asap tipis di hadapannya.
"Makan. Aku punya waktu untuk dengerin kamu ngomong, setelah makan." Lelaki itu bersedekap sembari mendaratkan pantatnya ke kursi sofa yang nyaman. Netranya tak henti memandangi Kiran, separuh karena menerka apa yang dilakukan gadis itu, separuhnya ... karena rindu.
Kiran yang jengkel karena tak bisa mengatakan maksudnya dengan cepat karena gangguan Janesh, menyingkirkan piring dengan segera. "Masih panas. Jadi, aku bisa ngomong sekarang?"
Lawan bicaranya menghela napas, lalu mengangguk. "Ya sudah. Kamu ke sini sama siapa? Apa Ayah tahu?"
Gadis itu mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. "Chef, Ayah ... sudah bilang sama aku, tentang semuanya."
"Ehm." Janesh berdeham, kemudian mengerjapkan mata. "Maksudnya?"
"Bahwa selama ini Ayah yang melarang Chef untuk pacaran sama aku. Bahkan ...." Sebersit rasa ragu muncul, tetapi Kiran segera menepisnya. "Menikah."
"Lalu?" Janesh mencondongkan badannya, tak lagi bersedekap.
"Ya ... aku ... nggak tahu. Tapi, aku mau minta maaf, karena Ayah sudah bersikap nggak adil sama Chef. Ayah marah sama aku, semuanya salahku, nggak seharusnya Ayah marah sama Chef. Dan ... Chef juga harusnya marah sama aku juga." Penuturan Kiran itu sama sekali tak menimbulkan perubahan dari wajah Janesh. Lelaki itu tetap datar, bergeming. Padahal Kiran sudah berdebar-debar saat ia buru-buru kemari. Apa ini adalah kesalahan?
"Yah, terus? Semuanya sudah selesai. Nggak masalah." Janesh menegakkan badan lalu menyandarkan punggungnya ke sofa.
Kiran terdiam sejenak. Haruskah kuteruskan?
💔💔💔💔💔
"Kamu kan sudah janji, nggak akan protes." Kiran memasang wajah cemberut.
"Aku berubah pikiran. Aku nyesel banget." Lelaki itu mengatupkan bibirnya, seakan sedang menahan amarah.
Mereka menghabiskan waktu di kafe dekat butik tempat Kiran melakukan fitting. Janesh sudah nyaris menyemburkan capucinonya yang encer, tetapi demi meloloskan niatnya lelaki itu bersedia menutup mulutnya. Sementara.
"Sudah telat. Aku nggak mau dengerin kamu lagi." Tangan gadis itu sudah hendak menyuap cheesecake yang tersaji di atas meja, tetapi akhirnya ia urungkan. "Ah, aku harus diet," keluhnya.
Janesh melotot. "Kalo kamu jadi istriku, kamu nggak harus diet. Makan aja, kamu udah kayak kurang gizi."
"Ih. Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa ke sini? Kamu kan udah janji?" Kiran mencebik.
"Kalo kamu nggak posting insta story, nge-tag akunnya Dika, aku sekarang pasti masih kerja!" omel Janesh. Segera saja ia tunjukkan video dimana ia merekam kerumunan wartawan yang menunggu di depan rumahnya. "Nih, mereka minta penjelasan."
Kiran terbelalak. "Ya ampun! Aku beneran nggak tahu!"
"Hmpf!" Janesh memutar bola matanya. "Dan lagi, gaunmu kependekan. Ganti, atau kubakar!"
"Ih, katanya aku bebas milih sendiri, kamu nggak akan ikut campur!" Kiran menjulurkan lidah.
"Nggak bisa! Aku berubah pikiran! Aku udah nggak komplain masalah undangan yang desainnya nggak jelas itu, vendor yang kamu pilih, juga lokasi akad maupun resepsi. Semuanya bebas, terserah kamu. Tapi gaunmu ... enggak!"
💔💔💔💔💔
"Aku ... nggak akan nyerah lagi, Chef. Mungkin kemarin aku terlalu sibuk untuk mengerti dan memahami Chef, sampai kita selalu bertengkar. Kita nggak punya waktu untuk saling mengenal. Tapi sekarang, aku nggak mau nyerah." Kiran mengeluarkan kantong mungil dari saku jaket yang seharian ini melekat di badannya.
Janesh tercekat, ketika tangan gadis itu mengeluarkan dua buah cincin yang berbeda ukuran lalu meletakkannya di dekat piring makannya. "Kiran, kamu ...."
"Aku minta maaf, Ayah udah jahat sama Chef. Aku juga minta maaf karena udah nyusahin Chef. Tapi, aku nggak bisa meninggalkan perasaanku buat Chef. Tetapi kali ini, aku mau melakukannya dengan cara yang benar."
Kiran menarik napas panjang. Tenggorokannya terasa kering, lidahnya pun rasanya pahit, membuat gadis itu menyambar botol minum dan segera mendandaskan isinya dalam satu tegukan.
"Aku ingin kita menikah. Mungkin nggak sekarang, entah satu tahun. Empat, lima tahun lagi. Aku nggak akan berhenti mencoba meyakinkan Chef untuk mau menikah. Aku ... akan belajar untuk memahami dan mengerti Chef, sehingga aku bisa bikin Chef bahagia. Dan aku juga akan kasih kesempatan pada Chef untuk mengejarku, memahami mauku, dan juga, membuatku bahagia. Sehingga, hubungan kita akan setara dan tak saling menyakiti seperti sebelumnya."
Lama sekali tak ada balasan dari lelaki itu. Menit demi menit dilalui Kiran dengan perasaan menyesakkan, karena takut bahwa Janesh akan menolaknya mentah-mentah. Lelaki itu hanya diam memandanginya.
"Kalo Chef nggak bersedia, juga nggak papa. Sekarang, aku pamit pulang," pungkas Kiran, kemudian setelah beberapa gerakan kikuk, tangan gadis itu meraup cincin yang ada di atas meja. Rasa malu mulai merambati dirinya.
"Kamu tahu, Kiran?" Tiba-tiba Janesh bersuara, saat Kiran hendak berdiri. "Satu hal yang nggak kusuka dari kamu adalah ... kamu selalu menduluiku."
Gadis itu mencoba meresapi perkataan Janesh, tetapi ia sama sekali tak mengerti.
"Kalo kamu memang mau ngasih aku kesempatan, buat bahagiain kamu," ujar Janesh sembari menatap Kiran dengan tulus. "Harusnya kamu ngebiarin aku, ngelamar kamu dengan cara yang benar."
Lamat-lamat pemahaman mulai terbentuk dalam pikiran Kiran. "Oh!" Gadis itu membekap mulutnya. "Maaf, Chef."
Janesh tersenyum, lalu membuka kancing bajunya, memperlihatkan dua buah cincin yang tergantung di lehernya dengan seutas kalung. Lelaki itu melepaskan ikatannya dan menyodorkan kedua benda mungil itu di hadapan Kiran.
"Mari kita menikah. Dan kali ini, semuanya kamu yang tentukan. Aku sudah jengkel karena kamu terus-terusan ingin menyenangkan aku, tanpa pernah kamu ngomong apa keinginan kamu. Jadi, untuk pernikahan ini, semuanya kamu yang tentukan." Janesh mengenggam tangan Kiran, yang mendadak saja menjadi dingin.
"Benarkah?" Mata Kiran berbinar, lalu bulir bening mengalir membasahi pipinya. Janesh menghampiri gadis itu dan mengusap air matanya. "Ya ampun, aku beneran nggak nyangka."
"Aku juga. Kukira, ini lamaran paling nggak romantis di dunia."
Kiran tertawa. "Aku nggak peduli. Aku nggak butuh itu."
"Tapi aku punya satu syarat, Kiran." Janesh mengelus rambut gadisnya, matanya tak lepas dari wajah yang selama ini menghantui pikirannya.
"Apa itu?" Kiran mendongak, membalas tatapan Janesh.
"Berhenti memanggilku Chef. Atau kita nggak usah nikah aja." Lelaki itu menyunggingkan senyum separo, ciri khas yang membuat Kiran tergila-gila. "Setuju?"
Kiran menimbang-nimbang sejenak. "Ya, J. My dearest J. Aku setuju."
💔 Episode23 💔
Hai, hai! Sudah terjawab ya semuanya 😅
Awalnya ini mau kupanjangin lagi, tapi ya udahlah ya. Mungkin kalo niat, aku bakal nulis versi panjangnya kalo mau jadi buku cetak 😁😁😁😁
Alhamdulillah, makasih banget buat antusiasme kalian, para Bossque 😘😘 sampe cerita ini selesai. Semoga endingnya memuaskan ya!
Sampe kemarin aku dapat beberapa tawaran dari penerbit, buat jadikan cerita ini jadi ebook atau buku cetak. Tapi aku masih belum tahu. Kalo kalian lebih suka yang mana: ebook atau buku cetak?
Dan sampai di sini ya, perjumpaan kita dengan Janesh-Kiran, yang ngegemesin dan udah bikin sport jantung 😅😅😅 makasih buat dukungan kalian buat pasangan ini, yang emang kagak ada uwu-uwunya sama sekali. Soalnya kan emang ini cowok kaku dan dingin kan jadi aneh aja dia kalo sampe jadi bucin romantis alay 😁😁
Terus ada yang sempet ngira cerita ini bakal sad ending, sepertinya kalian belum kenal aku 😅😅😅
Genre ku mayoritas romance, yang sudah pasti berakhir bahagia dong ya. Atau open ending. Nggak mungkin lah aku sampai hati bikin sad ending 😁😁😁
So, gimana pendapat kalian, sejauh ini tentang Love Break!? Kasih tahu aku ya.
Makasih semuanya, salam sayang dari Janesh dan Kiran! Karena lagi Corona, sepertinya mereka nggak ngadain resepsi nikahan. Jadi mohon maaf ya kalo kalian terpaksa tidak diundang 😅
See ya, I love you always
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top